“PERBANDINGAN KONSTITUSI JEPANG DAN KONSTITUSI IRAN”
A. Pendahuluan
Kata
“Konstitusi”, brasal dari bahasa Perancis constituer
yaitu sebagi ungkapan yang berarti membentuk. Tetapi secara terminologi,
konstitusi tidak hanya dipahami dengan arti yangs ederhana itu, namun menjadi
lebih luas lagi. Keanekaragaman dalam memahami pengertian konstitusi dapat
dilihat dari pandangan yang diberikan para ahli dalam berbagai literatu. C.F.
Strong lewat karyanya yang berjudul Modern
Political cinstitutions, An Introduction The Comparative Studi Of Their History
and Existing Form, iberpendapat:
“a constitution may be said
to be a collection of principles according to which the powers of the
goverment, the rights of the govened, and the relations between the two are
adjusted”
Ada tiga
unsur yang dapat ditemukan dalam definisi Strong tersebut, Pertama, prinsip-prinsip mengenai kekuasaan pemerintah, kedua, prinsip-prinsip mengenai hak-hak
warga negara dan ketiga, prinsip-prinsip
mengenai hubungan antara warga negara dengan pemerintah.
Perbandinagn
Konstitusi atau Perbandingan Hukum Konstitusi atau juga ada yang mengistilahkan
dengan hukum Konstitusi Perbandingan
adalah salah satu cabang dari hukum. Secara faktual hampir tidak ada
suatu negara di belahan dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi dalam praktik
kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk Inggris sekalipun.
JEPANG
A. Gambaran
Umum Tentang Negara Jepang
Jepang (bahasa Jepang: 日本 Nippon/Nihon, nama resmi: 日本国 Nipponkoku/Nihonkoku)
adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung barat Samudra Pasifik, di sebelah
timur Laut Jepang, dan
bertetangga dengan Republik Rakyat Cina, Korea, dan Rusia. Pulau-pulau paling utara berada di Laut Okhotsk, dan wilayah paling selatan berupa
kelompok pulau-pulau kecil di Laut Cina Timur, tepatnya di sebelah selatan Okinawa yang bertetangga dengan Taiwan.
Jepang terdiri dari 6.852 pulau yang
membuatnya merupakan suatu kepulauan. Pulau-pulau utama dari utara ke
selatan adalah Hokkaido, Honshu (pulau terbesar), Shikoku, dan Kyushu. Sekitar 97% wilayah daratan Jepang berada di keempat pulau terbesarnya.
Sebagian besar pulau di Jepang bergunung-gunung, dan sebagian di antaranya
merupakan gunung berapi. Gunung tertinggi di Jepang adalah Gunung Fuji yang merupakan sebuah gunung
berapi. Penduduk Jepang berjumlah 128 juta orang, dan berada di peringkat ke-10
negara berpenduduk terbanyak di dunia. Tokyo secara de facto adalah ibu kota Jepang, dan
berkedudukan sebagai sebuah prefektur. Tokyo Raya adalah sebutan untuk Tokyo dan
beberapa kota yang berada di prefektur
sekelilingnya. Sebagai daerah metropolitan terluas di dunia, Tokyo Raya
berpenduduk lebih dari 30 juta orang.
Menurut mitologi tradisional, Jepang didirikan oleh Kaisar Jimmu pada abad ke-7 SM. Kaisar Jimmu memulai mata rantai monarki Jepang yang tidak
terputus hingga kini. Meskipun begitu, sepanjang sejarahnya, untuk kebanyakan
masa kekuatan sebenarnya berada di tangan anggota-anggota istana, shogun, pihak militer, dan memasuki zaman
modern, di tangan perdana menteri. Menurut Konstitusi Jepang tahun 1947, Jepang adalah negara monarki konstitusional di bawah
pimpinan Kaisar Jepang dan Parlemen Jepang.
Sebagai negara maju di bidang ekonomi, Jepang memiliki produk domestik bruto terbesar nomor dua setelah Amerika Serikat, dan masuk dalam urutan tiga besar dalam keseimbangan kemampuan berbelanja. Jepang adalah anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa, G8, OECD, dan APEC. Jepang memiliki kekuatan militer yang memadai lengkap dengan sistem
pertahanan moderen seperti AEGIS serta suat armada besar kapal perusak. Dalam perdagangan luar negeri,
Jepang berada di peringkat ke-4 negara
pengekspor terbesar dan peringkat ke-6 negara
pengimpor terbesar di dunia. Sebagai negara maju, penduduk Jepang memiliki standar hidup yang tinggi
(peringkat ke-8 dalam Indeks Pembangunan Manusia) dan angka
harapan hidup tertinggi di dunia menurut perkiraan PBB. Dalam bidang teknologi,
Jepang adalah negara maju di bidang telekomunikasi, permesinan, dan robotika.
B. Konstitusi Jepang
Konstitusi
Jepang (Shinjitai: 日本国憲法 Kyūjitai: 日本國憲法 Nihon-Koku Kenpō?) adalah dokumen legal pendirian negara Jepang sejak tahun 1947. Konstitusi ini
menetapkan pemerintahan berdasarkan sistem parlementer dan
menjamin kepastian akan hak-hak dasar warga negara. Berdasarkan ketetapannya, Kaisar Jepang berperan
sebagai "simbol Negara dan
persatuan rakyat" dan menjalankan peran yang murni seremonial
tanpa kedaulatan yang
sesungguhnya. Dengan demikian, berbeda dengan raja atau ratu lainnya,
Kaisar Jepang secara formal bukanlah kepala negara[1] meskipun ia ditampilkan dan
diperlakukan sebaimana layaknya seorang kepala negara. Konstitusi ini, yang
disebut juga "Konstitusi Damai
( 平和憲法 Heiwa-Kenpō?)," memiliki karakteristik utama dan terkenal
karena tidak memberikan hak untuk memulai perang; yang terdapat pada Pasal 9, dan dalam
penjelasan yang lebih ringkas pada ketetapan de jure kedaulatan rakyat yang berhubungan
dengan peranan kekaisaran.
Konstitusi ini ditulis ketika Jepang
berada di bawah pendudukan Sekutu seusai Perang Dunia II dan direncanakan untuk menggantikan
sistem monarki absolut yang militeristik dengan suatu bentuk demokrasi liberal. Saat ini, dokumen konstitusi ini
bersifat kaku dan belum ada amandemen yang ditambahkan sejak penetapannya.
Sejak
berakhirnya perang dunia II, perkembanagn suasana kehidupan politik dan sistem
politik di Jepang mengalami beberapa fase perubahan, yaitu secagai berikut :
-
Period
1 (the period of the Occupation and political realignment just after the war):
1945to the early 1950s.
-
Period
2 (the period of the “one and a half party system’): the early 1950s, whwn
Japan regained independece. But a better choice is 1955, when conservative
parties merged, as dd the socialist parties, establishing the so –called 1955
system are one and a half party system.
-
Period
3 (the priod of conservative resurgence): from the late 1970s on. The beginning
of thes period was marked by a resurgence of the conservative party, which
could be observed in in opinion surve data or in 1980 in the national elections
return. (Kozo Yakamura dan Yasukitche Yasuba, 1987:55-56).
Pada
periode kedua dapat pula disebut sebagai periode pertumbuhan ekonomi yang pesat
(the period of rapid economic growth).
Hal ini disebabkan pada tahun 1960-1n
terjadi rapid economic growth
(pertumbuhan ekonomi yang pesat), di samping itu terjadi pula upaya untuk
menginterprestasikan pasal 9 Konstitusi 1949, sehingga Jepang boleh mempunyai
pasukan bela diri, adanya revisi”security
treaty”, di mana Jepang dilindungi Amarika Serikat . Suasana kehidupan
politik yang tercermin dalam sistem politik dan sistem pemerintahan suatu
negara, dapat dilihat dalam UUD/Konstitusi negara tersebut (bila negara itu
mempunyai UUD/Konstitusi). Oleh karena itu, sistem politik dan sistem
pemerintahan Jepang dapat dilihat dalam UUD/Konstitusi terbaru Jepang, yaitu Konstitusi 1947. Konstitusi
1947 tersebut mengandung tiga (3) prinsip pokok, yaitu : (periksa. Kishomoto
Koichi, 1988: 42-44).
1.
Kedaulatan rakyar dan
Peranan Kaisar sebagai simbol (popular
souvereignity and the simbolic role of the emperor.
2.
Suka perdamaian (pacifism),
3. Menghormati
hak asasi manusia (respect for
fundamental human rights).
Sesuai
dengan judul tulisan ini maka berikut ini akan dibahas beberapa hal yang
berkaitan dengan sistem politik dan sistem pemerintahan Jepang.
C.
Sistem
politik Jepang
Pada
umumnya struktur ketatanegaraan meliputi dua suasana tata kehidupan politik,
yaitu suasana kehidupan politik
pemerintah (Suprastruktur politik/the
government political sphere). Suasana tata kehidupan politik tersebut
terjadi di negara-negara yang menganut sistem politik tidak absolut otoriter,
yaitu pada negara-negara yang menganut faham demokrasi.
