Kamis, 10 Januari 2013

“PERBANDINGAN KONSTITUSI JEPANG DAN KONSTITUSI IRAN”



“PERBANDINGAN KONSTITUSI JEPANG DAN KONSTITUSI IRAN”
A.  Pendahuluan
Kata “Konstitusi”, brasal dari bahasa Perancis constituer yaitu sebagi ungkapan yang berarti membentuk. Tetapi secara terminologi, konstitusi tidak hanya dipahami dengan arti yangs ederhana itu, namun menjadi lebih luas lagi. Keanekaragaman dalam memahami pengertian konstitusi dapat dilihat dari pandangan yang diberikan para ahli dalam berbagai literatu. C.F. Strong lewat karyanya yang berjudul Modern Political cinstitutions, An Introduction The Comparative Studi Of Their History and Existing Form, iberpendapat:
“a constitution may be said to be a collection of principles according to which the powers of the goverment, the rights of the govened, and the relations between the two are adjusted”
Ada tiga unsur yang dapat ditemukan dalam definisi Strong tersebut, Pertama, prinsip-prinsip mengenai kekuasaan pemerintah, kedua, prinsip-prinsip mengenai hak-hak warga negara dan ketiga, prinsip-prinsip mengenai hubungan antara warga negara dengan pemerintah.
Perbandinagn Konstitusi atau Perbandingan Hukum Konstitusi atau juga ada yang mengistilahkan dengan hukum Konstitusi Perbandingan  adalah salah satu cabang dari hukum. Secara faktual hampir tidak ada suatu negara di belahan dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk Inggris sekalipun.

JEPANG

A.  Gambaran Umum Tentang Negara Jepang
Jepang (bahasa Jepang: 日本 Nippon/Nihon, nama resmi: 日本国 Nipponkoku/Nihonkoku) adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung barat Samudra Pasifik, di sebelah timur Laut Jepang, dan bertetangga dengan Republik Rakyat Cina, Korea, dan Rusia. Pulau-pulau paling utara berada di Laut Okhotsk, dan wilayah paling selatan berupa kelompok pulau-pulau kecil di Laut Cina Timur, tepatnya di sebelah selatan Okinawa yang bertetangga dengan Taiwan.
Jepang terdiri dari 6.852 pulau yang membuatnya merupakan suatu kepulauan. Pulau-pulau utama dari utara ke selatan adalah Hokkaido, Honshu (pulau terbesar), Shikoku, dan Kyushu. Sekitar 97% wilayah daratan Jepang berada di keempat pulau terbesarnya. Sebagian besar pulau di Jepang bergunung-gunung, dan sebagian di antaranya merupakan gunung berapi. Gunung tertinggi di Jepang adalah Gunung Fuji yang merupakan sebuah gunung berapi. Penduduk Jepang berjumlah 128 juta orang, dan berada di peringkat ke-10 negara berpenduduk terbanyak di dunia. Tokyo secara de facto adalah ibu kota Jepang, dan berkedudukan sebagai sebuah prefektur. Tokyo Raya adalah sebutan untuk Tokyo dan beberapa kota yang berada di prefektur sekelilingnya. Sebagai daerah metropolitan terluas di dunia, Tokyo Raya berpenduduk lebih dari 30 juta orang.
Menurut mitologi tradisional, Jepang didirikan oleh Kaisar Jimmu pada abad ke-7 SM. Kaisar Jimmu memulai mata rantai monarki Jepang yang tidak terputus hingga kini. Meskipun begitu, sepanjang sejarahnya, untuk kebanyakan masa kekuatan sebenarnya berada di tangan anggota-anggota istana, shogun, pihak militer, dan memasuki zaman modern, di tangan perdana menteri. Menurut Konstitusi Jepang tahun 1947, Jepang adalah negara monarki konstitusional di bawah pimpinan Kaisar Jepang dan Parlemen Jepang.
Sebagai negara maju di bidang ekonomi, Jepang memiliki produk domestik bruto terbesar nomor dua setelah Amerika Serikat, dan masuk dalam urutan tiga besar dalam keseimbangan kemampuan berbelanja. Jepang adalah anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, G8, OECD, dan APEC. Jepang memiliki kekuatan militer yang memadai lengkap dengan sistem pertahanan moderen seperti AEGIS serta suat armada besar kapal perusak. Dalam perdagangan luar negeri, Jepang berada di peringkat ke-4 negara pengekspor terbesar dan peringkat ke-6 negara pengimpor terbesar di dunia. Sebagai negara maju, penduduk Jepang memiliki standar hidup yang tinggi (peringkat ke-8 dalam Indeks Pembangunan Manusia) dan angka harapan hidup tertinggi di dunia menurut perkiraan PBB. Dalam bidang teknologi, Jepang adalah negara maju di bidang telekomunikasi, permesinan, dan robotika.

B.  Konstitusi Jepang
Konstitusi Jepang (Shinjitai: 日本国憲法 Kyūjitai: 日本國憲法 Nihon-Koku Kenpō?) adalah dokumen legal pendirian negara Jepang sejak tahun 1947. Konstitusi ini menetapkan pemerintahan berdasarkan sistem parlementer dan menjamin kepastian akan hak-hak dasar warga negara. Berdasarkan ketetapannya, Kaisar Jepang berperan sebagai "simbol Negara dan persatuan rakyat" dan menjalankan peran yang murni seremonial tanpa kedaulatan yang sesungguhnya. Dengan demikian, berbeda dengan raja atau ratu lainnya, Kaisar Jepang secara formal bukanlah kepala negara[1] meskipun ia ditampilkan dan diperlakukan sebaimana layaknya seorang kepala negara. Konstitusi ini, yang disebut juga "Konstitusi Damai ( 平和憲法 Heiwa-Kenpō?)," memiliki karakteristik utama dan terkenal karena tidak memberikan hak untuk memulai perang; yang terdapat pada Pasal 9, dan dalam penjelasan yang lebih ringkas pada ketetapan de jure kedaulatan rakyat yang berhubungan dengan peranan kekaisaran.
Konstitusi ini ditulis ketika Jepang berada di bawah pendudukan Sekutu seusai Perang Dunia II dan direncanakan untuk menggantikan sistem monarki absolut yang militeristik dengan suatu bentuk demokrasi liberal. Saat ini, dokumen konstitusi ini bersifat kaku dan belum ada amandemen yang ditambahkan sejak penetapannya.

