Minggu, 09 Desember 2012

D. ANALISIS LAW AS A TOOL OF SOCIAL ENGENEERING TERHADAP EFEKTIVITAS PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI


DAFTAR ISI


A.    PENDAHULUAN

B.     TINJAUAN TEORITIS LAW AS A TOOL OF SOCIAL ENGINEERING
  1. Pengertian Hukum
  2. Bentuk dan Fungsi Hukum
  3. Teori Pragmatic Roscoe Pound

C.     GAMBARAN UMUM UU NO.42 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI
  1. Sekilas tentang UU Pornografi
B.     Implemenasi Penegakan Hukum Bagi Negara Hukum (Konsep Keadilan)
C.     Isu Sosial dan Tujuan dalam Pembentukan UU Pornografi

D.    ANALISIS LAW AS A TOOL OF SOCIAL ENGENEERING TERHADAP EFEKTIVITAS PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI
  1. Social Engineering terhadap Peneranan UU Pornografi
  2. Faktor Penghambat Dalam Perenarapn Social Engineering terhadap Imlpementasi UU Pornografi

E.     DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN


            Perubahan social serta dinamika masyarakat memiliki saham penting bagi munculnya sosiologi hokum, dalam hal ini perubahan di abad dua puluh. Domisasi pemikiran hokum analitis-positiv sejak abad kesmbilan belas berlahan-lahan ditantang oleh munculnya pemikiran yang menembpatkan studi hkum tidak lagi berpusat pada perundang-undangan, melaikan dalam konteks yang lebih luas.
            Dari sekian banyak tunjuan dan fungsi hokum ada fungsi hokum yang menjadi pemikiran Roscoe Pound yaitu law as a tool of social engineering, dari pemikiran ini daiharapkan hokum dapat mempetkan dirinya di depan daru suautu operubahan yang dapat merubah masyarakat, secara luas.
            Posisi aktif hokum disini, menjadi suatu bentuk upaya yang dilakukan oleh Negara hokum yang menempatkan suatu produk politik yaitu Undang-undang sebagai alat yang dibuat oleh penguasa sebagai upaya untuk mengatur masyarakat sehingga menuju kearah yang lebih baik.
Melihat apa yang diharapkan dari fungsi tersebut, penulis tergugah untuk coba menkaji secara sederhana bagaimana implementasi fungsi hokum tersebut di dalam undang-undang No.44 tahun 2008 tentang Pornografi, sehingga undang-undang ini dapat menempatkan dirinya sebagai hokum yang aktif dan dapat merubah masyarakat secara lebih baik.
Dari kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat, ternyata undang--undang undang ini malah melahirkan suatu polemic pemikiran yang negative terhadap fungsi hokum. Karena ada beberapat daerah dan sekelompok masayarakat yangt terus menolak akan pemberlakuan dari undang-undang ini.
            Untuk itu bagaimana seharunya hokum dan perubahan masyarakat di tempatkan dalam posisi yang baik sehingga menciptakan keadilan yang sesuai dengan 
Kondisi masyarakat baik secara tempat, ruang dan waktu, seta social dan budaya dapat diletakan sesuai dengan konsep Negara Hukum yang berazaskan Pancasila dan hokum yang hidup dimasyarakat (Living Law).



