Kamis, 10 Januari 2013

“LEGISLASI DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH”



“LEGISLASI DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH”

DAFTAR ISI
A.    PENDAHULUAN
a.       Latar Belakang
b.      Rumusan Masalah
c.       Tujuan Penulisan
d.      Sistematika Penulisan

B.     PEMERINTAHAN LOKAL
a.       Peristilahan
b.      Bentuk Pemerintahan Lokal
c.       Asas-asas Penyelengaraan Pemerintah Lokal

C.     POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN DAERAH
a.       Hukum (Perda) sebagai Produk Politik
b.      Hampiran Teoritik Pembentukan Perundang-undangan

D.    LEGISLASI DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
a.       Legislasi Perda
b.      Dasar-dasar dalam legislasi
c.       Efektivitas Legislasi

E.     KESIMPULAN
F.      DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sesungguhnya telah dimulai sejak awal kemerdekaan bangsa ini, bahkan pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda sudah dilakukan.
Perlunya system otonomi daerah didasari oleh para pendiri Negara Republik Indonesia ketika menyusun UUD 1945, mengingat letak geografis dan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang terbessar di berbagai pulau dan terdiri atas berbagai suku, agama, ras, serta golongan.
Substansi perda seharusnya dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat daerah dalam artian dengan adanya perda tersebut tidak menghambat investasi ke daerah. Maka pentingnya melakukan evaluasi perda adalah untuk mengetahui segala kekurangannya.
Sebab dampak negative dari perda bermasalah dapat berimplikasi pada menurunnya minat investor yang hendak menanamkan modalnya ke daerah-daerah baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengertian Politik Hukum sebagai arah kebijakajn hukum (legal policy) yang dibuat secara resmi oleh Negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan diberlakukan untuk mencapai tujuan Negara.
      Di dalam pengertian sederhana tersebut, hukum ditempatkan sebagai alat untuk mencapai tujuan Negara sehingga pembuatan hukum baru atau pencabutan hukum lama oleh Negara harus dijadikan langkah untuk mencapai tujuan Negara.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peran politik hukum sebagai kronstruksi awal dalam proses pembuatan peraturan daerah?
2.      Bagaimana menciptakan legislasi perda yang memenuhi asas dalam Negara kesatuan?
3.      Apakah legislasi perda sudah dinyatakan efektif dalam masyarakat?

C.    Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat dengan tujuan penulisan sebagai pemenuhuan kewajiban atas tugas perorangan yang diberikan dalam mata kuliah Politik Hukum. Disamping itu dari penulisan ini diharapkan dapat menjadikan suatu perhatian dan penambahan wawasan kita dalam menggali suatu peran politik hukum dalam perda.

D.    Sistematika Penuisan
Pertama, PENDAHULUAN, Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Sistematika Penuisan.
Kedua, PEMERINTAHAN LOKAL, Peristilahan, Bentuk Pemerintahan Lokal, Asas-asas Penyelengaraan Pemerintah Lokal
Ketiga, POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN DAERAH, Hukum (Perda) sebagai Produk Politik, Hampiran Teoritik Pembentukan Perundang-undangan,
Keempat, LEGISLASI DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH, Legislasi Perda, dasar-dasar dalam legislasi, Efektivitas Legislasi
Kelima, KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA




BAB II
PEMERINTAHAN LOKAL
A.    Peristilahan
Keberadaan Pemerintah Lokal di dalam suatu Negara, khususnya di Indonesia pernah menimbulkan perdebatan di lingkungan akademis terkait dengan peristilahan. Ada yang mempergunakan istilah Pemerintah Daerah dan ada pula yang mempergunakan istilah Pemerintah Daerah.
Istilah Pemerintah Daerah, lebih tepat dipergunakan untuk menyebut satuan pemerintah di bawah pemerintah pusat yang memiliki wewenang pemerintah sendiri. Konteks dalam UU No.32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dantugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam system dan prinsip Negara kesatuan Repulik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.[1]
Istilah Pemerintah Di Daerah, pernah dipergunakan di Indonesia pada waktu dasar penyelenggaraannya mempergunakan UU No.5 tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah. Istilah ini sebenarnya lebih tepat dipergunakan untuk menebutkan satuan-satuan organ-organ Pemerintahan Pusat yang ditempatakna di daerah dalam rangka menyelenggarakan system pemerintahan dalam arti luas. Oleh sebab itu istilah Pemerintahan di daerah sebenarnya bukan dalam lingkup pembicaraan mengenai Pemerintah Daerah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18, Pasal 18 A, dan Pasal 18 B UUD 1945.
Menurut Bagir Manan Pasal 18 UUD 1945 mengatur mengenai Pemerintah daerah, bukan Pemerintahan di daerah, karena Pemerintahan di Daerah pada hakikatnya merupakan unsure tata laksana penyelenggaraan Pemerintah Pusat sebagai cerminan dari pelaksanaan asas dekonsentrasi.[2]
Dengan demikian istilah Pemerintahan Daerah itu mempergunakan untuk menyebut satuan pemerintahan rendah di bawah pemerintahan Pusat (central Government)  yang berwenang untuk menyelenggarakan pemerintah sendiri (urusan pemerintahan sendiri) denganmempergunakan organ-organ yang dibentuk sendiri. Jadi istilah Pemerintahan Daerah lebih tepat dipergunakan untuk menyebutkan kegiatan yang dilakukan oleh daerah Otonom dalam melaksanakan urusan atau wewenang pemerintahan sendiri.  

B.     Bentuk Pemerintahan Lokal
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Amandemen UUD 1945 telah diberikan garis secara tegas mengenai penyelenggaraan pemerintahan local di Indonesia. Garis tegas tersebut menyangkut pemberian otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan sendiri, serta pengakuan kepada daerah-daerah yang bersifat khusus atau istimewa termasuk kesatuan-kesatuan masyarakat adat asalkan tidak melanggar batas-batas dari prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal ini berarti setelah amandemen UUD 1945 titik tolak penyelenggaraan pemerintahan local ditekankan pada otnomi daerah.
Dalam khasanah teori Hukum Tata Negara dikenal pula adanya dua bentuk penyelenggaraan pemerintahan di tingkat local. Kedua bentuk pemerintahan tersebut adalah:
1.      Pemerintah Lokal Administratif, yakni satuan-satuan pemerintahan local di bawah pemerintahan pusat yang semata-mata hanya menyelenggarakan aktifitas pemerintahan pusat di wilayah-wilayah Negara. Satuan pemerintah local seperti ini pada hakikatnya hanya merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat.
2.      Pemerintah Lokal Otonom, yakni satuan-satuan pemerintahan local yang berada di bawah pemerintahan pusat yang berhak dan berwenang menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan aspirasi masayarakat setempat.

Kedua bentuk penyelenggaraan Pemerintahan Lokal tersebut di atas (adminstratif dan otonom) pernah dilakukan secara bersama-sama dalam satu wilayah. Hal ini nampak jelas ketika politik peundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia mempergunakan UU No.5 tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Di dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa di dalam satu wilayah akan terdapat pemerintahan Daerah Otonom dan Wilayah Administratif.[3]
  Menurut undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah setelah reformasi 1998 dua bentuk penyelenggaraan pemerintahan local tersebut sudah dipisahkan secara tegas. Baik UU No.22 Tahun 1999 maupun UU No.32 tahun 2004 menegaskan bahwa Pemerintahan Lokas Otonom hanya dilaksanakan di kabupaten dan Kota, sedangkan untuk penyelenggaraan pemerintahan local administrative dan otonom dilaksanakan secara bersama-sama di provinsi yang dalam hal ini dilakukan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.[4]
Sedangakan menurut Undang-Undang No.32 tahun 2004 nampak dari ketentuan Pasal 37 ayat (1) yang menyatakan bahwa Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah di wilayah Provinsi yang bersangkutan.[5]