Sejak berakhirnya perang dunia II, perkembanagn suasana kehidupan politik dan sistem politik di Jepang mengalami beberapa fase perubahan, yaitu secagai berikut :
-          Period 1 (the period of the Occupation and political realignment just after the war): 1945to the early 1950s.
-          Period 2 (the period of the “one and a half party system’): the early 1950s, whwn Japan regained independece. But a better choice is 1955, when conservative parties merged, as dd the socialist parties, establishing the so –called 1955 system are one and a half party  system.
-          Period 3 (the priod of conservative resurgence): from the late 1970s on. The beginning of thes period was marked by a resurgence of the conservative party, which could be observed in in opinion surve data or in 1980 in the national elections return. (Kozo Yakamura dan Yasukitche Yasuba, 1987:55-56).
Pada periode kedua dapat pula disebut sebagai periode pertumbuhan ekonomi yang pesat (the period of rapid economic growth). Hal ini disebabkan pada tahun  1960-1n terjadi rapid economic growth (pertumbuhan ekonomi yang pesat), di samping itu terjadi pula upaya untuk menginterprestasikan pasal 9 Konstitusi 1949, sehingga Jepang boleh mempunyai pasukan bela diri, adanya revisi”security treaty”, di mana Jepang dilindungi Amarika Serikat . Suasana kehidupan politik yang tercermin dalam sistem politik dan sistem pemerintahan suatu negara, dapat dilihat dalam UUD/Konstitusi negara tersebut (bila negara itu mempunyai UUD/Konstitusi). Oleh karena itu, sistem politik dan sistem pemerintahan Jepang dapat dilihat dalam UUD/Konstitusi terbaru  Jepang, yaitu Konstitusi 1947. Konstitusi 1947 tersebut mengandung tiga (3) prinsip pokok, yaitu : (periksa. Kishomoto Koichi, 1988: 42-44).
1.      Kedaulatan rakyar dan Peranan Kaisar sebagai simbol (popular souvereignity and the simbolic role of the emperor.
2.      Suka perdamaian (pacifism),
3.      Menghormati hak asasi manusia (respect for fundamental human rights).
Sesuai dengan judul tulisan ini maka berikut ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan sistem politik dan sistem pemerintahan Jepang.
C.  Sistem politik Jepang
Pada umumnya struktur ketatanegaraan meliputi dua suasana tata kehidupan politik, yaitu  suasana kehidupan politik pemerintah (Suprastruktur politik/the government political sphere). Suasana tata kehidupan politik tersebut terjadi di negara-negara yang menganut sistem politik tidak absolut otoriter, yaitu pada negara-negara yang menganut faham demokrasi.
Membicarakan sistem politik suatu negara, berarti membicarakan interaksi aktif yang erat, selaras, saling mengisi, saling memberi pengertian, antara komponen supra struktur politik, sehingga terdapat suasana kehidupan kenegaraan yang harmonis dalam menentukan kebijakan umum dan menetapkan keputusan politik. Dalam hal ini, masyarakat yang tercermin dalam komponen –komponen infra struktur politik berfungsi sebagai masukan (input) yang berwujud pernyataan kehendak dan tuntutan masyarakat (social demand); sedangkan supra struktur politik (pemerintah dalam arti luas) berfungsi sebagai output dalam hal menentukan kebijakan umum (public policy) yang berwujud keputusan-keputusan politik(political decision). Suasana kehidupan politik tersebut dapat dilihat dalam UUD/Konstitusi masing-masing negara (bila negara itu mempunyai UUD/Konstitusi).
Jepang (sebagai salah satu negara demokrasi) juga mempunyai struktur ketatanegaraan sebagaimana tersebut di muka, yang meliputi supra struktur politik dan infra struktur politik. Hal ini dapat dilihat dalam Konstitusi 1947.
Supra struktur politik, meliputi lembaga-lembaga kenegaraan atau Lembaga-lembaga Neagra atau alat –alat Perlengkap Negara. Dengan demikian, supra struktur politik Negara Jepang menurut Konstitusi 1947, meliputi :
A.    Lembaga Legislatif (legislature), yaitu National Diet (Parlemen Nasional)
B.     Lembaga Eksekutif (Executive), yaitu Cabinet (Dewan Menteri), yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri.
C.     Lembaga Judisiil (Judiciary), yaitu Supreme Court (Mahkamah  Agung).
      Sedangkan Infra struktur politik meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan lembaga –lembaga kemasyarakatan, yang dalam aktivitasnya mempengaruhi (baik secara langsung  maupun tidak langsung) lembaga-lembaga kenegaraan dalam menjalankan fungsi serta kekuasaannya masing-masig. Infrastruktur ini terdiri dari lima 5 komponen/unsur, yaitu :
1.      Partai politik (political party)
2.      Golongan kepentingan (interest group), terdiri dari :
a.       Interest group asosiasi
b.      Interest group institusional
c.       Interest group non asosiasi
d.      Interest group yang anomik
3.      Golongan penekan (pressure group)
4.      Alat komunikasi politik (media political communication)
5.      Tokoh politik (political figure)
     
      Jepang sebagai suatu negara yang menganut sistem politik demokrasi, tidak dapat meniadakan hidup dan berkembangnya partai politik, dengan kata lain adanya partai politik merupakan salah satu ciri bahwa Jepang merupakan negara demokrasi. Sampai saat ini, Jepang menganut sistem politik multi party (banyak partai), yaitu ada enam (6) partai besar :
1.      Liberal Democratic Partay (jiyu Minshuto or Jiminto), yang banyak didukung oleh birokrat, pengusaha, dan petani.
2.      The Japan Socialist Party (nippon S Hakaito), yang didukung oleh buruh(sayap kiri).
3.      The Komneito (Clean Goverment Party), yang didukung para penganut agama Budha.
4.      The Democatic Socialist Party (Minshato), yang didukung oleh buruh (sayap kanan).
5.      The Japan Communist Party (Nihon Kyosanto), yang didukung oleh komunis.
6.      The United Social Democratic Party (Shakai Minshu Rengo of Shminren), merupakan partai termuda dan terkecil di Jepang, merupakan sempalan JSP (sosialis sayap kanan). Lihat Kishimoto Koichi, 1982: 91-93)

D.  Sistem pemerintahan Jepang
Membicarakan sistem pemerintahan (dalam arti luas) suatu negara berarti membicarakan hubungan antar sub-sistem pemerintahan, yang meliputi semua lembaga-lembaga negara atau alat-alat perlengkapan negara yang ada  pada suatu negara itu, untuk mencapai tujuan tertentu (tujuan negara) misalnya hubungan antara lembag-lembaga eksekutif, legislatif dan yudisiil. Sedangkan sistem pemerintahan dalam arti sempit, hanya membicarakan hubungan antar lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam suatu negara.
Dengan demikian membicarakan sistem pemerintahan Jepang (dalam arti luas) berarti membicaraka hubungan antar organ-organ negara atau lembaga-lembaga negara yang ada di Jepang (dalam supra struktur politik), yaitu antar :
  1. Lembaga Eksekutif (Executive), yaitu Cabinet (Dewan Menteri) yang dimpin oleh Perdana Menteri.
  2. Lembaga Legislatif (Legislature), yaitu National Diet(Parlement Nasional).
  3. Lembaga Judisiil (judiciary), yaitu Supreme Court (Mahkamah Agung).

Jepang menganut sistem pemerintahan parlementer, oleh karena itu kekuasaan lembaga –lembaga negara tersebut tidak terpisah, melainkan terdapat hubunan timbal balik yang sangat erat. Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan presidensial murni, yang didalamnya terdapat pemisahan kekuasaan secara tegas (separation of power) antara lembaga negara yang ada (misalnya: Sistem pemerintahan Amerika Serikat).
Sistem pemerintahan Jepang (dalam arti luas) menurut konstitusi 1947 dapat digambarkan sebagai berikut :








Legislature National Diet
 




 


     

                       B                                                                                      E


People Souverinigty
 
 
                             A                                                                          F
Execcutive Cabinet
 
Judiciary Supreme Court
 
                                                    C
                                  
                                                    D                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          

 
                                              
Penjelasan :
a.       Kabinet dapat membubarkan Parlemen (tetapi hanya Majelis Rendah/House of Councellors).
b.      Parlemen mengangkat/menunjuk Perdana Menteri (harus orang sipil dan harus dari anggota Parlemen /Diet)
c.       Mahkamah Agung mengawasi Kabinet dalam melaksanakan Konstitusi 1947
d.      Kabinet menunjuk Ketua Mahkamah Agung dan Hakim Agung
e.       Mahkamah Agung mengawasi jalannya/pelaksanaan tugas-tugas Parlemen (misalnya dalam pembuatan Undang-Undang).
f.       Impeachment, yaitu dapat memanggil Mahkamah Agung mempertanggungjawabkan perbuatannya, atau dapat menuduh Mahkamah Agung tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.
Dari bagan tersebut di muka, terlihat jelas bahwa terdapat hubungan timbal balik (saling mengawasi ) antara lembaga-lembaga negara  Jepang.
Sedangkan sistem pemerintahan Jepang tersebut tidak bisa lepas dari sistem politiknya, karena sistem pemerintahan merupakan bagian dari sistem politik. Dalam pelaksanaan sistem pemerintahan terdapat masukan (input) yang berasal dari keinginan-keinginan masyarakat (infra struktur politik). Proses pengambilan keputusan, dan keluaran (out put) berupa kebijakan umum (public policy) yang berwujud keputusan –keputusan politik yang bersifat nasional, regional maupun internasional. Dengan demikian sistem politik dan sistem pemerintahan  akan sangat mempengaruhi Jepang dalam membuat kebijakan nasional, Regional, maupun internasional.