Membicarakan
sistem politik suatu negara, berarti membicarakan interaksi aktif yang erat,
selaras, saling mengisi, saling memberi pengertian, antara komponen supra
struktur politik, sehingga terdapat suasana kehidupan kenegaraan yang harmonis
dalam menentukan kebijakan umum dan menetapkan keputusan politik. Dalam hal
ini, masyarakat yang tercermin dalam komponen –komponen infra struktur politik
berfungsi sebagai masukan (input) yang berwujud pernyataan kehendak dan
tuntutan masyarakat (social demand);
sedangkan supra struktur politik (pemerintah dalam arti luas) berfungsi sebagai
output dalam hal menentukan kebijakan umum (public
policy) yang berwujud keputusan-keputusan politik(political decision).
Suasana kehidupan politik tersebut dapat dilihat dalam UUD/Konstitusi
masing-masing negara (bila negara itu mempunyai UUD/Konstitusi).
Jepang
(sebagai salah satu negara demokrasi) juga mempunyai struktur ketatanegaraan
sebagaimana tersebut di muka, yang meliputi supra struktur politik dan infra
struktur politik. Hal ini dapat dilihat dalam Konstitusi 1947.
Supra
struktur politik, meliputi lembaga-lembaga kenegaraan atau Lembaga-lembaga
Neagra atau alat –alat Perlengkap Negara. Dengan demikian, supra struktur
politik Negara Jepang menurut Konstitusi 1947, meliputi :
A. Lembaga
Legislatif (legislature), yaitu National Diet (Parlemen Nasional)
B. Lembaga
Eksekutif (Executive), yaitu Cabinet (Dewan Menteri), yang dipimpin oleh
seorang Perdana Menteri.
C. Lembaga
Judisiil (Judiciary), yaitu Supreme Court (Mahkamah Agung).
Sedangkan Infra struktur politik meliputi
segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan lembaga –lembaga kemasyarakatan,
yang dalam aktivitasnya mempengaruhi (baik secara langsung maupun tidak langsung) lembaga-lembaga
kenegaraan dalam menjalankan fungsi serta kekuasaannya masing-masig. Infrastruktur
ini terdiri dari lima 5 komponen/unsur, yaitu :
1. Partai
politik (political party)
2. Golongan
kepentingan (interest group), terdiri dari :
a. Interest
group asosiasi
b. Interest
group institusional
c. Interest
group non asosiasi
d. Interest
group yang anomik
3. Golongan
penekan (pressure group)
4. Alat
komunikasi politik (media political communication)
5. Tokoh
politik (political figure)
Jepang sebagai suatu negara yang menganut
sistem politik demokrasi, tidak dapat meniadakan hidup dan berkembangnya partai
politik, dengan kata lain adanya partai politik merupakan salah satu ciri bahwa
Jepang merupakan negara demokrasi. Sampai saat ini, Jepang menganut sistem
politik multi party (banyak partai), yaitu ada enam (6) partai besar :
1. Liberal Democratic
Partay (jiyu Minshuto or Jiminto), yang banyak didukung
oleh birokrat, pengusaha, dan petani.
2. The Japan Socialist
Party (nippon S Hakaito), yang didukung oleh
buruh(sayap kiri).
3. The Komneito (Clean
Goverment Party), yang didukung para penganut agama
Budha.
4. The Democatic Socialist
Party (Minshato), yang didukung oleh buruh (sayap
kanan).
5. The Japan Communist
Party (Nihon Kyosanto), yang didukung oleh
komunis.
6. The United Social
Democratic Party (Shakai Minshu Rengo of Shminren),
merupakan partai termuda dan terkecil di Jepang, merupakan sempalan JSP
(sosialis sayap kanan). Lihat Kishimoto Koichi, 1982: 91-93)
D.
Sistem
pemerintahan Jepang
Membicarakan
sistem pemerintahan (dalam arti luas) suatu negara berarti membicarakan
hubungan antar sub-sistem pemerintahan, yang meliputi semua lembaga-lembaga
negara atau alat-alat perlengkapan negara yang ada pada suatu negara itu, untuk mencapai tujuan
tertentu (tujuan negara) misalnya hubungan antara lembag-lembaga eksekutif,
legislatif dan yudisiil. Sedangkan sistem pemerintahan dalam arti sempit, hanya
membicarakan hubungan antar lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam
suatu negara.
Dengan
demikian membicarakan sistem pemerintahan Jepang (dalam arti luas) berarti
membicaraka hubungan antar organ-organ negara atau lembaga-lembaga negara yang
ada di Jepang (dalam supra struktur politik), yaitu antar :
- Lembaga Eksekutif (Executive), yaitu Cabinet (Dewan Menteri) yang dimpin oleh Perdana Menteri.
- Lembaga Legislatif (Legislature), yaitu National Diet(Parlement Nasional).
- Lembaga Judisiil (judiciary), yaitu Supreme Court (Mahkamah Agung).
Jepang
menganut sistem pemerintahan parlementer, oleh karena itu kekuasaan lembaga
–lembaga negara tersebut tidak terpisah, melainkan terdapat hubunan timbal
balik yang sangat erat. Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan presidensial
murni, yang didalamnya terdapat pemisahan kekuasaan secara tegas (separation of
power) antara lembaga negara yang ada (misalnya: Sistem pemerintahan Amerika
Serikat).
Sistem
pemerintahan Jepang (dalam arti luas) menurut konstitusi 1947 dapat digambarkan
sebagai berikut :
|
|||||
B
E
|
A
F
|
|
D
|
Penjelasan
:
a. Kabinet
dapat membubarkan Parlemen (tetapi hanya Majelis Rendah/House of Councellors).
b. Parlemen
mengangkat/menunjuk Perdana Menteri (harus orang sipil dan harus dari anggota Parlemen
/Diet)
c. Mahkamah
Agung mengawasi Kabinet dalam melaksanakan Konstitusi 1947
d. Kabinet
menunjuk Ketua Mahkamah Agung dan Hakim Agung
e. Mahkamah
Agung mengawasi jalannya/pelaksanaan tugas-tugas Parlemen (misalnya dalam
pembuatan Undang-Undang).
f. Impeachment,
yaitu dapat memanggil Mahkamah Agung mempertanggungjawabkan perbuatannya, atau
dapat menuduh Mahkamah Agung tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.
Dari
bagan tersebut di muka, terlihat jelas bahwa terdapat hubungan timbal balik
(saling mengawasi ) antara lembaga-lembaga negara Jepang.
Sedangkan
sistem pemerintahan Jepang tersebut tidak bisa lepas dari sistem politiknya,
karena sistem pemerintahan merupakan bagian dari sistem politik. Dalam
pelaksanaan sistem pemerintahan terdapat masukan (input) yang berasal dari
keinginan-keinginan masyarakat (infra struktur politik). Proses pengambilan
keputusan, dan keluaran (out put) berupa kebijakan umum (public policy) yang
berwujud keputusan –keputusan politik yang bersifat nasional, regional maupun
internasional. Dengan demikian sistem politik dan sistem pemerintahan akan sangat mempengaruhi Jepang dalam membuat
kebijakan nasional, Regional, maupun internasional.
NEGARA IRAN
A. Gambaran Umum
Iran (atau Persia) (bahasa
Persia: ایران) adalah sebuah negara Timur Tengah yang terletak di Asia
Barat Daya. Meski di dalam negeri negara ini telah dikenal sebagai Iran
sejak zaman kuno, hingga tahun 1935 Iran masih dipanggil Persia di dunia Barat. Pada tahun 1959, Mohammad Reza Shah Pahlavi mengumumkan
bahwa kedua istilah tersebut boleh digunakan. Nama Iran adalah sebuah kognat perkataan "Arya"
yang berarti "Tanah Bangsa Arya".
Iran berbatasan dengan Azerbaijan (500 km) dan Armenia (35 km)
di barat laut dan Laut Kaspia di utara, Turkmenistan
(1000 km) di timur laut, Pakistan (909 km) dan Afganistan
(936 km) di timur, Turki
(500 km) dan Irak
(1.458 km) di barat, dan perairan Teluk
Persia dan Teluk Oman di selatan.
Pada tahun 1979,
sebuah Revolusi Iran yang dipimpin Ayatollah Khomeini mendirikan sebuah Republik
Islam teokratis
sehingga nama lengkap Iran saat ini adalah Republik Islam Iran (جمهوری اسلامی ایران).
B. Sejaran Iran
Sejarah awal, Kekaisaran Media dan Kekaisaran Achaemenid (3200 SM – 330 SM) Dari tulisan-tulisan sejarah, peradaban Iran yang pertama ialah Proto-Iran, diikuti dengan peradaban Elam. Pada milenium kedua dan ketiga, Bangsa Arya hijrah ke Iran dan mendirikan kekaisaran pertama Iran, Kekaisaran Media (728-550 SM). Kekaisaran ini telah menjadi simbol pendiri bangsa dan juga kekaisaran Iran, yang disusul dengan Kekaisaran Achaemenid (648–330 SM) yang didirikan oleh Cyrus Agung.