BAB II
PERUBAHAN HUKUM



A.    Pengertian Hukum

Menurut Hans Wehr kata hukum berasal dari bahasa Arab, asal kata íHukm:, kata jama’nya “Ahkam” yang berarti putusan (jugdgement, verdice, decision), ketapan (provision), perintah (command), pemerintahan (government) dan kekuasaan (autotrity, power).[1]
Menurut VINOGRADOFF, hukum adalah seperangkat aturan yang diadakan dan dilaksanakan oleh suatu masyarakat dengan menghormati kebijakan dan pelaksanaan kekuasaan atas setiap manusia dan barang.[2]
Sedangkan Bellefroid mengemukaan bahwa hukum adalah segala aturan yang berlaku dalam masyarakat, mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu.[3]
Di dunia Ilmu Hukum terdapat dua kelompok besar yang memahami pengertian mengenai hukum, yaitu mereka yang memahami pengertian hukum dari sudut pandang sosiologis, dan yang memahami hakikat hukum dari sudut pandang normative yuridis.
Dari sudut pandang sosiologis, hukum dapat dipahami sebagai salah satu dari sekian banyak nilai yang terdapat di dalam pergaulan hidup masyarakat. Ini berarti hukum dipandang sebagai salah satu gejala sosial kemasyarakatan. Oleh sebab itu konsep-konsep teori hukum (bahkan penemuan hukum) diperoleh dari realitas social di dalam masyarakat. Sedangkan yang memahami hukum dari sudut pandang normative yuridis, menekankan pandangannya pada hukum sebagai seperangkat peraturan-peraturan tertulis yang logis dan konsisten.[4]
Dalam kerangka teori hukum, pemahaman hukum jika ditinjau dari sudut pandang sosiologis sebenarnya mulai dikenal pada waktu Von Savigny mengemukakan teori hokum historis. Fokus pemahaman mengenai hakikat hukum menurut teori ini ada pada perkembangan dan pertumbuhan suatu masyarakat. Hukum dianggap merupakan produk dari kebudayaan masyarakat dan berkembang sejalan dengan peradaban serta kebudayaan masyarakat itu sendiri. Inti teori hukum historis sebagaimana dikemukakan oleh Von Savigny, antara lain adalah[5] :
a.       Titik Tolak padangannya teori hukum historis menganggap bahwa setiap bangsa mempunyai volkgeist (jiwa rakyat) yang berbeda, baik menurut waktu maupun tempat. Pencerminan dari volkgeist ini Nampak pada kebudayaan masing-masing bangsa. Oleh sebab itu hokum haruslah bersumber dari volkgeist tersebut.
b.      Hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang dari suatu masyarakat sederhana yang tercermin pada setiap tingkah laku individu-individu kepada masyarakat kompleks, dimana kesadaran hukum Nampak pada ucapan-ucapan para ahli hukum.
Dari pehaman normative yuridis, hukum dipandang sebagai sarana pengendali social yang mengarahkan kepada tercapainya suatu tertib atau pola kehidupan yang telah ada. Dalam pengertian seperti fungsi hukum hanya dianggap sekedar menjaga agar setiap orang menjalankan peranannya sebagaimana yang telah ditentukan, atau sebagaimana yang diharapkan dari padanya.
Oleh karena menurut pehaman hukum dari sudut pandang normative yuridis yang demikian itulah, maka hukum dianggap hanya berfungsi mempertahankan pola kehidupan yang sudah ada. Oleh sebab itu tidaklah berlebihan jikalau hukum hanya dipandang sebagai sekumpulan peraturan-peraturan yang tertulis dan bersifat logis, konsisten dan tertutup serta berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia dalam ikatan pergaulan masyarakat. Hukum merupakan kristalisasi norma-norma yang terdapat di dalam masyarakat yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diakui kebenarannya, sehingga menjadi pedoman yang mengikat dalam melaksanakan pergaulan hidup.