NEGARA IRAN
A.  Gambaran Umum
Iran (atau Persia) (bahasa Persia: ایران) adalah sebuah negara Timur Tengah yang terletak di Asia Barat Daya. Meski di dalam negeri negara ini telah dikenal sebagai Iran sejak zaman kuno, hingga tahun 1935 Iran masih dipanggil Persia di dunia Barat. Pada tahun 1959, Mohammad Reza Shah Pahlavi mengumumkan bahwa kedua istilah tersebut boleh digunakan. Nama Iran adalah sebuah kognat perkataan "Arya" yang berarti "Tanah Bangsa Arya".
Iran berbatasan dengan Azerbaijan (500 km) dan Armenia (35 km) di barat laut dan Laut Kaspia di utara, Turkmenistan (1000 km) di timur laut, Pakistan (909 km) dan Afganistan (936 km) di timur, Turki (500 km) dan Irak (1.458 km) di barat, dan perairan Teluk Persia dan Teluk Oman di selatan.
Pada tahun 1979, sebuah Revolusi Iran yang dipimpin Ayatollah Khomeini mendirikan sebuah Republik Islam teokratis sehingga nama lengkap Iran saat ini adalah Republik Islam Iran (جمهوری اسلامی ایران).

B.  Sejaran Iran

Sejarah awal, Kekaisaran Media dan Kekaisaran Achaemenid (3200 SM – 330 SM) Dari tulisan-tulisan sejarah, peradaban Iran yang pertama ialah Proto-Iran, diikuti dengan peradaban Elam. Pada milenium kedua dan ketiga, Bangsa Arya hijrah ke Iran dan mendirikan kekaisaran pertama Iran, Kekaisaran Media (728-550 SM). Kekaisaran ini telah menjadi simbol pendiri bangsa dan juga kekaisaran Iran, yang disusul dengan Kekaisaran Achaemenid (648–330 SM) yang didirikan oleh Cyrus Agung.

Cyrus Agung juga terkenal sebagai pemerintah pertama yang mewujudkan undang-undang mengenai hak-hak kemanusiaan, tertulis di atas artefak yang dikenal sebagai Silinder Cyrus. Ia juga merupakan pemerintah pertama yang memakai gelar Agung dan juga Shah Iran. Di zamannya, perbudakan dilarang di kawasan-kawasan taklukannya (juga dikenal sebagai Kekaisaran Persia.) Gagasan ini kemudian memberi dampak yang besar pada peradaban-peradaban manusia setelah zamannya.
Kekaisaran Persia kemudian diperintah oleh Cambyses selama tujuh tahun (531-522 M) dan kemangkatannya disusul dengan perebutan kuasa di mana akhirnya Darius Agung (522-486 M) dinyatakan sebagai raja.
Ibu kota Persia pada zaman Darius I dipindahkan ke Susa dan ia mulai membangun Persepolis. Sebuah terusan di antara Sungai Nil dan Laut Merah turut dibangun dan menjadikannya pelopor untuk pembangunan Terusan Suez. Sistem jalan juga turut diperbaharui dan sebuah jalan raya dibangun menghubungkan Susa dan Sardis. Jalan raya ini dikenal sebagai Jalan Kerajaan.
Selain itu, pen-syiling-an dalam bentuk daric (syiling emas) dan juga Shekel (syiling perak) diperkenalkan ke seluruh dunia. Bahasa Persia Kuno turut diperkenalkan dan diterbitkan di dalam prasasti-prasasti kerajaan.
Di bawah pemerintahan Cyrus Agung dan Darius yang Agung, Kekaisaran Persia menjadi sebuah kekaisaran yang terbesar dan terkuat di dunia zaman itu. Pencapaian utamanya ialah sebuah kekaisaran besar pertama yang mengamalkan sikap toleransi dan menghormati budaya-budaya dan agama-agama lain di kawasan jajahannya.

Kekaisaran Iran Ketiga: Kekaisaran Parthia (248 SM – 224 M). Parthia bermula dengan Dinasti Arsacida yang menyatukan dan memerintah dataran tinggi Iran, yang juga turut menaklukkan wilayah timur Yunani pada awal abad ketiga Masehi dan juga Mesopotamia antara tahun 150 SM dan 224 M. Parthia juga merupakan musuh bebuyutan Romawi di sebelah timur, dan membatasi bahaya Romawi di Anatolia. Tentara-tentara Parthia terhagi atas dua kelompok berkuda, tentara berkuda yang berperisai dan membawa senjata berat, dan tentara berkuda yang bersenjata ringan dan kudanya lincah bergerak. Sementara itu, tentara Romawi terlalu bergantung kepada infantri, menyebabkan Romawi sukar untuk mengalahkan Parthia. Tetapi, Parthia kekurangan teknik dalam perang tawan, menyebabkan mereka sukar mengawal kawasan taklukan. Ini menyebabkan kedua belah pihak gagal mengalahkan satu sama lain. Kekaisaran Parthia tegak selama lima abad (Berakhir pada tahun 224 M,) dan raja terakhirnya kalah di tangan kekaisaran lindungannya, yaitu Sassania.

Kekaisaran Iran Keempat: Kekaisaran Sassania (226–651). Ardashir I, shah pertama Kekaisaran Sassania, mula membangun kembali ekonomi dan militer Persia. Wilayahnya meliputi kawasan Iran modern, Irak, Suriah, Pakistan, Asia Tengah dan wilayah Arab. Pada zaman Khosrau II (590-628) pula, kekaisaran ini diperluas hingga Mesir, Yordania, Palestina, dan Lebanon. Orang-orang Sassanid menamakan kekaisaran mereka Erānshahr (atau Iranshæhr, "Penguasaan Orang Arya".)

Kekaisaran Sassania pada zaman kegemilangannya. Sejarah Iran seterusnya diikuti dengan konflik selama enam ratus tahun dengan Kekaisaran Romawi. Menurut sejarawan, Persia kalah dalam Perang al-Qādisiyyah (632 M) di Hilla, Iraq. Rostam Farrokhzād, seorang jenderal Persia, dikritik kerana keputusannya untuk berperang kengan orang Arab di bumi Arab sendiri. Kekalahan Sassania di Irak menyebabkan tentara mereka tidak keruan dan akhirnya ini memberi jalan kepada futuhat Islam atas Persia. Era Sassania menyaksikan memuncaknya peradaban Persia, dan merupakan kekaisaran Persia terakhir sebelum kedatangan Islam. Pengaruh dan kebudayaan Sassania kemudian diteruskan setelah pemelukan Islam oleh bangsa Persia.

Islam Persia dan Zaman Kegemilangan Islam Persia (700–1400). Setelah pemelukan Islam, orang-orang Persia mulai membentuk gambaran Islam Persia, di mana mereka melestarikan gambaran sebagai orang Persia tetapi pada masa yang sama juga sebagai muslim. Pada tahun 8 M, Parsi memberi bantuan kepada Abbassiyah memerangi tentara Umayyah, karena Bani Umayyah hanya mementingkan bangsa Arab dan memandang rendah kepada orang Persia. Pada zaman Abbassiyah, orang-orang Persia mula melibatkan diri dalam administrasi kerajaan. Sebagian mendirikan dinasti sendiri.