Cyrus
Agung juga terkenal sebagai pemerintah pertama yang mewujudkan
undang-undang mengenai hak-hak kemanusiaan, tertulis di atas artefak yang
dikenal sebagai Silinder Cyrus. Ia juga
merupakan pemerintah pertama yang memakai gelar Agung dan juga Shah Iran. Di zamannya,
perbudakan dilarang di kawasan-kawasan taklukannya (juga dikenal sebagai Kekaisaran Persia.)
Gagasan ini kemudian memberi dampak yang besar pada peradaban-peradaban manusia
setelah zamannya.
Kekaisaran Persia kemudian diperintah oleh Cambyses selama tujuh tahun
(531-522 M) dan kemangkatannya disusul dengan perebutan kuasa di mana akhirnya Darius
Agung (522-486 M) dinyatakan sebagai raja.
Ibu kota Persia pada zaman Darius I
dipindahkan ke Susa
dan ia mulai membangun Persepolis. Sebuah terusan di antara Sungai Nil
dan Laut
Merah turut dibangun dan menjadikannya pelopor untuk pembangunan Terusan
Suez. Sistem jalan juga turut diperbaharui dan sebuah jalan raya dibangun
menghubungkan Susa
dan Sardis. Jalan raya
ini dikenal sebagai Jalan Kerajaan.
Selain itu, pen-syiling-an dalam bentuk daric (syiling
emas) dan juga Shekel (syiling perak) diperkenalkan ke seluruh
dunia. Bahasa Persia Kuno turut diperkenalkan dan
diterbitkan di dalam prasasti-prasasti kerajaan.
Di bawah pemerintahan Cyrus Agung dan Darius
yang Agung, Kekaisaran Persia menjadi sebuah kekaisaran yang terbesar dan
terkuat di dunia
zaman itu. Pencapaian utamanya ialah sebuah kekaisaran besar pertama yang
mengamalkan sikap toleransi dan menghormati budaya-budaya dan agama-agama lain
di kawasan jajahannya.
Kekaisaran Iran Ketiga: Kekaisaran Parthia (248 SM – 224 M). Parthia bermula dengan Dinasti Arsacida yang menyatukan dan memerintah dataran tinggi Iran, yang juga turut menaklukkan wilayah timur Yunani pada awal abad ketiga Masehi dan juga Mesopotamia antara tahun 150 SM dan 224 M. Parthia juga merupakan musuh bebuyutan Romawi di sebelah timur, dan membatasi bahaya Romawi di Anatolia. Tentara-tentara Parthia terhagi atas dua kelompok berkuda, tentara berkuda yang berperisai dan membawa senjata berat, dan tentara berkuda yang bersenjata ringan dan kudanya lincah bergerak. Sementara itu, tentara Romawi terlalu bergantung kepada infantri, menyebabkan Romawi sukar untuk mengalahkan Parthia. Tetapi, Parthia kekurangan teknik dalam perang tawan, menyebabkan mereka sukar mengawal kawasan taklukan. Ini menyebabkan kedua belah pihak gagal mengalahkan satu sama lain. Kekaisaran Parthia tegak selama lima abad (Berakhir pada tahun 224 M,) dan raja terakhirnya kalah di tangan kekaisaran lindungannya, yaitu Sassania.
Kekaisaran Iran Keempat: Kekaisaran Sassania (226–651). Ardashir I, shah pertama Kekaisaran Sassania, mula membangun kembali ekonomi dan militer Persia. Wilayahnya meliputi kawasan Iran modern, Irak, Suriah, Pakistan, Asia Tengah dan wilayah Arab. Pada zaman Khosrau II (590-628) pula, kekaisaran ini diperluas hingga Mesir, Yordania, Palestina, dan Lebanon. Orang-orang Sassanid menamakan kekaisaran mereka Erānshahr (atau Iranshæhr, "Penguasaan Orang Arya".)
Kekaisaran Sassania
pada zaman kegemilangannya. Sejarah Iran seterusnya diikuti dengan konflik
selama enam ratus tahun dengan Kekaisaran Romawi. Menurut sejarawan, Persia
kalah dalam Perang
al-Qādisiyyah (632 M) di Hilla,
Iraq.
Rostam Farrokhzād,
seorang jenderal Persia, dikritik kerana keputusannya untuk berperang kengan
orang Arab di bumi Arab sendiri. Kekalahan Sassania di Irak menyebabkan tentara
mereka tidak keruan dan akhirnya ini memberi jalan kepada futuhat Islam
atas Persia. Era Sassania menyaksikan memuncaknya peradaban Persia,
dan merupakan kekaisaran Persia terakhir sebelum kedatangan Islam.
Pengaruh dan kebudayaan Sassania kemudian diteruskan setelah pemelukan Islam
oleh bangsa Persia.
Islam Persia dan Zaman Kegemilangan Islam Persia (700–1400). Setelah pemelukan Islam, orang-orang Persia mulai membentuk gambaran Islam Persia, di mana mereka melestarikan gambaran sebagai orang Persia tetapi pada masa yang sama juga sebagai muslim. Pada tahun 8 M, Parsi memberi bantuan kepada Abbassiyah memerangi tentara Umayyah, karena Bani Umayyah hanya mementingkan bangsa Arab dan memandang rendah kepada orang Persia. Pada zaman Abbassiyah, orang-orang Persia mula melibatkan diri dalam administrasi kerajaan. Sebagian mendirikan dinasti sendiri.
Pada abad kesembilan dan kesepuluh, terdapat beberapa kebangkitan
ashshobiyyah Persia yang menentang gagasan Arab sebagai Islam dan Muslim.
Tetapi kebangkitan ini tidak menentang identitas seorang Islam. Salah satu
dampak kebangkitan ini ialah penggunaan bahasa
Persia sebagai bahasa resmi Iran (hingga hari ini.)
Pada zaman ini juga, para ilmuwan Persia menciptakan Zaman Kegemilangan
Islam. Sementara itu Persia menjadi tumpuan penyebaran ilmu sains, filsafat
dan teknik. Ini kemudian memengaruhi sains di Eropa dan juga kebangkitan Renaissance.
Bermula pada tahun 1220, Parsi dimasuki oleh tentera Mongolia di bawah
pimpinan Genghis Khan, diikuti dengan Tamerlane,
dimana kedua penjelajah ini menyebabkan kemusnahan yang parah di Persia.
Islam Syi'ah, Kekaisaran Safawi, Dinasti Qajar/Pahlavi dan Iran Modern (1501 – 1979). Parsi mulai berganti menjadi Islam Syiah pada zaman Safawi, pada tahun 1501. Dinasti Safawi kemudian menjadi salah satu penguasa dunia yang utama dan mulai mempromosikan industri pariwisata di Iran. Di bawah pemerintahannya, arsitektur Persia berkembang kembali dan menyaksikan pembangunan monumen-monumen yang indah. Kejatuhan Safawi disusuli dengan Persia yang menjadi sebuah medan persaingan antara kekuasaan Kekaisaran Rusia dan Kekaisaran Britania (yang menggunakan pengaruh Dinasti Qajar). Namun begitu, Iran tetap melestarikan kemerdekaan dan wilayah-wilayahnya, menjadikannya unik di rantau itu. Modernisasi Iran yang bermula pada lewat abad ke-19, membangkitkan keinginan untuk berubah dari orang-orang Persia. Ini menyebabkan terjadinya Revolusi Konstitusi Persia pada tahun 1905 hingga 1911. Pada tahun 1921, Reza Khan (juga dikenal sebagai Reza Shah) mengambil alih tahta melalui perebutan kekuasaan dari Qajar yang semakin lemah. Sebagai penyokong modernisasi, Shah Reza memulai pembangunan industri modern, jalan kereta api, dan pendirian sistem pendidikan tinggi di Iran. Malangnya, sikap aristokratik dan ketidakseimbangan pemulihan kemasyarakatan menyebabkan banyak rakyat Iran tidak puas.
Pada Perang Dunia II, tentara Inggris dan Uni Soviet
menyerang Iran dari 25 Agustus hingga 17 September 1941, untuk membatasi Blok
Poros dan menggagas infrastruktur penggalian minyak Iran. Blok Sekutu memaksa
Shah untuk melantik anaknya, Mohammad Reza Pahlavi menggantikannya, dengan
harapan Mohammad Reza menyokong mereka.
Malangnya, pemerintahan Shah Mohammad Reza bersifat otokratis. Dengan
bantuan dari Amerika dan Inggris, Shah meneruskan modernisasi Industri Iran,
tetapi pada masa yang sama menghancurkan partai-partai oposisi melalui badan
intelijennya, SAVAK. Ayatollah Ruhollah
Khomeini menjadi oposisi dan pengkritik aktif terhadap pemerintahan Shah
Mohammad Reza dan kemudian ia dipenjarakan selama delapan belas bulan. Melalui
nasihat jenderal Hassan Pakravan, Khomeini
dibuang ke luar negeri dan diantar ke Turki dan selepas itu
ke Irak.