B.     Bentuk dan Fungsi Hukum

Dari segi terbentuknya, hukum itu dapat berupa hukum tertulis, statute law, writter law) yakni hukum yang dibuat oleh instansi atau lembaga yang berwenang dalm sebuah Negara atau lembag yang berwenang dalam sebuah dan dalam aplikasi sering disebut dengan perundang-undangan. [6]
Hukum yang berbentuk tertulis biasanya berbentuk kodifikasi dalam jenis hukum tertentu secara sistematis sehingga mudah untuk dipelajarinya. Hukum tertulis yang sudag berbentuk kodifikasi adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan berbagai macam peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping itu ada juga hukum yang tidak tertulis (unstatute law, unwritten law) yakni hukum yang hidup dalam masyarakat, tidak tertulis tetapi berlakunya ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat sebagaimana hukum tertulis. Hukum tertulis berlaku dalam system hukum continental (civil law), sedangkan hukum yang tidak tertulis biasanya berlaku dalam system Common law. Di Indonesia hukum yang tidak tertulis dikenal dengan hukum adat.[7]
Baik hukum yang tertulis, maupun hukum yang tidak tertulismempunyai fungsi antara lain, pertama: sebagai standard of conduct yakni sandaran atau ukuran tingkah laku yang harus ditaati oleh setiap orang dalam bertindak dalam melakukan hubungan satu dengan yang lain. Kedua : sebagai as a tool of social engeneering,  yakni sebagai sarana atau alat untuk mengubah masyarakat dalam hidup masyarakat. Ketiga : sebagai as a tool of social control, yakni sebagai alat untuk mengontrol tigkah laku dan perbuatan manusia agar mereka tidak melakukan perbuatan yang melawan norma, agama, dan susila. Keempat : sebagai as a facility on of human interaction yakni hukum berfungsi tidak hanya untuk menciptakan ketertiban, tetapi juga menciptakan perubahan masyarakat dengan cara memperlancar proses interaksi sosial dan diharapkan menjadi pendorong untuk menimbulkan perubahan dalam kehidupan masyarakat.[8]
Agar fungsi hukum sebagaimana tersebut di atas dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan, maka hukum itu tidak boleh statis, tetapi harus selalu dinamis, harus selalu diadakan perubahan sejalan dengan perkembangan zaman dan dinamika kehidupan masyarakat.
Dalam kaitan ini Ahmad Mustafa al-Marighi mengemukakan bahwa sesungguhnya huku-hukum itu dibuat dan siundangkan untuk kepentingan manusia, sedangkan kepentingan manusia itu tidak sama, berbeda satu dengan yang lain yang disebabkan karena ada perbedaan kondisi dan situai, waktu dan tempat.[9]


C.    Teori Pragmatic Legal Realism (Roscoe Pound)

Roscoe Pound mengatakan bhwa hukum dilihat dari fungsinya dapat berperan sebagai alat untuk mengubah masyarakat (law as a tool of social engeneering). Hukum dapat berperan di depan untuk memimpin perubahan dalam kehidupan mayarakat dengan cara memperlancar pergaulan masyarakat, mewujudkan perdamaian dan ketertiban serta mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Hukum berada di depan untuk mendorong pembaharuan dari tradisional ke modern. Hukum yang dipergunakan sebagai sarana pembaharuan ini dapat berupa undang-undang dan yurisprudensi atau kombinasi keduanya, namun di Indonesia yang lebih menonjol adalah tata perundangan. Supaya dalam pelaksnaan untuk pembaharuan itu dapat berjalan dengan baik, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran Sociological Jurisprudence yaitu hukum yang baik adalam hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebab jika ternyata tidak, maka akibatnya secara efektif dan akan mendapat tantangan.[10]
Dalam buku teori hukum strategi Tertib manusia Lintas Ruang dan Generasi, yang disusun oleh Dr. Bernard L. Tanya, SH., MH. Bersma Dr. Yoan N. Simanjuntak, SH., MH. dan Markus Y. Hage, SH., MH. menyebutkan dalam bukunya teori Roscoe Poun sebagai Hukum itu Keseimbangan Kepentinga.
Pragmatisme Amerika, merupakan basis ideology teori Pound tentang keseimbangan kepentingan. Bagi Pound, hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam konsep-konsep logis-analitis ataupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang terlampau eksklusif. Sebaliknya, hukum itu mesti didaratkan di dunia nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.[11]
Dalam konteks keperluan tersebut, hukum yang bersifat logis-analitis dan serba abstrak (hukum murni) atau pun yang berisi gambaran realitas apa adanya (sosiologis), tidak mungkin diandakan. Hukum dengan tipe tersebut, paling-paling hanya mengukuhkan apa yang ada. Ia tidak merubah keadaan. Karena itu, perlu langkah progresif yaitu memfungsikan hukum law as a tool social engineering.
Kepentingan-kepentingan tersebut harus ditata sedemikian rupa agar tercapai keseimbangan yang proporsional. Manfaatnya adalah terbangunnya suatu struktur masyarakat sedemikian rupa hingga secara maksimum mencapai kepuasan akan kebutuhan dengan seminimum mungkin mencapai benturan dan pemborosan.[12]
Pound mengajukan tiga kategori kelompok kepentingan, yaitu kepemimpinan umum, sosial, dan kepentingan pribadi. Kepemimpinan umum terdiri atas dua, yaitu : (i) Kepentingan-kepentingan Negara sebagai badan hukum dalam mempertahankan kepribadian dan hakikatnya, (ii) kepentingan-kepentingan Negara sebagai penjaga kepentingan-kepentingan social.[13]
Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalaj interst balancing, dan karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat kea rah yang lebih maju.
Bagi Pound, antara hukum dan masyarakat terdapat hubungan yang fungsional. Dan karena kehidupan hukum terletak pada karya yang dihasilkannya bagi dunia sosial, maka tujuan utama dalam social engineering adalah mengarahkan kehidupan sosial itu ke arah yang lebih maju. Menurutnya, hukum tidaklah menciptakan kepuasan, tetapi hanya memberi legitimasi atas kepentingan manusia untuk mencapai kepuasan tersebut dalam keseimbangan.[14]
Hukum sebagai sarana social engineering, bermakna penggunaan hukum sacara sadar untuk mencapai tetib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan, atau untuk melakukan peruahan yang diinginkan.[15]
Sudah tentu, mekanisme perubahan sosial dimaksud, merupakan suatu proses yang terencana dengan tujuan menganjurkan, mengajak, menyuruh, atau bahkan memaksa anggota-anggota masyarakat agar mengikuti norma-norma hukum atau tata tertib hukum yang ditetapkan sebagai norma baru.[16]
Dapat dikatakan, hukum dalam konsep social engineering, sangatlah instrumental sifatnya. Kehidupan social, menurut konsep ini dapat dengan mudah dipengaruhi oleh hukum sebagai system pengaturan terkendali dan coersif
Atas dasar keyakinan yang demikian itu, maka dapatlah dimengerti jika penggunaan hukum modern senantiasa diarahkan untuk menjadi sarana menyalurkan kebijakan-kebijakan demi menciptakan kembali pola-pola tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat..