Pada abad kesembilan dan kesepuluh, terdapat beberapa kebangkitan ashshobiyyah Persia yang menentang gagasan Arab sebagai Islam dan Muslim. Tetapi kebangkitan ini tidak menentang identitas seorang Islam. Salah satu dampak kebangkitan ini ialah penggunaan bahasa Persia sebagai bahasa resmi Iran (hingga hari ini.)
Pada zaman ini juga, para ilmuwan Persia menciptakan Zaman Kegemilangan Islam. Sementara itu Persia menjadi tumpuan penyebaran ilmu sains, filsafat dan teknik. Ini kemudian memengaruhi sains di Eropa dan juga kebangkitan Renaissance.
Bermula pada tahun 1220, Parsi dimasuki oleh tentera Mongolia di bawah pimpinan Genghis Khan, diikuti dengan Tamerlane, dimana kedua penjelajah ini menyebabkan kemusnahan yang parah di Persia.

Islam Syi'ah, Kekaisaran Safawi, Dinasti Qajar/Pahlavi dan Iran Modern (1501 – 1979). Parsi mulai berganti menjadi Islam Syiah pada zaman Safawi, pada tahun 1501. Dinasti Safawi kemudian menjadi salah satu penguasa dunia yang utama dan mulai mempromosikan industri pariwisata di Iran. Di bawah pemerintahannya, arsitektur Persia berkembang kembali dan menyaksikan pembangunan monumen-monumen yang indah. Kejatuhan Safawi disusuli dengan Persia yang menjadi sebuah medan persaingan antara kekuasaan Kekaisaran Rusia dan Kekaisaran Britania (yang menggunakan pengaruh Dinasti Qajar). Namun begitu, Iran tetap melestarikan kemerdekaan dan wilayah-wilayahnya, menjadikannya unik di rantau itu. Modernisasi Iran yang bermula pada lewat abad ke-19, membangkitkan keinginan untuk berubah dari orang-orang Persia. Ini menyebabkan terjadinya Revolusi Konstitusi Persia pada tahun 1905 hingga 1911. Pada tahun 1921, Reza Khan (juga dikenal sebagai Reza Shah) mengambil alih tahta melalui perebutan kekuasaan dari Qajar yang semakin lemah. Sebagai penyokong modernisasi, Shah Reza memulai pembangunan industri modern, jalan kereta api, dan pendirian sistem pendidikan tinggi di Iran. Malangnya, sikap aristokratik dan ketidakseimbangan pemulihan kemasyarakatan menyebabkan banyak rakyat Iran tidak puas.

Pada Perang Dunia II, tentara Inggris dan Uni Soviet menyerang Iran dari 25 Agustus hingga 17 September 1941, untuk membatasi Blok Poros dan menggagas infrastruktur penggalian minyak Iran. Blok Sekutu memaksa Shah untuk melantik anaknya, Mohammad Reza Pahlavi menggantikannya, dengan harapan Mohammad Reza menyokong mereka.
Malangnya, pemerintahan Shah Mohammad Reza bersifat otokratis. Dengan bantuan dari Amerika dan Inggris, Shah meneruskan modernisasi Industri Iran, tetapi pada masa yang sama menghancurkan partai-partai oposisi melalui badan intelijennya, SAVAK. Ayatollah Ruhollah Khomeini menjadi oposisi dan pengkritik aktif terhadap pemerintahan Shah Mohammad Reza dan kemudian ia dipenjarakan selama delapan belas bulan. Melalui nasihat jenderal Hassan Pakravan, Khomeini dibuang ke luar negeri dan diantar ke Turki dan selepas itu ke Irak.

Revolusi Islam dan Perang Iran-Irak (1979-88). Protes menentang Shah semakin meningkat dan akhirnya terjadilah Revolusi Iran. Shah Iran terpaksa melarikan diri ke negara lain setelah kembalinya Khomeini dari pembuangan pada 1 Februari 1979. Khomeini kemudianvmengambil alih kekuasaan dan membentuk pemerintahan sementara, pada 11 Februari yang dikepalai Mehdi Bazargan sebagai perdana menteri. Setelah itu, Khomeini mengadakan pungutan suara untuk membentuk sebuah Republik Islam. Keputusan undian menunjukkan lebih dari 98% rakyat Iran setuju dengan pembentukan itu. Sistem pemerintahan baru yang dibentuk berasaskan undang-undang Islam, sayangnya hanya diterapkan sebagian.

Tetapi, hubungan Iran dengan Amerika menjadi keruh setelah revolusi ini, terutama saat mahasiswa-mahasiswa Iran menawan kedutaan Amerika pada 4 November 1979, atas alasan kedutaan itu menjadi pusat intelijen Amerika. Khomeini tidak mengambil tindakan apapun mengenai tidakan ini sebaliknya memuji mahasiswa-mahasiswa itu. Sebagai balasan, Iran menginginkan Shah Mohammad Reza Pahlavi dikembalikan ke Iran, tetapi ini tidak mereka setujui. Setelah 444 hari di dalam tawanan, akhirnya para tawanan itu dibebaskan sebagai tindak lanjut Deklarasi Aljir.
Pada saat yang sama, Saddam Hussein, presiden Irak saat itu, mengambil kesempatan di atas kesempitan setelah revolusi Iran dan juga kekurangan popularitas Iran di negara-negara barat, untuk melancarkan perang atas Iran. Tujuan utama peperangan ini ialah menaklukkan beberapa wilayah yang dituntut Irak, terutamanya wilayah Khuzestan yang kaya dengan sumber minyak. Saddam pula ketika itu mendapat sokongan dari Amerika, Uni Soviet dan beberapa negara Arab lain. Tentara Iran pula yang suatu masa dahulu merupakan sebuah tentara yang kuat, telah dibubarkan saat itu. Walau bagaimanapun, mereka berhasil mencegah bahaya tentara Irak seterusnya menaklukkan kembali wilayah Iran yang ditaklukkan Irak. Dalam peperangan ini puluhan ribu nyawa, baik penduduk awam maupun laskar Iran, menjadi korban. Jumlah korban diperkirakan antara 500.000 hingga 1.000.000.
C.  Pemerintah Dan Politik

Pemimpin Agung

Pemimpin Agung Iran bertanggung jawab terhadap "kebijakan-kebijakan umum Republik Islam Iran". Ia juga merupakan ketua pasukan bersenjata dan badan intelijen Iran dan mempunyai kuasa mutlak untuk menyatakan perang. Ketua kehakiman, stasiun radio dan rangkaian televisi, ketua polisi dan tentara dan enam dari dua belas anggota Majelis Wali Iran juga dilantik oleh Pemimpin Agung. Majelis Ahli bertanggung jawab memilih dan juga memecat Pemimpin Agung atas justifikasi kelayakan dan popularitas individu itu. Majelis ini juga bertanggung jawab memantau tugasan Pemimpin Agung.
Majlis Wali Iran mempunyai dua belas ahli undang-undang, dan enam dari mereka dilantik oleh Pemimpin Agung. Ketua Kehakiman akan mencadangkan enam aanggota selebihnya dan mereka akan dilantik secara resmi oleh parlemen Iran atau Majles. Majelis ini akan menafsirkan konstitusi dan mempunyai hak veto untuk keputusan dan keanggotaan parlemen Iran. Jikalau terdapat undang-undang yang tidak sesuai dengan hukum syariah, maka akan dirujuk kembali oleh parlemen.
Eksekutif
Orang kedua terpenting dalam Republik Islam Iran adalah presiden. Setiap presiden dipilih melalui pemilihan umum dan akan memerintah Iran selama empat tahun. Setiap calon presiden mesti mendapat persetujuan dari Majelis Wali Iran sebelum pemilu dilaksanakan agar mereka 'serasi' dengan gagasan negara Islam. Tanggung jawab presiden adalah memastikan konstitusi negara diikuti dan juga mempraktikkan kekuasaan eksekutif. Tetapi presiden tidak berkuasa atas perkara-perkara yang di bawah kekuasaan Pemimpin Agung.
Presiden melantik dan mengepalai Kabinet Iran, dan berkuasa membuat keputusan mengenai administrasi negara. Terdapat delapan wakil presiden dan dua puluh satu menteri yang ikut serta membantu presiden dalam administrasi, dan mereka semua mesti mendapat persetujuan badan perundangan. Tidak seperti negara-negara lain, cabang eksekutif tidak memiliki kekuasaan dalam pasukan bersenjata, tetapi presiden Iran berkuasa melantik Menteri Pertahanan dan Intelijen dan harus mendapat persetujuan Pemimpin Agung dan badan perundangan.