Revolusi Islam dan Perang Iran-Irak (1979-88). Protes menentang Shah semakin meningkat dan akhirnya terjadilah Revolusi Iran. Shah Iran terpaksa melarikan diri ke negara lain setelah kembalinya Khomeini dari pembuangan pada 1 Februari 1979. Khomeini kemudianvmengambil alih kekuasaan dan membentuk pemerintahan sementara, pada 11 Februari yang dikepalai Mehdi Bazargan sebagai perdana menteri. Setelah itu, Khomeini mengadakan pungutan suara untuk membentuk sebuah Republik Islam. Keputusan undian menunjukkan lebih dari 98% rakyat Iran setuju dengan pembentukan itu. Sistem pemerintahan baru yang dibentuk berasaskan undang-undang Islam, sayangnya hanya diterapkan sebagian.
Tetapi, hubungan Iran dengan Amerika menjadi keruh setelah revolusi
ini, terutama saat mahasiswa-mahasiswa Iran menawan kedutaan Amerika pada 4 November
1979, atas alasan kedutaan
itu menjadi pusat intelijen Amerika. Khomeini tidak mengambil tindakan apapun
mengenai tidakan ini sebaliknya memuji mahasiswa-mahasiswa itu. Sebagai
balasan, Iran menginginkan Shah Mohammad Reza Pahlavi dikembalikan ke Iran,
tetapi ini tidak mereka setujui. Setelah 444 hari di dalam tawanan, akhirnya
para tawanan itu dibebaskan sebagai tindak lanjut Deklarasi Aljir.
Pada saat yang sama, Saddam
Hussein, presiden Irak
saat itu, mengambil kesempatan di atas kesempitan setelah revolusi Iran dan
juga kekurangan popularitas Iran di negara-negara barat, untuk melancarkan
perang atas Iran. Tujuan utama peperangan ini ialah menaklukkan beberapa
wilayah yang dituntut Irak, terutamanya wilayah Khuzestan
yang kaya dengan sumber minyak. Saddam pula ketika itu mendapat sokongan dari Amerika,
Uni Soviet
dan beberapa negara Arab lain. Tentara Iran pula yang suatu masa dahulu
merupakan sebuah tentara yang kuat, telah dibubarkan saat itu. Walau
bagaimanapun, mereka berhasil mencegah bahaya tentara Irak seterusnya
menaklukkan kembali wilayah Iran yang ditaklukkan Irak. Dalam peperangan ini
puluhan ribu nyawa, baik penduduk awam maupun laskar Iran, menjadi korban.
Jumlah korban diperkirakan antara 500.000 hingga 1.000.000.
C.
Pemerintah
Dan Politik
Pemimpin Agung
Pemimpin Agung Iran bertanggung jawab terhadap
"kebijakan-kebijakan umum Republik Islam Iran". Ia juga merupakan
ketua pasukan bersenjata dan badan intelijen Iran dan mempunyai kuasa mutlak
untuk menyatakan perang. Ketua kehakiman, stasiun radio dan rangkaian televisi,
ketua polisi dan tentara dan enam dari dua belas anggota Majelis Wali Iran juga
dilantik oleh Pemimpin Agung. Majelis Ahli bertanggung
jawab memilih dan juga memecat Pemimpin Agung atas justifikasi kelayakan dan popularitas
individu itu. Majelis ini juga bertanggung jawab memantau tugasan Pemimpin
Agung.
Majlis Wali Iran mempunyai
dua belas ahli undang-undang, dan enam dari mereka dilantik oleh Pemimpin
Agung. Ketua Kehakiman akan mencadangkan enam aanggota selebihnya dan mereka
akan dilantik secara resmi oleh parlemen Iran atau Majles.
Majelis ini akan menafsirkan konstitusi dan mempunyai hak veto untuk keputusan
dan keanggotaan parlemen Iran. Jikalau terdapat undang-undang yang tidak sesuai
dengan hukum syariah,
maka akan dirujuk kembali oleh parlemen.
Eksekutif
Orang kedua terpenting dalam Republik Islam Iran adalah presiden.
Setiap presiden dipilih melalui pemilihan
umum dan akan memerintah Iran selama empat tahun. Setiap calon presiden
mesti mendapat persetujuan dari Majelis Wali Iran
sebelum pemilu dilaksanakan agar mereka 'serasi' dengan gagasan negara Islam.
Tanggung jawab presiden adalah memastikan konstitusi negara diikuti dan juga
mempraktikkan kekuasaan eksekutif. Tetapi presiden tidak berkuasa atas perkara-perkara
yang di bawah kekuasaan Pemimpin Agung.
Presiden melantik dan mengepalai Kabinet Iran, dan berkuasa
membuat keputusan mengenai administrasi negara. Terdapat delapan wakil presiden
dan dua puluh satu menteri yang ikut serta membantu presiden dalam
administrasi, dan mereka semua mesti mendapat persetujuan badan perundangan.
Tidak seperti negara-negara lain, cabang eksekutif tidak memiliki kekuasaan
dalam pasukan bersenjata, tetapi presiden Iran berkuasa melantik Menteri Pertahanan dan Intelijen dan harus
mendapat persetujuan Pemimpin Agung dan badan perundangan.
Majelis Kebijaksanaan
Majelis
Kebijaksanaan berkuasa untuk menyelesaikan konflik antara parlemen dengan Majelis Wali Iran. Badan
ini juga turut menjadi penasihat Pemimpin Agung.
Parlemen
Majles-e Shura-ye
Eslami (Majlis Perundingan Islam) mempunyai 290 anggota yang dilantik
dan akan bertugas selama empat tahun. Semua calon Majles dan ahli undang-undang
dari parlemen haruslah mendapat persetujuan Majelis Wali.
Majlis Iran
(Persia:
مجلس شورای اسلامی), juga disebut Parlemen Iran, adalah tubuh legislatif
nasional Iran.
Majlis kini memiliki 290 wakil dari sebelumnya 270 kursi sejak pemilihan umum
18 Februari 2000 dan akan berubah
menjadi 310 wakil di pemilu 2012 .
Awalnya Majlis
Iran adalah Majelis rendah Iran dari tahun 1906 sampai 1979 dan Majelis
tinggi dipegang oleh senat yang waktu itu menggunakan Sistem
dua kamar. Setelah revolusi Islam tahun 1979, Iran menggunakan Sistem
satu kamar, Majlis menjadi badan legislatif tunggal, sebagai Majelis
Permusyawaratan Islam.
Majelis Rendah
Mejelis Rendah adalah
salah satu dari dua "kamar" dalam sistem
dua kamar di mana pasangan lainnya adalah Majelis
Tinggi. Di banyak negara, majelis ini seringkali memiliki kekuasaan yang
besar karena adanya batasan terhadap kekuasaan Majelis Tinggi. Dalam sistem parlementer, hanya Majelis Rendah yang
dapat mengangkat kepala pemerintahan atau perdana
menteri, dan dapat pula menurunkan mereka melalui mosi tidak percaya.
Majelis Tinggi
Majelis Tinggi adalah
salah satu dari dua "kamar" dalam sistem
dua kamar. Pasangan lainnya dari Majelis Tinggi adalah Majelis
Rendah. Di banyak negara, majelis ini seringkali memiliki kekuasaan yang
spesifik dan terbatas, karena umumnya kekuasaan Majelis Rendah lebih besar.
Dalam sistem parlementer, Majelis Tinggi biasanya hanya berperan sebagai
pemberi saran atau revisi atas legislasi, namun tidak memulai legislasi itu
sendiri.
Sistem dua
kamar adalah praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif
atau parlemen. Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau
lembaga legistlatif yang terdiri atas dua kamar. Di Britania
Raya sistem dua kamar ini dipraktikkan dengan menggunakan Majelis
Tinggi (House of Lords) dan Majelis
Rendah (House of Commons). Di Amerika
Serikat sistem ini diterapkan melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sistem satu
kamar adalah sistem pemerintahan yang hanya memiliki
satu kamar pada parlemen
atau lembaga legislatif. Banyak negara yang menggunakan sistem satu kamar
seringkali adalah negara kesatuan yang kecil dan homogen dan menganggap sebuah majelis
tinggi atau kamar kedua tidak perlu.
Dukungan terhadap
sistem satu kamar ini didasarkan pada pemikiran bahwa apabila majelis tingginya
demokratis, hal itu semata-mata mencerminkan majelis rendah yang juga
demokratis, dan karenanya hanya merupakan duplikasi saja. Teori yang mendukung
pandangan ini berpendapat bahwa fungsi kamar kedua, misalnya meninjau atau
merevisi undang-undang, dapat dilakukan oleh komisi-komisi parlementer,
sementara upaya menjaga konstitusi selanjutnya dapat dilakukan melalui Konstitusi
yang tertulis.
Banyak negara yang
kini mempunyai parlemen dengan sistem satu kamar dulunya menganut sistem dua
kamar, dan belakangan menghapuskan majelis tingginya. Salah satu alasannya
ialah karena majelis tinggi yang dipilih hanya bertumpang tindih dengan majelis
rendah dan menghalangi disetujuinya rancangan undang-undang. Contohnya
adalah kasus Landsting di Denmark
(dihapuskan pada 1953).