BAB III
GAMBARAN UMUM UU NO.42 TAHUN 2008
TENTANG PORNOGRAFI

A.    Sekilas Mengenai UU Pornografi

Undang-undang Pornografi sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, atau yang disingkat dengan RUU APP, dan kemudian menjadi Randangan Undang-Undang Pornografi, adalah suatu produk hukum berbentuk Undang-undang yang mengatur mengenai pornografi dan pornoaksi pada walnya. Undang-undang ini disahkan menjadi undang-undang dalam SIdang Paripurna DPR pada tanggal 30 Oktober 2008.
Selama pembahasannya dan setelah diundangkan, Undang-undang ini maraknya mendapatkan penolakan dari masyarakat. Seperti masyarakat Bali berniat akan membawa UU ini kemahkamah Konstitusi. [17]
Gubernur Bali yang dijabat oleh  Made Mangku Pastika bersama Ketua DPRD Bali Ida Bagus Wesnawa dengan tegas menyatakan menolak Undang-undang  Pornografi in.[18]
Sementara Ketua DPRD Papua Barat Jimmya Demianus Ijie mendesak Pemerintah Untuk membatalkan  Undang-undang Pornografi  yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR dan mengancam Papua Barat akan meisahkan diri dari Indonesia. Sementara itu Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menolak pengesahan dan pemberlakuan UU Pornografi .[19]
Lebih kurang lima tahun adalah waktu yang diperlukan untuk menggolkan ini, sayangnya waktu lima tahun kiranya tidak cukup memberikan angina segara bagi kehidupan demokrasi Indonesia.
Selain itu Pornografi nyata-nayata tidak dapat diterapkan dalam kehidupan dan prosedur hukum. Termin dari pasal 1 dan pasa 10 tetnag definisi yang menggunakan ‘gerak tubuh’ dan pertunjukan dimuka umum melanggar pasal 5 UU No.10/2004 yang berkaitan dengan ketentuan isi harus sesuai dengan judul .
                                           