Majelis Kebijaksanaan

Majelis Kebijaksanaan berkuasa untuk menyelesaikan konflik antara parlemen dengan Majelis Wali Iran. Badan ini juga turut menjadi penasihat Pemimpin Agung.

Parlemen

Majles-e Shura-ye Eslami (Majlis Perundingan Islam) mempunyai 290 anggota yang dilantik dan akan bertugas selama empat tahun. Semua calon Majles dan ahli undang-undang dari parlemen haruslah mendapat persetujuan Majelis Wali.

Majlis Iran
(Persia: مجلس شورای اسلامی), juga disebut Parlemen Iran, adalah tubuh legislatif nasional Iran. Majlis kini memiliki 290 wakil dari sebelumnya 270 kursi sejak pemilihan umum 18 Februari 2000 dan akan berubah menjadi 310 wakil di pemilu 2012 .
Awalnya Majlis Iran adalah Majelis rendah Iran dari tahun 1906 sampai 1979 dan Majelis tinggi dipegang oleh senat yang waktu itu menggunakan Sistem dua kamar. Setelah revolusi Islam tahun 1979, Iran menggunakan Sistem satu kamar, Majlis menjadi badan legislatif tunggal, sebagai Majelis Permusyawaratan Islam.
Majelis Rendah
Mejelis Rendah adalah salah satu dari dua "kamar" dalam sistem dua kamar di mana pasangan lainnya adalah Majelis Tinggi. Di banyak negara, majelis ini seringkali memiliki kekuasaan yang besar karena adanya batasan terhadap kekuasaan Majelis Tinggi. Dalam sistem parlementer, hanya Majelis Rendah yang dapat mengangkat kepala pemerintahan atau perdana menteri, dan dapat pula menurunkan mereka melalui mosi tidak percaya.
Majelis Tinggi
Majelis Tinggi adalah salah satu dari dua "kamar" dalam sistem dua kamar. Pasangan lainnya dari Majelis Tinggi adalah Majelis Rendah. Di banyak negara, majelis ini seringkali memiliki kekuasaan yang spesifik dan terbatas, karena umumnya kekuasaan Majelis Rendah lebih besar. Dalam sistem parlementer, Majelis Tinggi biasanya hanya berperan sebagai pemberi saran atau revisi atas legislasi, namun tidak memulai legislasi itu sendiri.
Sistem dua kamar adalah praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen. Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga legistlatif yang terdiri atas dua kamar. Di Britania Raya sistem dua kamar ini dipraktikkan dengan menggunakan Majelis Tinggi (House of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons). Di Amerika Serikat sistem ini diterapkan melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sistem satu kamar adalah sistem pemerintahan yang hanya memiliki satu kamar pada parlemen atau lembaga legislatif. Banyak negara yang menggunakan sistem satu kamar seringkali adalah negara kesatuan yang kecil dan homogen dan menganggap sebuah majelis tinggi atau kamar kedua tidak perlu.
Dukungan terhadap sistem satu kamar ini didasarkan pada pemikiran bahwa apabila majelis tingginya demokratis, hal itu semata-mata mencerminkan majelis rendah yang juga demokratis, dan karenanya hanya merupakan duplikasi saja. Teori yang mendukung pandangan ini berpendapat bahwa fungsi kamar kedua, misalnya meninjau atau merevisi undang-undang, dapat dilakukan oleh komisi-komisi parlementer, sementara upaya menjaga konstitusi selanjutnya dapat dilakukan melalui Konstitusi yang tertulis.
Banyak negara yang kini mempunyai parlemen dengan sistem satu kamar dulunya menganut sistem dua kamar, dan belakangan menghapuskan majelis tingginya. Salah satu alasannya ialah karena majelis tinggi yang dipilih hanya bertumpang tindih dengan majelis rendah dan menghalangi disetujuinya rancangan undang-undang. Contohnya adalah kasus Landsting di Denmark (dihapuskan pada 1953). Alasan lainnya adalah karena majelis yang diangkat terbukti tidak efektif. Contohnya adalah kasus Dewan Legislatif di Selandia Baru (dihapuskan pada 1951).
Para pendukung sistem satu kamar mencatat perlunya pengendalian atas pengeluaran pemerintah dan dihapuskannya pekerjaan yang berganda yang dilakukan oleh kedua kamar. Para pengkritik sistem satu kamar menunjukkan bahwa pemeriksaan dan pengimbangan ganda yang diberikan oleh sistem dua kamar dapat menambah tingkat konsensus dalam masalah-masalah legislatif. Kelemahan lain dari sistem satu kamar ialah bahwa wilayah-wilayah urban yang memiliki penduduk yang besar akan mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada wilayah-wilayah pedesaan yang penduduknya lebih sedikit. Satu-satunya cara untuk membuat wilayah yang penduduknya lebih sedikit terwakili dalam pemerintahan kesatuan adalah menerapkan sebuah sistem dua kamar (seperti misalnya pada periode awal Amerika Serikat).
Beberapa pemerintahan sub-nasional yang menggunakan sistem legislatif satu kamar antara lain adalah negara bagian Nebraska di Amerika Serikat, Queensland di Australia, semua provinsi dan wilayah di Kanada, dan Bundesländer Jerman (Bavaria menghapuskan Senatnya pada 1999).
Di Britania Raya, Parlemen Skotlandia, Dewan Nasional Wales dan Dewan Irlandia Utara yang telah meramping, juga menganut sistem satu kamar.
Semua dewan legislatif kota praktis juga satu kamar dalam pengertian bahwa dewan perwakilan rakyat daerah tidak dibagi menjadi dua kamar. Hingga awal abad ke-20, dewan-dewan kota yang dua kamar lazim ditemukan di Amerika Serikat.
Negara Persemakmuran Amerika Puerto Riko saat ini mempunyai dewan legislatif dua kamar yang terdiri atas Senat (Senado) dan Dewan Perwakilan (Camara de Representantes). Dalam sebuah referendum yang diadakan pada 10 Juli 2005, para pemilih Puerto Riko menyetujui perubahan menjadi sistem satu kamar dengan 456.267 suara setuju dan 88.720 menentang. Namun sebuah referendum lainnya akan diadakan di negara persemakmuran itu pada 2007 untuk menyetujui amandemen-amandemen dalam Konstitusi Puerto Riko yang diperlukan untuk perubahan itu. Bila perubahan-perubahan konstitusional itu disetujui, Puerto Riko akan beralih ke sistem satu kamar mulai tahun 2009.