Alasan lainnya adalah karena majelis yang diangkat terbukti tidak efektif.
Contohnya adalah kasus Dewan
Legislatif di Selandia Baru (dihapuskan pada 1951).
Para pendukung sistem
satu kamar mencatat perlunya pengendalian atas pengeluaran pemerintah dan
dihapuskannya pekerjaan yang berganda yang dilakukan oleh kedua kamar. Para
pengkritik sistem satu kamar menunjukkan bahwa pemeriksaan dan pengimbangan
ganda yang diberikan oleh sistem dua kamar dapat menambah tingkat konsensus
dalam masalah-masalah legislatif. Kelemahan lain dari sistem satu kamar ialah
bahwa wilayah-wilayah urban yang memiliki penduduk yang besar akan mempunyai
pengaruh yang lebih besar daripada wilayah-wilayah pedesaan yang penduduknya
lebih sedikit. Satu-satunya cara untuk membuat wilayah yang penduduknya lebih
sedikit terwakili dalam pemerintahan kesatuan adalah menerapkan sebuah sistem
dua kamar (seperti misalnya pada periode awal Amerika Serikat).
Beberapa pemerintahan
sub-nasional yang menggunakan sistem legislatif satu kamar antara lain adalah
negara bagian Nebraska
di Amerika Serikat, Queensland
di Australia,
semua provinsi dan
wilayah di Kanada,
dan Bundesländer
Jerman (Bavaria
menghapuskan Senatnya
pada 1999).
Di Britania
Raya, Parlemen Skotlandia, Dewan Nasional Wales
dan Dewan Irlandia Utara
yang telah meramping, juga menganut sistem satu kamar.
Semua dewan
legislatif kota praktis juga satu kamar dalam pengertian bahwa dewan perwakilan rakyat daerah tidak
dibagi menjadi dua kamar. Hingga awal abad ke-20,
dewan-dewan kota yang dua kamar lazim ditemukan di Amerika Serikat.
Negara
Persemakmuran Amerika Puerto Riko saat ini mempunyai dewan legislatif dua
kamar yang terdiri atas Senat (Senado) dan Dewan Perwakilan (Camara de
Representantes). Dalam sebuah referendum yang diadakan pada 10 Juli 2005, para pemilih
Puerto Riko menyetujui perubahan menjadi sistem satu kamar dengan 456.267 suara
setuju dan 88.720 menentang. Namun sebuah referendum lainnya akan diadakan di
negara persemakmuran itu pada 2007 untuk menyetujui amandemen-amandemen dalam
Konstitusi Puerto Riko yang diperlukan untuk perubahan itu. Bila
perubahan-perubahan konstitusional itu disetujui, Puerto Riko akan beralih ke
sistem satu kamar mulai tahun 2009.
Kehakiman
Pemimpin Agung
akan melantik ketua kehakiman Iran, dan ia pula akan melantik Mahkamah Agung
dan juga ketua penuntut umum. Terdapat beberapa jenis mahkamah di Iran termasuk
mahkamah umum yang bertanggung jawab atas kasus-kasus umum dan kejahatan.
Terdapat juga "Mahkamah Revolusi" yang mengadili beberapa kasus
tertentu termasuk isu mengenai keselamatan negara.
Majelis Ahli
Majelis Ahli yang
bermusyawarah selama seminggu setiap tahun mempunyai 86 anggota yang ahli dalam
ilmu-ilmu agama. Mereka diundi secara umum dan akan bertugas selama delapan
tahun. Majelis ini akan menentukan kelayakan calon-calon presiden dan anggota
parlemen. Majelis ini juga akan mengundi untuk jabatan Pemimpin Agung dan juga
berkuasa untuk memecatnya.
D. Wilayah Al-Faqih dalam Rebuplik
Islam Iran.
Praktek pemerintahan dalam sistem
Wilayat al-Faqih yang berlaku di Republik Islam Iran, sebagaimana ditulis oleh
Jalaluddin Rahmat, dikenal tiga pemilu, yaitu: pemilihan presiden, pemilihan
Majelis Syura dan pemilihan Majelis Khubregan (Dewan Ahli). Ketiga lembaga ini
dipilih oleh rakyat.
Tugas presiden adalah menjalankan
roda pemerintahan, terutama di bidang politik. Majelis Syura mengajukan
perundang-undangan untuk dilaksanakan oleh presiden. Sedangkan Majelis
Khubregan adalah bertugas memilih Rahbar (pemimpin revolusi atau pemimpin
tertinggi). Karena posisi Majelis Khubregan sangat penting, maka hanya
orang-orang yang sudah mencapai tingkatan ulama mujtahid sajalah yang dapat
mencalonkan diri, yakni dengan cara melalui tes tertulis dan wawancara yang
dilakukan oleh Asosiasi Guru Besar Ilmu-Ilmu Islam (Jami’yat-e Modarresen-e
Hawzeh-ye Ilmiyeh). Sementara untuk jabatan Rahbar tidak dibatasi oleh waktu,
melainkan sejauhmana ia mampu menjaga kualifikasi-kualifikasi yang dimiliki.
Sebagai catatan, salah satu kualifikasi Rahbar adalah hidup sederhana. Jadi,
begitu ia kelihatan hidup mewah, ia segera diturunkan.
Pada masa pemerintahan Islam Iran
sejak tahun 1979, sampai saat ini baru dua orang yang pernah menduduki jabatan
Rahbar: yang pertama adalah Ayatullah Khomeini dan setelah beliau wafat,
putranya, yang bernama Ali Khamenei terpilih untuk menduduki jabatan Rahbar
menggantikan ayahnya.
Fungsi dan Bentuk Pemerintahan dalam
Wilayat Al-Faqih
Pemerintahan Islam adalah pemerintahan rakyat dengan berpegang pada hukum Tuhan. Tuhan adalah satu-satunya pembuat undang-undang. Selama kegaiban al-Mahdi, pemerintahan tetap diperlukan bagi pelaksanaan syari’at. Pemerintahan Islam haruslah adil (yang berarti harus bertindak sesuai dengan syari’at) dan karenanya dibutuhkan pengetahuan yang luas mengenai syari’at di mana semua tindakan harus sesuai dengannya. Syarat-syarat ini hanya bisa dipenuhi oleh para faqih, ahli di bidang hukum Islam. Karenanya faqih merupakan figur yang paling siap untuk memerintah masyarakat Islam. Inilah sebenarnya gagasan inti Wilayat al-Faqih. Sebagai penguasa, faqih memiliki otoritas yang sama dan dapat menjalankan fungsi sebagai imam, walaupun ia tidak dengan sendirinya sama dengan imam.
Sebagaimana sudah disinggung di muka, bahwa dalam pandangan Ayatullah Khomeini, selama gaibnya Imam al-Mahdi, kepemimpinan dalam pemerintahan Islam menjadi hak para faqih (ulama). Sekali seorang faqih berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, maka rakyat dan para faqih lain wajib mengikutinya. Karena ia akan memiliki kekuasaan dan otoritas pemerintahan yang sama sebagaimana yang dimiliki Nabi SAW dan para imam terdahulu. Tetapi, menurut Khomeini, tidak setiap faqih qualified sebagai pemimpin.
Sekurang-kurangnya ada delapan persyaratan yang harus dipenuhi seorang faqih untuk bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam, yaitu: (1) mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam, (2) harus adil, dalam arti memiliki iman dan akhlak yang tinggi, (3) dapat dipercaya dan berbudi luhur, (4) jenius atau cerdas, (5) memiliki kemampuan administratif, (6) bebas dari segala pengaruh asing, (7) mampu mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan integritas territorial tanah Islam, sekalipun harus dibayar dengan nyawa dan (8) hidup sederhana.
Pemerintahan Islam adalah pemerintahan rakyat dengan berpegang pada hukum Tuhan. Tuhan adalah satu-satunya pembuat undang-undang. Selama kegaiban al-Mahdi, pemerintahan tetap diperlukan bagi pelaksanaan syari’at. Pemerintahan Islam haruslah adil (yang berarti harus bertindak sesuai dengan syari’at) dan karenanya dibutuhkan pengetahuan yang luas mengenai syari’at di mana semua tindakan harus sesuai dengannya. Syarat-syarat ini hanya bisa dipenuhi oleh para faqih, ahli di bidang hukum Islam. Karenanya faqih merupakan figur yang paling siap untuk memerintah masyarakat Islam. Inilah sebenarnya gagasan inti Wilayat al-Faqih. Sebagai penguasa, faqih memiliki otoritas yang sama dan dapat menjalankan fungsi sebagai imam, walaupun ia tidak dengan sendirinya sama dengan imam.