B.     Implemenasi Penegakan Hukum Bagi Negara Hukum (Konsep Keadilan)

Salah satu ciri Negara adalah ”a degree of civilization”, yaitu tingkat perdaban Negara yang diwujudkan dalam pembangunan Nasional, sedangkan pembangunan nasional bagi Indonesia merupakan pencerminan kehendak untuk terus-menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan Negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila, sebagai wujud pengalaman semua sila Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan yang utuh.[20]
Mochtar Kusumaatmadja berpendapat: Di Indonesia, fungsi hukum dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan, bahwa adanya ketertiban dalam pembangunan merupakan suatu yang dipandang penting dan diperlukan. Disamping itu, hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan arah kegiatan-kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan terencana itu.[21]
Hukum mengaur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang diharuskan dan apa yang dibolehkan atau sebaliknya. Dengan demikian, hukum menarik garis antara apa yang sesuai dengan hukum dan apa yang melawan hukum.
Apabila dilihat secara fungsional, system penegakan hukum itu merupakan suatu system aksi. Dikatakan sebagai system aksi karena di dalamnya terdapat sekian banyak aktivitas yang dilakukan alat perlengkapan Negara dalam rangka penegakan hukum, diantaranya kepolisian, pembentuk undang-undang, instansi pemerintah (bestuur), serta aparat eksekusi.[22]
Penegakan hukum bagi Negara hukum, secara konsepsional, inti dan arti penegakan hokum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaidah yang mantap dan mengejawantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai terhadap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. [23]
Penegakan hukum bertujuan untuk mencapai tujuan hukum. Melalui penegakan hukum, diharapkan tujuan hukum dapat tercapai sehingga hukum dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Fungsi hukum dibagi ke dalam dua bagian yaitu:
1.      Fungsi hukum secara Tradisional atau Klasik;
2.      Fungsi hukum secara Modern.
Fungsi hukum secara tradisional atau klasik dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Keadilan
2.      Ketertiban

Keadilan sebagai tujuan hukum didasarkan pada kenyataan bahwa dalam suatu masyarakat atau Negara, kepentingan perseorangan dan kepentingan golongan-golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan ini lah yang menyebabkan pertikaian bahkan peperangan.
Hukum mempertahankan perdamaian dan mengusahakan terjadinya sautu keseimbangan di antara kepentingan-kepentingan tersebut. Dengan demikian hukum dapat mencapai tujuan adil dengan adanya keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi bagi setiap orang untuk memperoleh bagiannya melalui peraturan yang memuat kesinambungan kepentingan-kepentingan yang dalam bahasa latin adalah “ius suum cuique tribuere”.[24]
Takaran keadilan itu sendiri relative. Definisi tetang apa yang disebut dengan adil akan berbeda-beda bagi setiap individu. Tidak berlebihan apabila keadilan itu sesuatu yang sukar untuk didefinisikan, tetapi bisa dirasakan dan merupakan unsure yang harus ada dan tidak dipisahkan dari hukum sebagai perangkat asas, dan kaidah yang menjamin adanya keteraturan (kepastian), dan ketertiban dalam masyarakat.[25]
Nilai keadilan sifatnya relative sehingga tidak mungkin untuk menemukan sebuah keadilan yang mutlak (asolute justice). Terkait denganhal itu, Aristoteles mengemukakan teori realis yang berusaha untuk membedakan keadilan menjadi beberapa jenis sebagai berikut.[26]
1.      Keadilan kumulatif, yaitu keadlian yang terjadi dalam hala setiap orang mendapatkan bagian yang sama, tidak didasarkan pada prestasi;
2.      Keadilan distriutif, yaitu tercipta adil apabila setiap individu mendapatkan bagian sesuai dengan peran dan konstribusi masing-masing;
3.      Keadilan indikatif, yaitu dikatakan adil apabila suatu hukuman itu setimpal dengan kejahatan;
4.      Keadilan kreatif, yaitu keadilan yang harus ada perlindungan kepada orang  yang kreatif (pencipta);
5.      Keadilan protektif, yang berbicara mengenai suatu perlindungan bagi setiap individu;
6.      Keadilan legalis, bahwa keadilan itu tersirat dalam undang-undang.

Lebih lanjut, Aristoteles berpendapat bahwa keadilan adalah landasan tujuan Negara. Adanya Negara dirujukan untuk kepentingan umum, berlandaskan keadilan yang berupakan keseimbangan kepentingan di atas daun neraca Themis (dewe keadilan dalam mitologi Yunani).