C.    Asas-asas Penyelengaraan Pemerintah Lokal
Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah Lokal dikenal adanya 4 (empat) asas penyelenggaraan, yaitu:
1.      Asas Sentralisasi.
Yaitu  suatu asas pemerintahan yang terpusat, artinya tidak dikenal adanya penyerahan wewenang atau urusan pemerintahan kepada bagian-bagian (daerah/wilayah) Negara. Semua kewenangan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun ditingkat local berada di tangan pemerintah pusat, kalaupun ada kewenangan yang berada di pemerintah lokal, hal itu semata-mata  hanya menjalankan perintah dari pemerintah pusat.
Pemerintah Lokal termasuk pejabat-pejabatnya di tingkat local hanya melaksanakan kehendak atau kebijaksanaan dari pemerintah pusat. Tidak dikenal adanya inisiatif atau perkara dari pemerintah local.
2.      Asas Desentralisasi
Asas ini menghendaki dalam penyelenggaraan pemerintah, ada sebagaian wewenang atau urusan pemerintahan pusat dilimphakan atau diserahkan kepada pemerintah local untuk diatur dan diurus sendiri sebagai urusan rumah tangga sendiri.
Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, dinyatakan bahwa desentralisasi adalah peneyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.      Asas Dekonsentrasi
Asas dekonsentrasi pada hakikatnya merupakan bentuk penghalusan dari asas sentralisasi. Dikatakan demikian, karena di dalam penyelenggaraannya peran dan kedudukan pemerintah pusat masih sangat mendominasi dalam menentukan asas-asas (prinsip-prinsip) maupun cara penyelenggaraan urusan pemerintah di tingkat daerah.
Dalam pelaksanaan asas dekonsentrasi pemerintah pusat menempatkan pejabat-pejabatnya di daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintah pusat. Degan demikian, di dalam asas dekonsentrasi ini yang ditekankan adalah aspek pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat yang bertindak sebagai wakil dan di tempatkan di daerah.
4.      Asas Madebewind.
Asas medebewind (tugas pembantuan) merupakan bentuk desentralisasi atau otonomi tidak penuh. Asas ini diperlukan untuk sarana uju coba kesiapan bagi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintah sendiri.
Oleh sebab itu sebenarnya kebijaksanaan pemekaran daerah yang sering menimbulkan konflik di tingkat masyarakat dapat dilakukan dengan mempergunakan asas ini terlebih dahulu. Namun dalam praktek sekarang ini, justru pemekaran daerah tidak dilalui dengan langkah uji coba melalui asas medebewind, sehingga secara empiris daerah-daerah hasil pemekaran itu tidak menunjukan kesiapan untuk melaksanakan otonomi penuh. Pemekaran daerah lebih kental dengan nuansa kepentingan politik.


BAB III
POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

A.    Hukum (Perda) sebagai Produk Politik
Negara Republik Indonesia merupakan satu-satunya Negara yang berbentuk kepulauan yang di dalamnya terkandung aspek ideology, politik, ekonomi, social, budaya, pertahanan dan keamanan. Keseluruhan aspek itu harus disatukan secara intensif demi mencegah terjadinya disintegrasi daerah.
Negara-negara yang berciri khas demokrasi konstitusional, undang-undang memiliki fungsi membatasi kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, hak-hak warga Negara lebih terlindungi.[6]
Oleh sebab itu perubahan-perubahan yang terjadi dalam kebijakan Peraturan Daerah tidak semata-mata mengekor dinamika pembangunan dan pengembangan suatu daerah tetapi juga mengatur seta membatasi ruang gerak pemerintah daerah agar tidak melakukan tindakan semena-mena kepada rakyat.
Berdasarkan hal di atas, maka diperlukan politik hukum yang baik pengertian politik hukum adalah arah kebijakan (legal policy) yang dibuat resmi oleh negara, mengenai hukum apakah yang akan  diperlukan untuk mencapai tujuan Negara. Dalam arti sempit, hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan Negara sehingga pembuatan hukum baru atau pencabutan hukum lama oleh Negara harus dijadikan langkah untuk mencapai tujuan Negara.[7]
Politik hukum sangat erat kaitannya dengan penggunaan kekuasaan di dalam mengatur Negara, bangsa dan rakyat. Dikaitkan dengan politik hukum di daerah, maka politik hukum sesungguhnya diejawantahkan dalam nuansa kehidupan bersama pada masyarakat daerah.
Maka politik hukum di daerah harus terwujud dalam sluruh jenis perda. Hal tersebut ditujukan agar terjadi kepastian hukum dalam pelaksanaan yang dilakukan oleh seluruh  elemen masyarakat di daerah.
 