Sebagaimana sudah disinggung di muka, bahwa dalam pandangan Ayatullah Khomeini, selama gaibnya Imam al-Mahdi, kepemimpinan dalam pemerintahan Islam menjadi hak para faqih (ulama). Sekali seorang faqih berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, maka rakyat dan para faqih lain wajib mengikutinya. Karena ia akan memiliki kekuasaan dan otoritas pemerintahan yang sama sebagaimana yang dimiliki Nabi SAW dan para imam terdahulu. Tetapi, menurut Khomeini, tidak setiap faqih qualified sebagai pemimpin.
Sekurang-kurangnya ada delapan persyaratan yang harus dipenuhi seorang faqih untuk bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam, yaitu: (1) mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam, (2) harus adil, dalam arti memiliki iman dan akhlak yang tinggi, (3) dapat dipercaya dan berbudi luhur, (4) jenius atau cerdas, (5) memiliki kemampuan administratif, (6) bebas dari segala pengaruh asing, (7) mampu mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan integritas territorial tanah Islam, sekalipun harus dibayar dengan nyawa dan (8) hidup sederhana.
Menurut Ayatullah Khomeini, banyak
ahli hukum pada zaman kita ini yang memiliki kualitas yang dibutuhkan itu,
yaitu orang yang pandai dan sederhana serta menguasai ilmu hukum Tuhan.
Mengklaim kekuatan politik yang dimiliki Nabi SAW dan Ali bukan berarti bahwa
orang itu menyatakan dirinya sama dengan mereka dalam hal kesucian ruhaninya,
sebab kesucian mereka bukanlah merupakan jaminan bagi mereka untuk mendapatkan
kekuasaan yang lebih besar daripada yang telah ditetapkan bagi semua pemerintah
oleh hukum Tuhan. Masing-masing imam itu di masa hidup mereka memiliki
kekuasaan atas diri orang lain, termasuk pewaris mereka, maka para ahli hukum
itu tidak bisa memiliki “hak pengawasan mutlak” atas ahli hukum lain, dia pun
tidak bisa memilih atau memecat mereka. Tidak ada hirarki di antara mereka.
Ahli hukum itu boleh membentuk pemerintahan sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Jika seseorang ahli hukum melanggar hukum, berarti dia melakukan tindakan yang
salah dan dengan sendirinya dapat didiskualifikasi.
Ayatullah Khomeini menegaskan, bahwa
Islam itu bersifat politik, jika tidak, maka agama hanyalah omong kosong
belaka. Qur’an memuat seratus kali lebih banyak ayat-ayat yang berkenaan dengan
masalah-masalah sosial daripada soal-soal ibadah. Dari lima puluh buku hadis,
barangkali hanya ada tiga atau empat yang mempermasalahkan soal sembahyang atau
kewajiban manusia terhadap Tuhan, sebagian kecil mengenai moralitas dan selebihnya
selalu ada sangkut pautnya dengan masalah kemasyarakatan, ekonomi, hukum,
politik dan negara. Ayatullah Khomeini menyatakan: “jangan sekali-kali
mengatakan bahwa Islam itu hanya terdiri dari satu pengertian kecil; yang cuma
menyangkut hubungan antara Tuhan dengan makhluk-makhluk-Nya. Masjid itu bukan
gereja. Hukum Tuhan menyangkut seluruh kehidupan sejak manusia diciptakan di
dalam kandungan sampai dia masuk liang kubur. Hukum Islam itu bersifat
progresif, perfeksional dan universal”.
Negara Islam adalah negara hukum. Pemerintahan Islam adalah pemerintahan konstitusional. Namun menurut Ayatullah Khomeini, pengertian konstitusional di sini berbeda dengan apa yang selama ini dikenal. Pengertian konstitusional yang merujuk pada “hukum yang disesuaikan dengan pendapat mayoritas”, tidak dikenal dalam sistem pemerintahan Islam. Karena dalam pemerintahan Islam hukum sudah ada, yaitu hukum Tuhan. Dengan kata lain, Tuhanlah pemegang kekuasaan legislatif dan sepenuhnya menjadi hak-Nya. Oleh sebab itu, pemerintahan Islam juga bisa disebut sebagai “pemerintahan hukum Tuhan atas manusia”. Tetapi bukan berarti tidak diperlukan parlemen. Parlemen (majelis) diperlukan guna ‘menyusun program untuk berbagai kementerian berdasarkan ajaran Islam dan menentukan bentuk pelayanan pemerintahan di seluruh negeri.
Negara Islam adalah negara hukum. Pemerintahan Islam adalah pemerintahan konstitusional. Namun menurut Ayatullah Khomeini, pengertian konstitusional di sini berbeda dengan apa yang selama ini dikenal. Pengertian konstitusional yang merujuk pada “hukum yang disesuaikan dengan pendapat mayoritas”, tidak dikenal dalam sistem pemerintahan Islam. Karena dalam pemerintahan Islam hukum sudah ada, yaitu hukum Tuhan. Dengan kata lain, Tuhanlah pemegang kekuasaan legislatif dan sepenuhnya menjadi hak-Nya. Oleh sebab itu, pemerintahan Islam juga bisa disebut sebagai “pemerintahan hukum Tuhan atas manusia”. Tetapi bukan berarti tidak diperlukan parlemen. Parlemen (majelis) diperlukan guna ‘menyusun program untuk berbagai kementerian berdasarkan ajaran Islam dan menentukan bentuk pelayanan pemerintahan di seluruh negeri.
Sesuai dengan tujuan dan misinya,
pemerintah Islam dalam konsep Wilayat al-Faqih memiliki tugas dan fungsi
sebagai berikut: (1) mempertahankan lembaga-lembaga dan hukum Islam; (2)
melaksanakan hukum Islam; (3) membangun tatanan yang adil; (4) memungut dan
memanfaatkan pajak sesuai dengan ajaran Islam; (5) menentang segala bentuk
agresi, mempertahankan kemerdekaan dan integrasi teritorial tanah Islam; (6)
memajukan pendidikan; (7) memberantas korupsi dan segala jenis penyakit sosial
lainnya; (8) memberikan perlakuan yang sama kepada semua warga tanpa
diskriminasi; (9) memecahkan masalah kemiskinan dan (10) memberikan pelayanan
kemanusiaan secara umum.
Berdasarkan tujuan dan misi pemerintahan semacam itu, maka cita-cita untuk menciptakan tatanan sosial yang adil sesuai dengan ketentuan syari’at akan bisa direalisasikan. Cita-cita keadilan berdasarkan syari’at sebagaimana telah diuraikan di atas, merupakan cita-cita ideal bagi suatu pemerintahan Islam di bawah sistem Wilayat al-Faqih.
Berdasarkan tujuan dan misi pemerintahan semacam itu, maka cita-cita untuk menciptakan tatanan sosial yang adil sesuai dengan ketentuan syari’at akan bisa direalisasikan. Cita-cita keadilan berdasarkan syari’at sebagaimana telah diuraikan di atas, merupakan cita-cita ideal bagi suatu pemerintahan Islam di bawah sistem Wilayat al-Faqih.
Tujuan Pemerintahan Dalam Wilayat
al-Faqih
Esensi dari tujuan pemerintahan
Islam yang diakui secara umum adalah merealisaiskan pelaksanaan syari’ah dalam
pemerintahan. Tujuan umum ini secara praktis dapat diterjemahkan sebagai upaya
menegakkan keadilan di muka bumi. Tentu saja, keadilan yang dimaksudkan di sini
adalah keadilan berdasarkan syari’at.
Lalu apa sebenarnya keadilan itu ?
Murtadha Muttahhari mendefinisikan dalam empat hal:
Pertama, keadilan adalah keadaan sesuatu yang seimbang. Apabila kita melihat kelompok tertentu yang di dalamnya terdapat bagian-bagian yang beragam yang menunjukkan satu tujuan tertentu, maka di situ pasti terdapat banyak syarat, dari segi kadar yang dimiliki oleh setiap bagian tersebut. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok tersebut dapat bertahan dan dapat memberikan pengaruh yang dikehendaki darinya, serta dapat menentukan tugas yang diletakkan untuknya.
Pertama, keadilan adalah keadaan sesuatu yang seimbang. Apabila kita melihat kelompok tertentu yang di dalamnya terdapat bagian-bagian yang beragam yang menunjukkan satu tujuan tertentu, maka di situ pasti terdapat banyak syarat, dari segi kadar yang dimiliki oleh setiap bagian tersebut. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok tersebut dapat bertahan dan dapat memberikan pengaruh yang dikehendaki darinya, serta dapat menentukan tugas yang diletakkan untuknya.
Kedua, yang dimaksud keadilan adalah
persamaan dan penafikan terhadap perbedaan apapun. Ketika dikatakan bahwa “si fulan
adalah orang adil”, maka yang dimaksudkan adalah bahwa fulan tersebut memandang
sama setiap individu tanpa melakukan perbedaan.
Ketiga, keadilan adalah memelihara
hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya
dan menjaga dari kedzaliman. Pengertian keadilan seperti ini, yaitu keadilan
sosial, adalah keadilan yang harus dihormati di dalam hukum manusia dan setiap
individu benar-benar diperintahkan untuk menegakkannya.