C.. Isu Sosial dan Tujuan Pembentukan UU Pornografi

Negara Indonesia adalah Negara hokum yang berdasarkan Pncasila dan menjinjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia dan kepribadian luhur bangsa dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan masyarakat, berbangsan dan bernegara serta melindungi harkat dan martabat setiap warga Negara
Isu social yang menjadikan dasarr pembentukan Undang-undang Pornografi adalah karna maraknya pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi semakin berkembang menganca, kehidupan dan tatanan social masyarakat Indonesia.
Dengan melihat kondisi tersebut legalitas yang mengatur mengenai kondisi tersebut hingga saat ini dianggap belum merupakan peraturan perundang-undangan yang menunjukan dan memberikan kepastian hokum tentang pornografi.
Dibuatnya undang-undang progografi yang berusaha membuat suatu produk hokum yang berupa undang-undang sebagai alat untuk mengubah masayarakatat. Adalah merupakan tujuan utama dari dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan.
Adapun yang menjadi upaya dalam konsep tujuan yang diharapkan oleh undang-undang no. 44 Tahun 2008 tentantang Pornografi, yaitu :
Undang-undang ini diharapkan sebagai upaya mewujudkan dan memelihara tatatanan kehidupanmasayarakat yang beretika berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan.
Selain iti undang-undang ini bertujuan menghormati dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk.
Tujuan selanjutnya memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat, memberikan kepastian hokum dan perlindungan bagi warga Negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan. Dan yang menjadi tujuan selanjutnya adalah mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.



BAB IV
ANALISIS LAW AS A TOOL OF SOCIAL ENGENEERING TERHADAP EFEKTIVITAS PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI


A.    Social Engineering terhadap Penerapan UU Pornografi

Setelah kita melihat terhadap sekilas perkembangan dan pembentukan undang-undang Pornografi yang telah mendapatkan pengesahan dan telah diundangkan sejak tanggal 30 Oktober 2008.
Ternyata belum bisa menjadikan dan memposisikan produk politik tersebut sebagai upaya menjadikan hukum untuk mengubah masyarakat kearah yang lebih baik. Kondisi ini dapat terlihat dari banyaknya penolakan yang dilakukan oleh masyarakat baik yang dilakukan oleh perorangan maupn dengan jumlah kelompok mayarakat yang banyak  setelah undang-undang ini disahkan.
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum yang dibuat harus sesuai dengan harus memerhatikan kesadaran hukum masyarakat. Hukum tidak boleh mengahmabat modernisasi. Hukum agar dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat hendaknya harus ada legalisasi dari kekuasaan Negara. Hal ini adalah berhubungan dengan adagium yang dikemukakanya “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman” supaya ada kepastian hukum maka hukum harus dibuat secara tertulis sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan ditetapkan oleh Negara.[27]
Lebih lanjut Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai yang berlaku di suatu masyarakat, bahwa dapat dikaitkan hukum itu merupakan pencerminan dari pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Jadi fungsi hukum adalah sarana pembaharuan masyarakat sebagaimana konsep ilmu hukum yang bersumber pada teori “Law As A Tool Of Social Engeneering” dalam jangkauan dan ruang lingkup yang lebih luas[28].
Dalam kenyataanya hal itu sulit untuk dapat dikembangakan atau diterapkan terhadap suatu produk politik hukum yaitu Undang-undang. Hal ini tergambar dari penerepan undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi , yang kurang lebih usianya sudah 3 (tiga) tahun lebih, dan seharusnya undang-undang ini bisa merubah masyarakat menjadi lebih baik dan santun dalam berpenampilan dan bersikap dalam bermasyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat.
Tetapi yang muncul adalah kondisi masyarakat yang response negative atas lahirrnya undang-undang tentang pornografi ini, masalah yang sering dimunculkan adalah undang-undang ini bertentangan dengan beberapa budaya dimasyarakat daerah yang notabennya jika undang-undang itu diterpakan akan beredampak terkenanya sanksi dan pembatasan ruang gerak masyarakat tertentu dalam menjalani kehudupan bermasyarakat.
Keberadaan undang-undang sebagai produk politik hukum seharusnya bisa menepmatkan living law yaitu Hukum Agama dan Hukum Adat. Menurut Suhardjo (mantan Menteri Kehakiman) yang mengemukanan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara katif maupun secara pasif.[29]
Jika menempatkan UU No. No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, ini sebagai bentuk hukum yang aktif yaitu sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar, artinya efektivitas dari undang-undang pornografi ini bisa diterapkan sebagai fungsi hukum yang menjadikan alat pengubah masyarakat sepertinya akan menajdi pasif di dalam masyarakat. Artinya usaha mengupayakan pencegahan atas upaya yang seweang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil.
Di satu pihak, pembaharuan hukum berarti suatu penetapan prioritas tujuan-tujuan yang hendak dicapai dengan mempergunakan hukum sebagai sarana. Oleh karena hukum berasal dari masyarakat dan hidup serta berproses dalam masyarakat, maka pembaruan hukum tidak mungkin lepas secara mutlak dari masyarakat.
Salah satu hal yang harus dhadapi adalah kenyataan sosial dalam arti luas. Sehubungan dengan hal ini maka perubahan yang direncanakan hendaknya dilakukan secara menyeluruh, dengan inisiatif yang menjadi pihak-pihak adalah orang-orang yang menjadi panutan masyarakat.
Dengan demikian, maka perubahan di bidang hukum akan menjalin kepada bidang-bidang kehidupan yang lain dan sebagai sarana untuk perubahan masyarakat yang telah ada serta mengesahkan perubahan-perubahan yang telah terjadi di masa lalu.