B.     Hampiran Teoritik Pembentukan Perundang-undangan
Menurut tujuan teori hukum Timur, umumnya hanya menekankan pada tujuan hukum yaitu keadilan dan keharmonisan adalah kedamaian[8]. Maka bangsa Indonesia seharusnya melakukan perubahan dalam  menentukan peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada kultur masyarakat.
Dengan demikian, teori yang dijadikan pisau analisis dalam pembentukan politik peraturan daerah adalah teori sebagai berikut:
1.      Teori Politik Hukum
Politik berasal dari kata Polis dan City  yang berarti kota dan masyarakat. Politik selalu berkolerasi dengan hukum sebagaimana disampaikan Meinzen dan Pradhan bahwa terdapat koeksistensi dan kointerasi antara tata hokum, yang mengakibatkan ketidakpastian.[9]
Senada juga A. Latief Fariqun mengatakan politik hukum adalah kebijakan Negara di bidang hukum yang telah, sedang dan akan berlaku yang bersumber dari nilai-nilai dalam masyarakat untuk mencapai tujuan bersama dalam kehidupan Negara yang mencakup kebijakan terhadap hukum tidak tertulis, isi hukum, penerapan dan penegakan hukum.[10]
Secara sosiologi, politik hokum dipengaruhi corak dan tingkat perkembangan masyarakat. Politik hokum pada masyarakat yang relative homogeny di bidang politik, ekonomi dan social budaya seharusnya berbeda dengan politik hokum pada masyarakat majemuk yang didalamnya terdapat politik hokum yang serba menyamakan sehingga menimbulkan masalah politik, ekonomi, maupun social. 

2.      Teori Pembengtukan Praturan Perundang-undangan
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan mudah diterapkan di masyarakat merupakan salah satu pilar utama bagi penyelenggaraan suatu Negara. Jika kita membicarakan Ilmu Perundang-undangan, maka membahas pula proses pembentukan membentuk peraturan Negara, dan sekaligus seluruh peraturan Negara yang merupakan hasil dari pembentukan peraturan-peraturan Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.[11]
Peraturan perundang-undangan yang baik, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Landasan Filosofis (Filosofische grondslag)
Satuan rumusan peraturan perundang-undangan harus mendapatkan pembenaran (rechtvaardiging) yang dapat diterima jika dikaji secara filosofis. Pembenaran itu harus sesuai dengan cita-cita kebenaran (idea der waarheid), dan cita-cita keadilan (idée der gerechtigheid), dan cita-cita kesusilaan (idée der zedelijkheid).
2.      Landasan Sosilogis (sosiologische grondslag)
Suatu peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Oleh karena itu, hokum yang dibentuk harus sesuai dengan hokum yang hidup (living law) di masyarakat.

3.      Landasan Yuridis (rechtsgrond)
Suatu peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan hokum atau dasar hokum atau legalitas yang terdapat dalam ketentuan lain yang kebih tinggi. Landasan yuridis dapat dibedakan menjadi dua sebagai berikut:
(i)                 Landasan yuridis  yang beraspek formal berupa ketentuan yang memberikan wewenang (bevoegdheid) kepada suatu lembaga untuk membentuknya, dan 
(ii)               Landasan yuridis yang beraspek material berupa ketentuan tentang masalah atau persoalan yang harus diatur.

4.      Landasan Politis, Ekologis, Medis, Ekonomis, dan lain-lain menyesuaikan dengan jenis atau objek yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.