Keempat, pengertian keadilan ialah
memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi dan tidak mencegah kelanjutan
eksistensi dan peralihan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk eksis
dan melakukan transformasi.
Uraian di
atas menunjukkan bahwa keadilan merupakan konsep yang relatif. Apabila
seseorang menyatakan apa yang dianggapnya adil, maka itu harus relevan dengan
tatanan sosial yang mapan, di bawah tatanan inilah diakui suatu skala keadilan
tertentu. Skala keadilan berbeda dari budaya keadilan budaya dan masing-masing
skala didefinisikan dan pada akhirnya ditentukan oleh masing-masing masyarakat
berdasarkan tatanan sosialnya. Tetapi bagaimanapun skala-skala itu berbeda satu
sama lain, nampaknya kesemuanya itu mempunyai beberapa unsur yang sama, yang
disebut sebagai watak objektif universal kebijakan moral.
Aspek
terpenting bimbingan Ilahiyah adalah membuat manusia mencapai tujuan diciptakan
dirinya, yakni untuk mencapai kemakmuran, Allah telah menganugerahkan manusia
intuisi dan kehendak untuk meningkatkan pemahamannya tentang mengapa dirinya
diciptakan dan untuk mewujudkannya dengan mempergunakan pengetahuan mereka.
Melalui bimbingan ini manusia diharapkan mengembangkan kemampuan untuk menilai
tindakan-tindakannya dan untuk memilih mana yang tepat menuntun mereka keadilan
dimensi keadilan. Betapapun hal ini bukan merupakan spiritual, namun harus
terus tetap berusaha untuk direalisasikan mengingat kelemahan-kelemahan
mendasar manusia.
Dalam
konteks inilah bimbingan Ilahiyah yang mewujudkan dengan diri para Imam melalui
“penunjukan” Nabi SAW, seringkali divisualisasikan sebagai mewakili
transendensi Tuhan di muka bumi. Nabi Muhammad, dalam pandangan Syi’ah
merupakan seorang pemimpin kharismatik sebagai manifestasi dari karakter
politik-religius keselamatan Islam. Dengan demikian, otoritas kenabiannya meliputi
kekuasaan untuk menafsirkan Qur’an guna menciptakan tatanan sosial yang adil
dan setelah beliau wafat untuk meneruskan fungsinya menciptakan tatanan sosial
yang adil, umat membutuhkan seorang pemimpin yang dapat memenuhi peran
spiritual dan temporal (duniawi) mereka.
Dengan kata
lain, hanya seorang pemimpin kharismatik yang mendapat bimbingan langsung dari
Tuhan inilah yang dapat menciptakan suatu tatanan masyarakat yang adil. Orang
yang paling memenuhi syarat untuk tugas tersebut tidak ada lain kecuali anggota
keluarga beliau (Ahlul Bait). Gagasan mengenai pemuliaan terhadap keluarga Nabi
ini pada gilirannya menghasilkan suatu konsep yang kuat mengenai kepemimpinan
“mesianis” (sang juru selamat) di kalangan Syi’isme, suatu keyakinan akan
datangnya sang juru selamat dan penegak keadilan di zaman kelak yang lebih
populer dengan sebutan Imam al-Mahdi.
h. Implementasi Perundang-undangan dalam pemerintahan Wilayat al-Faqih
Konstitusi Republik Islam Iran merupakan satu-satunya undang-undang dasar di dunia yang secara eksplisit mencantumkan konsep Wilayat al-Faqih-nya Ayatullah Khomeini.
Pada bagian Pembukaan Konstitusi 1979, antara lain tertulis: “Rencana Pemerintahan Islam yang berdasarkan Wilayat al-Faqih yang diwakili oleh Imam Khomeini…” Juga disebutkan bahwa, “Berdasarkan prinsip-prinsip Wilayat al-Faqih dan kepemimpinan yang terus-menerus (imamah), maka konstitusi mempersiapkan lahan bagi terwujudnya kepemimpinan oleh faqih…” Atas dasar suatu “reinterpretasi revolusioner” dari setiap konsep Wilayat al-amr dan konsep imamah sebagai suatu prinsip kesinambungan (musiamar) kepemimpinan teokratis, maka ulama yang memegang tampuk kekuasaan diidentifikasikan sebagai wali al-amr (yang memiliki kekuasaan) dan jabatan tertingginya didefinisikan sebagai “kepemimpinan” (rahbani). Pasal 2 Konstitusi 1979 misalnya, menyebutkan Republik Islam sebagai suatu tatanan yang berdasarkan keyakinan pada: (1) tauhid, kemahakuasaan-Nya dan syari’at-Nya…(5) imamah dan kelanjutan kepemimpinan, serta peranan fundamentalnya demi kelanggengan revolusi Islam.
h. Implementasi Perundang-undangan dalam pemerintahan Wilayat al-Faqih
Konstitusi Republik Islam Iran merupakan satu-satunya undang-undang dasar di dunia yang secara eksplisit mencantumkan konsep Wilayat al-Faqih-nya Ayatullah Khomeini.
Pada bagian Pembukaan Konstitusi 1979, antara lain tertulis: “Rencana Pemerintahan Islam yang berdasarkan Wilayat al-Faqih yang diwakili oleh Imam Khomeini…” Juga disebutkan bahwa, “Berdasarkan prinsip-prinsip Wilayat al-Faqih dan kepemimpinan yang terus-menerus (imamah), maka konstitusi mempersiapkan lahan bagi terwujudnya kepemimpinan oleh faqih…” Atas dasar suatu “reinterpretasi revolusioner” dari setiap konsep Wilayat al-amr dan konsep imamah sebagai suatu prinsip kesinambungan (musiamar) kepemimpinan teokratis, maka ulama yang memegang tampuk kekuasaan diidentifikasikan sebagai wali al-amr (yang memiliki kekuasaan) dan jabatan tertingginya didefinisikan sebagai “kepemimpinan” (rahbani). Pasal 2 Konstitusi 1979 misalnya, menyebutkan Republik Islam sebagai suatu tatanan yang berdasarkan keyakinan pada: (1) tauhid, kemahakuasaan-Nya dan syari’at-Nya…(5) imamah dan kelanjutan kepemimpinan, serta peranan fundamentalnya demi kelanggengan revolusi Islam.
Oleh karena
itu, sebagai realisasi dari pasal-pasal tersebut, langkah Islamisasi masyarakat
Iran mencanangkan penghapusan unsur-unsur yang tidak Islami dan pelaksanaan
secara optimal tatanan Islam. Perubahan besar dalam personal dan komite
revolusi diikuti dengan penerapan hukum dan kebijakan-kebijakan baru untuk
mendidik dan memelihara masyarakat Islam. Dewan Penyeru Kebajikan dan Pencegah
Dosa dibentuk untuk memantau kerusakan moral dalam masyarakat. Musik dan tarian
di depan umum dilarang, klab malam dan bar ditutup. Begitu juga alkohol,
perjudian yang cepat dan hukuman yang berat diterapkan oleh
pengadilan-pengadilan revolusi. Pelacuran, perdagangan obat terlarang dan
bentuk-bentuk kemaksiatan lain dijatuhi hukuman mati. Masjid-masjid dan media
massa dimanfaatkan untuk menyebar tuntunan dan ideologi Islami negara.
Draf pertama
Konstitusi Republik Islam Iran disusun pada Juni 1979 oleh Majelis Muassisan
(Majelis Konstitusi) yang dibentuk berdasarkan dekrit Ayatullah Khomeini. Para
anggota Majelis Muassisan, yang kemudian diubah menjadi Majelis-i Khubregan
(Majelis Ahli) ini dipilih oleh rakyat. Ketika bersidang untuk membahas
konstitusi itu, para anggota majelis dari Partai Republik Islam memperkenalkan
pembaharuan penting yang mengubah sifat dasar konstitusi secara fundamental
dengan memasukkan pasal 5 mengenai Wilayat al-Faqih. Pasal itu berbunyi sebagai
berikut: Sepanjang keweajiban Imam segala zaman (semoga Tuhan mempercepat
penjelmaannya yang diperbaharui), perintah dan kepemimpinan bangsa ada di
tangan faqih yang adil dan alim, paham tentang keadaan zamannya, berani, bijak
dan memiliki kemampuan administratif. Pada saat tidak ada faqih yang sangat
dikenal oleh mayoritas, maka suatu dewan kepemimpinan yang terdiri dari fuqaha
yang memiliki kecekapan seperti tersebut di atas akan memikul tanggung jawab
sesuai pasal 107.
Pasal 107 Konstitusi 1979 pada prinsipnya mensahkan Ayatullah Khomeini sebagai Wilayat al-Faqih, marja’ al-Iqlid yang terkemuka dan pemimpin revolusi. Kecakapan khusus pemimpin atau Dewan Kepemimpinan menurut pasal 109 adalah: (1) memenuhi persyaratan dalam hal keilmuan dan kebijakan yang esensial bagi kepemimpinan agama dan pengeluaran fatwa: (2) berwawasan sosial, berani, berkemampuan dan mempunyai cukup keahlian dalam pemerintahan.