Kehakiman

Pemimpin Agung akan melantik ketua kehakiman Iran, dan ia pula akan melantik Mahkamah Agung dan juga ketua penuntut umum. Terdapat beberapa jenis mahkamah di Iran termasuk mahkamah umum yang bertanggung jawab atas kasus-kasus umum dan kejahatan. Terdapat juga "Mahkamah Revolusi" yang mengadili beberapa kasus tertentu termasuk isu mengenai keselamatan negara.

Majelis Ahli

Majelis Ahli yang bermusyawarah selama seminggu setiap tahun mempunyai 86 anggota yang ahli dalam ilmu-ilmu agama. Mereka diundi secara umum dan akan bertugas selama delapan tahun. Majelis ini akan menentukan kelayakan calon-calon presiden dan anggota parlemen. Majelis ini juga akan mengundi untuk jabatan Pemimpin Agung dan juga berkuasa untuk memecatnya.
D.  Wilayah Al-Faqih dalam Rebuplik Islam Iran.
Praktek pemerintahan dalam sistem Wilayat al-Faqih yang berlaku di Republik Islam Iran, sebagaimana ditulis oleh Jalaluddin Rahmat, dikenal tiga pemilu, yaitu: pemilihan presiden, pemilihan Majelis Syura dan pemilihan Majelis Khubregan (Dewan Ahli). Ketiga lembaga ini dipilih oleh rakyat.
Tugas presiden adalah menjalankan roda pemerintahan, terutama di bidang politik. Majelis Syura mengajukan perundang-undangan untuk dilaksanakan oleh presiden. Sedangkan Majelis Khubregan adalah bertugas memilih Rahbar (pemimpin revolusi atau pemimpin tertinggi). Karena posisi Majelis Khubregan sangat penting, maka hanya orang-orang yang sudah mencapai tingkatan ulama mujtahid sajalah yang dapat mencalonkan diri, yakni dengan cara melalui tes tertulis dan wawancara yang dilakukan oleh Asosiasi Guru Besar Ilmu-Ilmu Islam (Jami’yat-e Modarresen-e Hawzeh-ye Ilmiyeh). Sementara untuk jabatan Rahbar tidak dibatasi oleh waktu, melainkan sejauhmana ia mampu menjaga kualifikasi-kualifikasi yang dimiliki. Sebagai catatan, salah satu kualifikasi Rahbar adalah hidup sederhana. Jadi, begitu ia kelihatan hidup mewah, ia segera diturunkan.
Pada masa pemerintahan Islam Iran sejak tahun 1979, sampai saat ini baru dua orang yang pernah menduduki jabatan Rahbar: yang pertama adalah Ayatullah Khomeini dan setelah beliau wafat, putranya, yang bernama Ali Khamenei terpilih untuk menduduki jabatan Rahbar menggantikan ayahnya.
Fungsi dan Bentuk Pemerintahan dalam Wilayat Al-Faqih
Pemerintahan Islam adalah pemerintahan rakyat dengan berpegang pada hukum Tuhan. Tuhan adalah satu-satunya pembuat undang-undang. Selama kegaiban al-Mahdi, pemerintahan tetap diperlukan bagi pelaksanaan syari’at. Pemerintahan Islam haruslah adil (yang berarti harus bertindak sesuai dengan syari’at) dan karenanya dibutuhkan pengetahuan yang luas mengenai syari’at di mana semua tindakan harus sesuai dengannya. Syarat-syarat ini hanya bisa dipenuhi oleh para faqih, ahli di bidang hukum Islam. Karenanya faqih merupakan figur yang paling siap untuk memerintah masyarakat Islam. Inilah sebenarnya gagasan inti Wilayat al-Faqih. Sebagai penguasa, faqih memiliki otoritas yang sama dan dapat menjalankan fungsi sebagai imam, walaupun ia tidak dengan sendirinya sama dengan imam.
Sebagaimana sudah disinggung di muka, bahwa dalam pandangan Ayatullah Khomeini, selama gaibnya Imam al-Mahdi, kepemimpinan dalam pemerintahan Islam menjadi hak para faqih (ulama). Sekali seorang faqih berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, maka rakyat dan para faqih lain wajib mengikutinya. Karena ia akan memiliki kekuasaan dan otoritas pemerintahan yang sama sebagaimana yang dimiliki Nabi SAW dan para imam terdahulu. Tetapi, menurut Khomeini, tidak setiap faqih qualified sebagai pemimpin.
Sekurang-kurangnya ada delapan persyaratan yang harus dipenuhi seorang faqih untuk bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam, yaitu: (1) mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam, (2) harus adil, dalam arti memiliki iman dan akhlak yang tinggi, (3) dapat dipercaya dan berbudi luhur, (4) jenius atau cerdas, (5) memiliki kemampuan administratif, (6) bebas dari segala pengaruh asing, (7) mampu mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan integritas territorial tanah Islam, sekalipun harus dibayar dengan nyawa dan (8) hidup sederhana.
Menurut Ayatullah Khomeini, banyak ahli hukum pada zaman kita ini yang memiliki kualitas yang dibutuhkan itu, yaitu orang yang pandai dan sederhana serta menguasai ilmu hukum Tuhan. Mengklaim kekuatan politik yang dimiliki Nabi SAW dan Ali bukan berarti bahwa orang itu menyatakan dirinya sama dengan mereka dalam hal kesucian ruhaninya, sebab kesucian mereka bukanlah merupakan jaminan bagi mereka untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar daripada yang telah ditetapkan bagi semua pemerintah oleh hukum Tuhan. Masing-masing imam itu di masa hidup mereka memiliki kekuasaan atas diri orang lain, termasuk pewaris mereka, maka para ahli hukum itu tidak bisa memiliki “hak pengawasan mutlak” atas ahli hukum lain, dia pun tidak bisa memilih atau memecat mereka. Tidak ada hirarki di antara mereka. Ahli hukum itu boleh membentuk pemerintahan sendiri-sendiri atau bersama-sama. Jika seseorang ahli hukum melanggar hukum, berarti dia melakukan tindakan yang salah dan dengan sendirinya dapat didiskualifikasi.
Ayatullah Khomeini menegaskan, bahwa Islam itu bersifat politik, jika tidak, maka agama hanyalah omong kosong belaka. Qur’an memuat seratus kali lebih banyak ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial daripada soal-soal ibadah. Dari lima puluh buku hadis, barangkali hanya ada tiga atau empat yang mempermasalahkan soal sembahyang atau kewajiban manusia terhadap Tuhan, sebagian kecil mengenai moralitas dan selebihnya selalu ada sangkut pautnya dengan masalah kemasyarakatan, ekonomi, hukum, politik dan negara. Ayatullah Khomeini menyatakan: “jangan sekali-kali mengatakan bahwa Islam itu hanya terdiri dari satu pengertian kecil; yang cuma menyangkut hubungan antara Tuhan dengan makhluk-makhluk-Nya. Masjid itu bukan gereja. Hukum Tuhan menyangkut seluruh kehidupan sejak manusia diciptakan di dalam kandungan sampai dia masuk liang kubur. Hukum Islam itu bersifat progresif, perfeksional dan universal”.
Negara Islam adalah negara hukum. Pemerintahan Islam adalah pemerintahan konstitusional. Namun menurut Ayatullah Khomeini, pengertian konstitusional di sini berbeda dengan apa yang selama ini dikenal. Pengertian konstitusional yang merujuk pada “hukum yang disesuaikan dengan pendapat mayoritas”, tidak dikenal dalam sistem pemerintahan Islam. Karena dalam pemerintahan Islam hukum sudah ada, yaitu hukum Tuhan. Dengan kata lain, Tuhanlah pemegang kekuasaan legislatif dan sepenuhnya menjadi hak-Nya. Oleh sebab itu, pemerintahan Islam juga bisa disebut sebagai “pemerintahan hukum Tuhan atas manusia”. Tetapi bukan berarti tidak diperlukan parlemen. Parlemen (majelis) diperlukan guna ‘menyusun program untuk berbagai kementerian berdasarkan ajaran Islam dan menentukan bentuk pelayanan pemerintahan di seluruh negeri.