  1. Faktor Penghambat Dalam Perenarapn Social Engineering terhadap Imlpementasi UU Pornografi
Roscoe Pound di lain pihak merumuskan tujuan hukum adalah untuk ketertiban, guna mencapai keadilan, dan hukum sebagai alat pembaruan masyarakat (law as a tool of social engineering).
Melihat kondisi penegakan hokum saat ini yang sepertinya memilih dan dipilih lapisan masyarakat mana yang harus diberikan proses penegakan hokum yang adil, transparan dan akuntable. Sesungguh juga dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya:
Faktor Politik;
1.      Faktor Kekuasaan;
2.      Faktor Penegak Hukum; dan
3.      Faktor Kesadaran Masyarakat.
Pertama, Faktor Politik, sangat menentukan terhadap bagaimana suatu proses pembentukan undang-undang itu sendiri, dapat menangungi keadilan dan menerapkan Equality Before The Law, sehingga apa yang disebut sebagai proses penegakan hokum yang transparan dan akuntabel dapat diwujudkan dalam menjalani proses penegakan hokum di dalam Negara Hukum.
            Factor politik disini melihat pada Undang-undang yang merupakan sebagai hasil suatu politik hokum. Keberadaan undang-undang dalam suatu system hokum merupakan factor yang sangat menentukan bagi tercapainya suatu tertib hokum karena untuk itulah salah satu tujuan dibentuknya undang-undang.
            Banyak contoh dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat, bagaimana praktik penegakan hokum menjadi tidak berdaya disebabkan oleh undang-undang yang seharusnya menjadi landasan yuridis belum terbentuk.
            Kedua, factor kekuasaan. Kekuasaan dalam dan lapisan masyarakat sangat menentukan kedudukan di dalam stratifikasi social lebih tinggi. Factor kekuasaan ini sangat menjadi sebuah dominan terhadap bagaimana suatu kekuasaan yang dimiliki dapat mempengaruhi suatu konsep proses penegakan hukum. 
            Proses hokum yang tidak dapat dijalankan dengan baik, dapat memberikan suatu celah terhadap kekuatan dari kekuasaan yang dimiliki oleh lapisan masayarakat yang notabennya sedang berkuasa, untuk mengenyampingkan suatu proses penegakan hukumyang menimpa dirinya.
            Hokum dibuat oleh penguasa dan melalui kekuasaanya itu penguasa dapat mengatur bagai suatu proses penegakan hukum itu harus dilakukan, dan ditegakan sesuai dengan tujuan hokum itu sendiri. Namun melalui kekuasaannya pula penguasa dapat mepengaruhi terhadap penyelesaian hokum jika suatu proses penegakan hokum menyentuh kepentingan dirinya.
             Ketiga, penegakan hokum. Paratur penegak hokum yang salama ini ada dan telah mendapatkan kekuasaannya masing-masing dalam melaksanakan tugasnnya sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing, ternayata belum dapat menunjukan adanya suatu penelesaian penegakan hokum secara memuasakan. Hal ini dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dengan milahat peristiwa hokum yang selama ini terjadi, seakan-akan para penegak hokum hanya memberikan keistimewan terhadap masyarakat yang memiliki stratifikasi social artinya golongan atau tingkatan masyarakat yang memiliki kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan yang maju.
            Sementara bagi masyarakat kecil yang berada pada stratifikasi social berada dilapisan paling bawah, jelas telihat adanya perlakuan para penegak hokum yang tidak memberikan suatu proses yang semestinya melindungi hak-hak baik sebagai korban dan maupun tersangka.
            Dalam kondisi ini menunjukkan bahwa perlu dilakukan suatu pembenahan baik secara moral maupun sikap peran penegak hokum sebagai pihak apparatus Negara yang memiliki peran dan tanggung jawab terhadap penyelesaian penegakan hokum. Sehingga apa yang disebut sebagai Equality Before The Law dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
            Keempat, Kesadaran Hukum di masyarakat. Kesadaran hokum bagi masyarakat yang seharusnya ditanamkan dalam diri setiap individu-individu masyarakat ternyata tidak dirasakan dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat.
            Tingkat kesadaran masyarakat yang rendah terhadap hokum, menjadikan sebuah factor yang dapat menghambat proses penegakan hokum, masyarakat yang tidak mengetahui hokum menjadikan masyarakat tersebut, akan kehilangan hak-haknya di dalam hokum karena minimnya Ilmu pengetahuan tentang hokum yang dimiliki oleh lapisan-lapisan masyarakat yang ada. 