Wilayat al-Faqih, menurut pasal 110 Konstitusi diberi tugas dan kekuasaan untuk menunjuk fuqaha pada Dewan Perwalian (Shuraye Nigabhan), wewenang pengadilan yang tertinggi, untuk mengangkat dan memberhentikan penglima tertinggi angkatan bersenjata dan panglima tertinggi pasukan pengawal revolusi Islam, untuk mengangkat keadaan perang dan damai, untuk menyetujui kelayakan calon-calon presiden dan untuk memberikan “presiden republik berdasarkan pada rasa hormat terhadap kepentingan negara”. Oleh karena itu Konstitusi 1979 memberikan wewenang negara yang tertinggi dan berakhir kepada Wilayat al-Faqih (atau Dewan Fuqaha bila tidak ada Wilayat al-Faqih).
Pasal 107 Konstitusi 1979 pada prinsipnya mensahkan Ayatullah Khomeini sebagai Wilayat al-Faqih, marja’ al-Iqlid yang terkemuka dan pemimpin revolusi. Kecakapan khusus pemimpin atau Dewan Kepemimpinan menurut pasal 109 adalah: (1) memenuhi persyaratan dalam hal keilmuan dan kebijakan yang esensial bagi kepemimpinan agama dan pengeluaran fatwa: (2) berwawasan sosial, berani, berkemampuan dan mempunyai cukup keahlian dalam pemerintahan.
Wilayat al-Faqih, menurut pasal 110 Konstitusi diberi tugas dan kekuasaan untuk menunjuk fuqaha pada Dewan Perwalian (Shuraye Nigabhan), wewenang pengadilan yang tertinggi, untuk mengangkat dan memberhentikan penglima tertinggi angkatan bersenjata dan panglima tertinggi pasukan pengawal revolusi Islam, untuk mengangkat keadaan perang dan damai, untuk menyetujui kelayakan calon-calon presiden dan untuk memberikan “presiden republik berdasarkan pada rasa hormat terhadap kepentingan negara”. Oleh karena itu Konstitusi 1979 memberikan wewenang negara yang tertinggi dan berakhir kepada Wilayat al-Faqih (atau Dewan Fuqaha bila tidak ada Wilayat al-Faqih).
Dari sedikit
gambaran tentang konsep Wilayat al-Faqih dalam Konstitusi 1979 Iran, maka
nampak jelas bahwa ia tetap didasarkan pada prinsip imamah yang menjadi salah
satu “rukun iman” dalam mazhab Syi’ah Imamiyah. Bisa juga dikatakan bahwa
Wilayat al-Faqih dimaksudkan untuk “mengisi kekosongan politik selama masa
gaibnya Imam kedua belas (Imam al-Mahdi). Pada masa kegaiban itu, faqih yang
memenuhi syarat berperan selaku wakil Imam al-Mahdi, guna membimbing umat, baik
dalam masalah-masalah keagamaan maupun sosial-politik. Oleh sebab itu,
berdasarkan konsep Wilayat al-Faqih, keberadaan sebuah pemerintahan Islam
merupakan suatu keharusan spiritual maupun historis.
Pada ulama Syi’ah menjunjung tinggi aspek asasiah doktrin imamah, dengan tetap berpegang pada keyakinan bahwa “hanya imam yang ditunjuk secara eksplisitlah yang berhak membuat keputusan mengikat dalam masalah yang mempengaruhi kesejahteraan umat manusia. Karena Imam itu ma’shum dan penafsir otoritatif wahyu Islami, maka ia adalah satu-satunya otoritas absah yang dapat menegakkan negara dan pemerintahan Islam. Namun, di bawah pengaruh kuat keadaan historis, imamah menjadi terbagi keadilan dalam temporal dan spiritual. Otoritas temporal Imam dipandang sebagai telah direbut oleh dinasti yang berkuasa, namun otoritas spiritual tetap dimiliki oleh Imam yang dipandang sebagai hujjah Tuhan mengenai kemahakuasaan-Nya, yang diberi kuasa untuk memandu kehidupan spiritual pada pengikutnya sebagai “Imam sejati”. Tetapi dengan berdirinya Republik Islam Iran yang didasarkan pada konsep Wilayat al-Faqih, maka untuk sementara waktu otoritas temporal dan spiritual itu dapat dipadukan dalam diri para faqih.
Pada ulama Syi’ah menjunjung tinggi aspek asasiah doktrin imamah, dengan tetap berpegang pada keyakinan bahwa “hanya imam yang ditunjuk secara eksplisitlah yang berhak membuat keputusan mengikat dalam masalah yang mempengaruhi kesejahteraan umat manusia. Karena Imam itu ma’shum dan penafsir otoritatif wahyu Islami, maka ia adalah satu-satunya otoritas absah yang dapat menegakkan negara dan pemerintahan Islam. Namun, di bawah pengaruh kuat keadaan historis, imamah menjadi terbagi keadilan dalam temporal dan spiritual. Otoritas temporal Imam dipandang sebagai telah direbut oleh dinasti yang berkuasa, namun otoritas spiritual tetap dimiliki oleh Imam yang dipandang sebagai hujjah Tuhan mengenai kemahakuasaan-Nya, yang diberi kuasa untuk memandu kehidupan spiritual pada pengikutnya sebagai “Imam sejati”. Tetapi dengan berdirinya Republik Islam Iran yang didasarkan pada konsep Wilayat al-Faqih, maka untuk sementara waktu otoritas temporal dan spiritual itu dapat dipadukan dalam diri para faqih.
Salah satu
kritik yang muncul berkenaan dengan konsep Wilayat al-Faqih adalah soal
kriteria faqih yang bisa diangkat sebagai pemimpin. Jelas tidak mudah (bahkan
sangat sulit) menemukan seorang faqih yang bisa memenuhi kriteria sebagaimana
disebutkan dalam Konstitusi 1979 Iran di atas. Hal ini juga terlihat di Iran
sesudah wafatnya Ayatullah Khomeini. Kendati proses pemilihan Ayatullah Ali
Khomeini sebagai pengganti Ayatullah Khomeini berjalan cukup mulus, namun
banyak kalangan yang berpendapat bahwa “kelas” Ali Khomeini masih “jauh di
bawah” tokoh yang digantikannya itu.
Evaluasi atas pengalaman Iran sebagai sebuah Republik Islam sangat bervariasi, tetapi hanya sedikit yang meragukan bahwa perubahan-perubahan besar telah terjadi. Ketika menilai perubahan-perubahan selama ini setelah satu dasawarsa kepemimpinan Khomeini, Fouad Ajmi, seorang analis yang kritis mengenai struktur negara Timur Tengah, menyatakan: “Iran yang telah lahir setelah terjadinya pergeseran kekuasaan politik …oleh para teokrat dan kelompok mereka…Jika kita nilai catatanya sela satu dasawarsa, Iran merupakan sebuah negara yang mampu mengorganisasikan kampaye-kampaye besar yang mungkin dan tidak mungkin”.
Negara yang tercipta melalui revolusi mempunyai kekuatan populis yang istimewa. Para faqih mampu memimpin negara jauh lebih mantap daripada sistem sebelumnya. Republik teokratis itu telah menutup kesenjangan yang melumpuhkan antara negara dan masyarakat yang sebelumnya menjadi ciri kehidupan politik Persia. Apakah upaya menjembatani kesenjangan antara negara dan masyarakat ini menandai adanya gerakan menuju sistem politik yang lebih demokratis atau tidak, hal ini masih diperdebatkan. Namun, ia telah memberikan landasan yang lebih memungkinkan terjadinya transisi yang sukses menuju era baru yang lebih baik.
Evaluasi atas pengalaman Iran sebagai sebuah Republik Islam sangat bervariasi, tetapi hanya sedikit yang meragukan bahwa perubahan-perubahan besar telah terjadi. Ketika menilai perubahan-perubahan selama ini setelah satu dasawarsa kepemimpinan Khomeini, Fouad Ajmi, seorang analis yang kritis mengenai struktur negara Timur Tengah, menyatakan: “Iran yang telah lahir setelah terjadinya pergeseran kekuasaan politik …oleh para teokrat dan kelompok mereka…Jika kita nilai catatanya sela satu dasawarsa, Iran merupakan sebuah negara yang mampu mengorganisasikan kampaye-kampaye besar yang mungkin dan tidak mungkin”.
Negara yang tercipta melalui revolusi mempunyai kekuatan populis yang istimewa. Para faqih mampu memimpin negara jauh lebih mantap daripada sistem sebelumnya. Republik teokratis itu telah menutup kesenjangan yang melumpuhkan antara negara dan masyarakat yang sebelumnya menjadi ciri kehidupan politik Persia. Apakah upaya menjembatani kesenjangan antara negara dan masyarakat ini menandai adanya gerakan menuju sistem politik yang lebih demokratis atau tidak, hal ini masih diperdebatkan. Namun, ia telah memberikan landasan yang lebih memungkinkan terjadinya transisi yang sukses menuju era baru yang lebih baik.
ali khamenei bukan anak khomeini, kesalahannya fatal banget
BalasHapus