Sesuai dengan tujuan dan misinya, pemerintah Islam dalam konsep Wilayat al-Faqih memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut: (1) mempertahankan lembaga-lembaga dan hukum Islam; (2) melaksanakan hukum Islam; (3) membangun tatanan yang adil; (4) memungut dan memanfaatkan pajak sesuai dengan ajaran Islam; (5) menentang segala bentuk agresi, mempertahankan kemerdekaan dan integrasi teritorial tanah Islam; (6) memajukan pendidikan; (7) memberantas korupsi dan segala jenis penyakit sosial lainnya; (8) memberikan perlakuan yang sama kepada semua warga tanpa diskriminasi; (9) memecahkan masalah kemiskinan dan (10) memberikan pelayanan kemanusiaan secara umum.
Berdasarkan tujuan dan misi pemerintahan semacam itu, maka cita-cita untuk menciptakan tatanan sosial yang adil sesuai dengan ketentuan syari’at akan bisa direalisasikan. Cita-cita keadilan berdasarkan syari’at sebagaimana telah diuraikan di atas, merupakan cita-cita ideal bagi suatu pemerintahan Islam di bawah sistem Wilayat al-Faqih.
Tujuan Pemerintahan Dalam Wilayat al-Faqih
Esensi dari tujuan pemerintahan Islam yang diakui secara umum adalah merealisaiskan pelaksanaan syari’ah dalam pemerintahan. Tujuan umum ini secara praktis dapat diterjemahkan sebagai upaya menegakkan keadilan di muka bumi. Tentu saja, keadilan yang dimaksudkan di sini adalah keadilan berdasarkan syari’at.
Lalu apa sebenarnya keadilan itu ? Murtadha Muttahhari mendefinisikan dalam empat hal:
Pertama, keadilan adalah keadaan sesuatu yang seimbang. Apabila kita melihat kelompok tertentu yang di dalamnya terdapat bagian-bagian yang beragam yang menunjukkan satu tujuan tertentu, maka di situ pasti terdapat banyak syarat, dari segi kadar yang dimiliki oleh setiap bagian tersebut. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok tersebut dapat bertahan dan dapat memberikan pengaruh yang dikehendaki darinya, serta dapat menentukan tugas yang diletakkan untuknya.
Kedua, yang dimaksud keadilan adalah persamaan dan penafikan terhadap perbedaan apapun. Ketika dikatakan bahwa “si fulan adalah orang adil”, maka yang dimaksudkan adalah bahwa fulan tersebut memandang sama setiap individu tanpa melakukan perbedaan.
Ketiga, keadilan adalah memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya dan menjaga dari kedzaliman. Pengertian keadilan seperti ini, yaitu keadilan sosial, adalah keadilan yang harus dihormati di dalam hukum manusia dan setiap individu benar-benar diperintahkan untuk menegakkannya.
Keempat, pengertian keadilan ialah memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi dan tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan peralihan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk eksis dan melakukan transformasi.
Uraian di atas menunjukkan bahwa keadilan merupakan konsep yang relatif. Apabila seseorang menyatakan apa yang dianggapnya adil, maka itu harus relevan dengan tatanan sosial yang mapan, di bawah tatanan inilah diakui suatu skala keadilan tertentu. Skala keadilan berbeda dari budaya keadilan budaya dan masing-masing skala didefinisikan dan pada akhirnya ditentukan oleh masing-masing masyarakat berdasarkan tatanan sosialnya. Tetapi bagaimanapun skala-skala itu berbeda satu sama lain, nampaknya kesemuanya itu mempunyai beberapa unsur yang sama, yang disebut sebagai watak objektif universal kebijakan moral.
Aspek terpenting bimbingan Ilahiyah adalah membuat manusia mencapai tujuan diciptakan dirinya, yakni untuk mencapai kemakmuran, Allah telah menganugerahkan manusia intuisi dan kehendak untuk meningkatkan pemahamannya tentang mengapa dirinya diciptakan dan untuk mewujudkannya dengan mempergunakan pengetahuan mereka. Melalui bimbingan ini manusia diharapkan mengembangkan kemampuan untuk menilai tindakan-tindakannya dan untuk memilih mana yang tepat menuntun mereka keadilan dimensi keadilan. Betapapun hal ini bukan merupakan spiritual, namun harus terus tetap berusaha untuk direalisasikan mengingat kelemahan-kelemahan mendasar manusia.
Dalam konteks inilah bimbingan Ilahiyah yang mewujudkan dengan diri para Imam melalui “penunjukan” Nabi SAW, seringkali divisualisasikan sebagai mewakili transendensi Tuhan di muka bumi. Nabi Muhammad, dalam pandangan Syi’ah merupakan seorang pemimpin kharismatik sebagai manifestasi dari karakter politik-religius keselamatan Islam. Dengan demikian, otoritas kenabiannya meliputi kekuasaan untuk menafsirkan Qur’an guna menciptakan tatanan sosial yang adil dan setelah beliau wafat untuk meneruskan fungsinya menciptakan tatanan sosial yang adil, umat membutuhkan seorang pemimpin yang dapat memenuhi peran spiritual dan temporal (duniawi) mereka.
Dengan kata lain, hanya seorang pemimpin kharismatik yang mendapat bimbingan langsung dari Tuhan inilah yang dapat menciptakan suatu tatanan masyarakat yang adil. Orang yang paling memenuhi syarat untuk tugas tersebut tidak ada lain kecuali anggota keluarga beliau (Ahlul Bait). Gagasan mengenai pemuliaan terhadap keluarga Nabi ini pada gilirannya menghasilkan suatu konsep yang kuat mengenai kepemimpinan “mesianis” (sang juru selamat) di kalangan Syi’isme, suatu keyakinan akan datangnya sang juru selamat dan penegak keadilan di zaman kelak yang lebih populer dengan sebutan Imam al-Mahdi.
h. Implementasi Perundang-undangan dalam pemerintahan Wilayat al-Faqih
Konstitusi Republik Islam Iran merupakan satu-satunya undang-undang dasar di dunia yang secara eksplisit mencantumkan konsep Wilayat al-Faqih-nya Ayatullah Khomeini.
Pada bagian Pembukaan Konstitusi 1979, antara lain tertulis: “Rencana Pemerintahan Islam yang berdasarkan Wilayat al-Faqih yang diwakili oleh Imam Khomeini…” Juga disebutkan bahwa, “Berdasarkan prinsip-prinsip Wilayat al-Faqih dan kepemimpinan yang terus-menerus (imamah), maka konstitusi mempersiapkan lahan bagi terwujudnya kepemimpinan oleh faqih…” Atas dasar suatu “reinterpretasi revolusioner” dari setiap konsep Wilayat al-amr dan konsep imamah sebagai suatu prinsip kesinambungan (musiamar) kepemimpinan teokratis, maka ulama yang memegang tampuk kekuasaan diidentifikasikan sebagai wali al-amr (yang memiliki kekuasaan) dan jabatan tertingginya didefinisikan sebagai “kepemimpinan” (rahbani). Pasal 2 Konstitusi 1979 misalnya, menyebutkan Republik Islam sebagai suatu tatanan yang berdasarkan keyakinan pada: (1) tauhid, kemahakuasaan-Nya dan syari’at-Nya…(5) imamah dan kelanjutan kepemimpinan, serta peranan fundamentalnya demi kelanggengan revolusi Islam.