BAB IV
LEGISLASI DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

A.    Legislasi Perda
UUD NKRI 1945 menunjukan bahwa, Indonesia, merupakan suatu Negara keasatuan (Unitary State), pluralitas kondisi local baik ditinjau dari adat istiadat, kapasitas pemerintahan daerah, suasana demokrasi local, dan latar belakang pembentukan daerah masing-masing mengharuskan ditetapkannya kebajikan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan.
Keputusan politik untuk memberikan otonomi yang lebih luas kepada daerah telah memberikan perubahan yang signifikan terhadap system pemerintahan Indonesia pada umumnya dan khususnya pemerintaha  daerah.
Desentralisasi dalam teori dan praktiknya lebih memberikan kebebasan dan kemandirian kepada masyarakat daerah di dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, terutama terhadap kepentingan masyarakat daerah. Adakalanya, makna desentralisai menjadi alasan kokoh dalam membentuk suatu perda yang tidak memenuhi rasa keadilan di dalam masyarakat (tidak ideal). Sedangkan tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk meningkatkan peran dan fungsi badan legislative daerah, memberdayakan, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas masyarakat.
Apabila terdapat perbedaan antara sentralisasi dan desentralisasi yang diungkapkan dalam Negara kesatuan, maka perbedaan ini dapat disajikan semata dari sudut pandang lingkup wilayah keabsahan norma-norma yang membentuk tatanan hukum nasional.[12]
Menurut Hans Kelsen, desentralisasi murni terjadi jika tidak adanya norma-norma yang berlaku untuk seluruh wilayah 9tidak adanya norma positif yang berlaku untuk seluruh wilayah, namun terdapat grund norm yang dicita-citakan berlaku untyk seluruh wilayah).
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 136 UU No, 32 tahun 2004, bahwa perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dantugas pembantuan. Tahapan perencanaan pembentukan perda dimulai dengan program Legislasi Daerah (Prolegda) yang bertujuan mendisain perda secara terencana, bertahap, terarah, dan terpadu.
Program pembangunan peraturan perundang-undangan daerah perlu menjadi prioritas karena perubahan terhadap Undang-undang tentang pemerintahan daerah dan berbagai peraturan perundangan lainnya serta dinamika masyarakat dan pembangunan daerah menuntut pula adanya penataan  system hokum dan kerangka hokum yang melandasinya.
 
B.     Dasar-Dasar dalam Legislasi
1.      Politik dalam Legislasi
Pada say ini, teori politik modern terbagi atas teori demokrasi elitis dan teori demokrasi partisipatif. Menurut pandangan teori demokrasi elitis, suatu masyarakat dibentuk oleh kekuatan-kekuatan yang impersonal.
Penekanan utama ilmuwan Harold Lasswell yaitu adanya fungsi manipulatif dan kemampuan para elit. Pandangan teori demokrasi elitis, berbeda dengan pemikiran John Dewey (pengaut teori demokratis partisipatif) yang menyatakan bahwa keberadaan suatu masyarakat demokrasi tergantung pada consensus sosial dengan pandangan pada perkembangan manusia yang didasarkan atas kebebasan, persamaan, dan partisipasi politik.
Untuk memahami demokrasi, tidak cukup hanya menyimak teks-teks normative yang tertera dalam peraturan perundang-undangan saja melainkan harus berorientasi pada fakta. Ilmu hukum tidak pernah menjadi ilmu sosial murni karena hukum dapat berasal dari sollen sein dan sein sollen. Pada prinsipnya, hukum selalu mengandung aspek cita dan realita.
Dengan

2.      Konfigurasi Politik Hukum
Dalam bahasa Arab, terminology politik disebut dengan siyasyah yang kemudian diterjemahkan menjadi siasat namun secara etimologis istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Belanda, yaitu rech dan politiek. Istilah ini seharusnya tidak dicampuradukkan dengan politiekrecht (pemikiran Hence van Maarseveen).[13]
Dengan politik terdapat huungan khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan, kewenangan, kelakuan pejabat, legalitas keabsahan, dan kekuasaan.[14]
Seacara konseptual, konfigurasi politik yang berlaku dan dianut oleh suatu Negara dapat ditelaah secara dikotomis yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.[15]
Pada Negara demokratis, proses legislasi mengarah pada konfigurasi politik demokratis yaitu suatu susunan kekuatan politik yang membuka peluang bagi potensi rakyat secara maksimal untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan Negara. Adanya interaksi politik dalam ranah legislasi selalu menimbulkan pertentangan individual. Proses legislasi untuk menjadikan hukum positif, faktanya merupakan proses yang sarat dengan berbagai muatan,nilai dan kepentingan para actor.[16]
Menurut Eugen eurlich menyatakan bahwa hukum positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila selaras dengan hukum yang berada di dalam masyarakat. Semntara Talcott Parsons yang mengemukakan teori structural fungsional bahwa masyarakat harus dianggap sebagai suatu system yang terdiri atas bagian berkaitan dan mempengaruhi.