DAFTAR PUSTAKA


Prof.Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum”Aspek-Aspek Pengubah Hukum”, Kencana, 2009,
Satjipto Raharjo, 1977, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung
Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, Yogyakarta,
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al Maraghi, Bab I al Halabi, Juz I, Cairo hal. 182
R.Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Amrico, bandung, cetakan Ketiga, 1999
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hal. 3
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, terjemahan Mr. Oetrid Sadino.
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000


[1] Prof.Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum”Aspek-Aspek Pengubah Hukum”, Kencana, 2009, hal.1
[2] Ibid
[3] Ibid
[4]Satjipto Raharjo, 1977, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm.19
[5] B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, Yogyakarta, hlm.2-3
[6] Prof.Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum”Aspek-Aspek Pengubah Hukum”, Kencana, 2009, hal.2
[7] Ibid
[8] Prof.Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum”Aspek-Aspek Pengubah Hukum”, Kencana, 2009, hal.3

[9] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al Maraghi, Bab I al Halabi, Juz I, Cairo hal. 182
[10] R.Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Amrico, bandung, cetakan Ketiga, 1999, hlm.52
[11] Dr. Bernard L. Tanya, SH., MH. Dr. Yoan N. Simanjuntak, SH., MH. Markus Y. Hage, SH., MH.”Teori Hukum” GENTA Publishing, Cetakan 3, 2010, hal. 154
[12] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000 hal, 155
[13] Dr. Bernard L. Tanya, SH., MH. Dr. Yoan N. Simanjuntak, SH., MH. Markus Y. Hage, SH., MH.”Teori Hukum” GENTA Publishing, Cetakan 3, 2010, hal. 155

[14] Ibid, hal 161
[15] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Social, Bandung: Alumni, 1983
[16] Ibid
[17] WWW. Wikipedia.org.co.id
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional: Suatu Ursaian Tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, CV. Putra A. Bardin, Bandung, 2000, hal. 13
[21] Ibid, hal.9
[22] Sudarto,Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986 Cetakan ke dua, hal.111
[23] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hal. 3
[24] L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, terjemahan Mr. Oetrid Sadino.
[25] Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hal.52
[26] Ibid, hal.10
[27] Prof.Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum”Aspek-Aspek Pengubah Hukum”, Kencana, 2009, hal. 21
[28] Ibid. 22
[29] Ibid, 23