Oleh karena itu, sebagai realisasi dari pasal-pasal tersebut, langkah Islamisasi masyarakat Iran mencanangkan penghapusan unsur-unsur yang tidak Islami dan pelaksanaan secara optimal tatanan Islam. Perubahan besar dalam personal dan komite revolusi diikuti dengan penerapan hukum dan kebijakan-kebijakan baru untuk mendidik dan memelihara masyarakat Islam. Dewan Penyeru Kebajikan dan Pencegah Dosa dibentuk untuk memantau kerusakan moral dalam masyarakat. Musik dan tarian di depan umum dilarang, klab malam dan bar ditutup. Begitu juga alkohol, perjudian yang cepat dan hukuman yang berat diterapkan oleh pengadilan-pengadilan revolusi. Pelacuran, perdagangan obat terlarang dan bentuk-bentuk kemaksiatan lain dijatuhi hukuman mati. Masjid-masjid dan media massa dimanfaatkan untuk menyebar tuntunan dan ideologi Islami negara.
Draf pertama Konstitusi Republik Islam Iran disusun pada Juni 1979 oleh Majelis Muassisan (Majelis Konstitusi) yang dibentuk berdasarkan dekrit Ayatullah Khomeini. Para anggota Majelis Muassisan, yang kemudian diubah menjadi Majelis-i Khubregan (Majelis Ahli) ini dipilih oleh rakyat. Ketika bersidang untuk membahas konstitusi itu, para anggota majelis dari Partai Republik Islam memperkenalkan pembaharuan penting yang mengubah sifat dasar konstitusi secara fundamental dengan memasukkan pasal 5 mengenai Wilayat al-Faqih. Pasal itu berbunyi sebagai berikut: Sepanjang keweajiban Imam segala zaman (semoga Tuhan mempercepat penjelmaannya yang diperbaharui), perintah dan kepemimpinan bangsa ada di tangan faqih yang adil dan alim, paham tentang keadaan zamannya, berani, bijak dan memiliki kemampuan administratif. Pada saat tidak ada faqih yang sangat dikenal oleh mayoritas, maka suatu dewan kepemimpinan yang terdiri dari fuqaha yang memiliki kecekapan seperti tersebut di atas akan memikul tanggung jawab sesuai pasal 107.
Pasal 107 Konstitusi 1979 pada prinsipnya mensahkan Ayatullah Khomeini sebagai Wilayat al-Faqih, marja’ al-Iqlid yang terkemuka dan pemimpin revolusi. Kecakapan khusus pemimpin atau Dewan Kepemimpinan menurut pasal 109 adalah: (1) memenuhi persyaratan dalam hal keilmuan dan kebijakan yang esensial bagi kepemimpinan agama dan pengeluaran fatwa: (2) berwawasan sosial, berani, berkemampuan dan mempunyai cukup keahlian dalam pemerintahan.
Wilayat al-Faqih, menurut pasal 110 Konstitusi diberi tugas dan kekuasaan untuk menunjuk fuqaha pada Dewan Perwalian (Shuraye Nigabhan), wewenang pengadilan yang tertinggi, untuk mengangkat dan memberhentikan penglima tertinggi angkatan bersenjata dan panglima tertinggi pasukan pengawal revolusi Islam, untuk mengangkat keadaan perang dan damai, untuk menyetujui kelayakan calon-calon presiden dan untuk memberikan “presiden republik berdasarkan pada rasa hormat terhadap kepentingan negara”. Oleh karena itu Konstitusi 1979 memberikan wewenang negara yang tertinggi dan berakhir kepada Wilayat al-Faqih (atau Dewan Fuqaha bila tidak ada Wilayat al-Faqih).
Dari sedikit gambaran tentang konsep Wilayat al-Faqih dalam Konstitusi 1979 Iran, maka nampak jelas bahwa ia tetap didasarkan pada prinsip imamah yang menjadi salah satu “rukun iman” dalam mazhab Syi’ah Imamiyah. Bisa juga dikatakan bahwa Wilayat al-Faqih dimaksudkan untuk “mengisi kekosongan politik selama masa gaibnya Imam kedua belas (Imam al-Mahdi). Pada masa kegaiban itu, faqih yang memenuhi syarat berperan selaku wakil Imam al-Mahdi, guna membimbing umat, baik dalam masalah-masalah keagamaan maupun sosial-politik. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep Wilayat al-Faqih, keberadaan sebuah pemerintahan Islam merupakan suatu keharusan spiritual maupun historis.
Pada ulama Syi’ah menjunjung tinggi aspek asasiah doktrin imamah, dengan tetap berpegang pada keyakinan bahwa “hanya imam yang ditunjuk secara eksplisitlah yang berhak membuat keputusan mengikat dalam masalah yang mempengaruhi kesejahteraan umat manusia. Karena Imam itu ma’shum dan penafsir otoritatif wahyu Islami, maka ia adalah satu-satunya otoritas absah yang dapat menegakkan negara dan pemerintahan Islam. Namun, di bawah pengaruh kuat keadaan historis, imamah menjadi terbagi keadilan dalam temporal dan spiritual. Otoritas temporal Imam dipandang sebagai telah direbut oleh dinasti yang berkuasa, namun otoritas spiritual tetap dimiliki oleh Imam yang dipandang sebagai hujjah Tuhan mengenai kemahakuasaan-Nya, yang diberi kuasa untuk memandu kehidupan spiritual pada pengikutnya sebagai “Imam sejati”. Tetapi dengan berdirinya Republik Islam Iran yang didasarkan pada konsep Wilayat al-Faqih, maka untuk sementara waktu otoritas temporal dan spiritual itu dapat dipadukan dalam diri para faqih.
Salah satu kritik yang muncul berkenaan dengan konsep Wilayat al-Faqih adalah soal kriteria faqih yang bisa diangkat sebagai pemimpin. Jelas tidak mudah (bahkan sangat sulit) menemukan seorang faqih yang bisa memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan dalam Konstitusi 1979 Iran di atas. Hal ini juga terlihat di Iran sesudah wafatnya Ayatullah Khomeini. Kendati proses pemilihan Ayatullah Ali Khomeini sebagai pengganti Ayatullah Khomeini berjalan cukup mulus, namun banyak kalangan yang berpendapat bahwa “kelas” Ali Khomeini masih “jauh di bawah” tokoh yang digantikannya itu.
Evaluasi atas pengalaman Iran sebagai sebuah Republik Islam sangat bervariasi, tetapi hanya sedikit yang meragukan bahwa perubahan-perubahan besar telah terjadi. Ketika menilai perubahan-perubahan selama ini setelah satu dasawarsa kepemimpinan Khomeini, Fouad Ajmi, seorang analis yang kritis mengenai struktur negara Timur Tengah, menyatakan: “Iran yang telah lahir setelah terjadinya pergeseran kekuasaan politik …oleh para teokrat dan kelompok mereka…Jika kita nilai catatanya sela satu dasawarsa, Iran merupakan sebuah negara yang mampu mengorganisasikan kampaye-kampaye besar yang mungkin dan tidak mungkin”.
Negara yang tercipta melalui revolusi mempunyai kekuatan populis yang istimewa. Para faqih mampu memimpin negara jauh lebih mantap daripada sistem sebelumnya. Republik teokratis itu telah menutup kesenjangan yang melumpuhkan antara negara dan masyarakat yang sebelumnya menjadi ciri kehidupan politik Persia. Apakah upaya menjembatani kesenjangan antara negara dan masyarakat ini menandai adanya gerakan menuju sistem politik yang lebih demokratis atau tidak, hal ini masih diperdebatkan. Namun, ia telah memberikan landasan yang lebih memungkinkan terjadinya transisi yang sukses menuju era baru yang lebih baik.

1 komentar:

  1. ali khamenei bukan anak khomeini, kesalahannya fatal banget

    BalasHapus