3.      Kearifan Lokal Dalam Suatu Perda
Inti permasalahan dari proses legislasi suatu perda yaitu tidak mengikutsertakan peran serta masyarakat dalam membentuk peraturan tersebut. Dalam kaitan ini, manusia adalah komponen makhluk hidup yang paling sentral dan krusial, karena manusia adalah bagian dari unsure makhluk hidup yang paling sempurna jika dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain.[17] Cermin dari kearifan lingkungan masyarakat secara konkrit terkristalisasi dalam produk hukum masyarakat.


C.    Efektivitas Legislasi
Terdapat beberapa perubahan dalam proses legislasi di parlemen  sebagai konsekuensi dari amandemen UUD serta lahirnya beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan proses legislasi. Dapat dijelaskan dengan keberadaan DPD yang bertujuan untuk lebih mengakomodasi kepentingan daerah di parlemen. Kehadiran DPD telah mengubah pola proses legislasi yang selama ini didominasi oleh Dewan Perwakilan rakyat dan pemerintah.[18]
Istilah legislasi berasal dari bahasa Inggris (legislation). Dalam khasanah ilmu hukum, legislasi mengandung makna dikotomi yang memiliki makna proses pembentukan hukum atau produk hukum.[19] Legislasi dapat juga diartikan sebagai pembuatan Undang-undang.[20]
Legislasi sebagai asumsi dasar melahirkan hukum posistif (in abstracto) akan sesuai dan selalu dipengaruhi oleh konfigurasi politik tertentu yang berinteraksi dalam proses legislasi tersebut. Secara konseptual, konfigurasi politik yang berlaku dan dianut oleh suatu Negara dapat ditelaah secara dikotomis, yaitu konfigurasi politik demokrasi dan konfigurasi politik otoriter.
Jika konfigurasi politik yang dianut oleh suatu Negara demokratis, maka dalam proses legislasinya akan demokratis karena konfigurasi partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Sedangkan konfigurasi politik yang dianut Negara otoriter, maka peranan dan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi relative kecil Karena proses legislasi indentik dengan intervensi politik.
Inti legislasi terdiri atas dua golongan besar yaitu tahap sosiologis (sosio-politis) dan tahap yuridis. Dalam tahap sosiologis berlangsung proses-proses untuk menantang suatu gagasan, isu, dan/atau masalah yang selanjutnya akan dibawa ke dalam agenda yuridis.
Legislasi tidak sekedar suatu kegiatan dalam merumuskan norma-norma ke dalam teks-teks hukum yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki kewenangan dalam perumusan tersebut, namun jangkauannya melintas hingga pergaulan dan interaksi kekuatan sosial politik yang melingkupi dan berada di sekitarnya.
Plato mengatakan bahwa legislasi dan pembentukan tatanan politik merupakan sarana paling sempurna di dunia ini untuk mencapai kebaikan. Sedangkan menurut Burkhardt Krems, ilmu pengetahuan perundang-undangan sebagai disiplin ilmu yang relative baru (merupakan ilmu yang interdisipliner yang berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi).
Lebih lanjut Eugen Ehrlich sebagai pelopor aliran sociological jurisprudence menyatakan bahwa hukum positif dapat memiliki daya berlaku yang efektif jika selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) dan mereka yang berperan sebagai pihak yang mengembangkan hukum harus memiliki hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat bersangkutan.[21]
Mengkaji legislasi dalam ranah ilmu perundang-undangan haruslah menerima suatu kenyataan biarpun legilasi berpedoman pada hukum, pada dasarnya merupakan pencerminan dan determinasi (hal menentukan, hal menetapkan, hal memastikan, ketetapan hati) dari proses yang terjadi dalam kehidupan sosial politik.
Fakta legislasi demikian dikarenakan orga yang memiliki kewenangan untuk membentuk hukum tersebut merupakan lembaga politik. Setiap legislasi selalu dipengaruhi oleh interaksi politik tertentu yang tengah berlangsung di Negara dimana legislasi tersebut dilangsungkan.berdasarkan system demokrasi, pembentukan perda harus berdasarkan asas keterbukaan. Semenjak otonomi daerah diimplementasikan, eksistensi perda sebagai salah satu sarana legal atas kebijakan daerah merupakan salah satu isu sentral dan serigkali perda bertentangan dengan kepentingan umum.

BAB V
KESIMPULAN

Politik hukum sangat erat kaitannya dengan penggunaan kekuasaan di dalam mengatur Negara, bangsa dan rakyat. Dikaitkan dengan politik hukum di daerah, maka politik hukum sesungguhnya diejawantahkan dalam nuansa kehidupan bersama pada masyarakat daerah.
Maka politik hukum di daerah harus terwujud dalam sluruh jenis perda. Hal tersebut ditujukan agar terjadi kepastian hukum dalam pelaksanaan yang dilakukan oleh seluruh  elemen masyarakat di daerah.
Implikasi dari pembentukan perda yang baik akan berdampak pada meningkatnya investasi di daerah-daerah. Proses perencanaan yang baik akan menghasilkan perda yang baik pula. Dalam studi ilmu dan teori perundang-undangan, terdapat 4 (empat) syarat bagi peraturan perundang-undangan (termasuk perda) yang baik, yaitu yuridis, sosiologis, folosofis, dan teknik perencanaan peraturan perundang-undangan yang baik.
Adapun teknik perencangan peratuiran perundang-undangan yang baik itu harus memenuhi ketepatan struktur, ketetapan pertimbangan, ketetapan dasar hukum, ketepatan bahasa, ketepatan dalam pemakaian huruf dan tanda baca.
Selain keempat syarat tersebut, pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik juga harus memperhatikan asas-asas formal dan material.

DAFTAR PUSTAKA


UU No.32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-undang Pelaksananya), Unsika, Karawang
UU No. 5 tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2009, hal183-184
Dahlan Thaib, Teoru Hukum Konstitusi
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amanemen Konstitusi
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicilapruence)
Jazim Hamidi, Meneropong Legislasi di Daerah
A. Latief Fariqun, Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Suberdaya Alam Dalam Politik Hukum Nasional
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Prundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif
Inu Kencana Syafiie dan Azhari, Sistem Politik Indonesia
Imam Syaukani, dkk, dasar-Dasar Politik Hukum, hal
Anis Ibrahim, Legislasi Dan Demokrasi
Rachmad Syafa’at, dkk, Negara, masyarakat Adat dan kearifan Lokal,
Tim Reality, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,







[1] Pasal 1 angka 2 UU No.32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
[2] Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-undang Pelaksananya), Unsika, Karawang, hal.35
[3] Penjelasan umum UU No. 5 tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
[4] B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2009, hal183-184.
[5] Undang-Undang No. 32 tahun 2004
[6] Dahlan Thaib, Teoru Hukum Konstitusi, hal. 19
[7] Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amanemen Konstitusi, hal.48
[8] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicilapruence), hal.212-213
[9] Jazim Hamidi, Meneropong Legislasi di Daerah, hal. 10.
[10] A. Latief Fariqun, Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Suberdaya Alam Dalam Politik Hukum Nasional
[11] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Prundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Hal.1
[12] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, hal. 326.347
[13] Imam Syaukani, dkk, dasar-Dasar Politik Hukum, hal. 19
[14] Inu Kencana Syafiie dan Azhari, Sistem Politik Indonesia, hal.6
[15] Anis Ibrahim, Legislasi Dan Demokrasi, hal.2
[16] Ibid, hal. 7
[17] Rachmad Syafa’at, dkk, Negara, masyarakat Adat dan kearifan Lokal, hal. 4
[18] Ibid, hal. 11
[19] Anis Ibrahim, Legislasi Dan Demokrasi, hal.1
[20] Tim Reality, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia, hal. 414.
[21] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Hal 128-130.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar