DAFTAR ISI
A.
PENDAHULUAN
B.
TINJAUAN TEORITIS LAW AS A TOOL OF SOCIAL ENGINEERING
- Pengertian Hukum
- Bentuk dan Fungsi Hukum
- Teori Pragmatic Roscoe Pound
C.
GAMBARAN UMUM UU NO.42 TAHUN
2008 TENTANG PORNOGRAFI
- Sekilas tentang UU Pornografi
B. Implemenasi Penegakan Hukum Bagi Negara Hukum
(Konsep Keadilan)
C. Isu
Sosial dan Tujuan
dalam Pembentukan UU Pornografi
D.
ANALISIS LAW AS A TOOL OF
SOCIAL ENGENEERING TERHADAP EFEKTIVITAS PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG
PORNOGRAFI
- Social Engineering terhadap Peneranan UU Pornografi
- Faktor Penghambat Dalam Perenarapn Social Engineering terhadap Imlpementasi UU Pornografi
E.
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Perubahan social serta dinamika masyarakat memiliki saham penting bagi
munculnya sosiologi hokum, dalam hal ini perubahan di abad dua puluh. Domisasi
pemikiran hokum analitis-positiv sejak abad kesmbilan belas berlahan-lahan
ditantang oleh munculnya pemikiran yang menembpatkan studi hkum tidak lagi
berpusat pada perundang-undangan, melaikan dalam konteks yang lebih luas.
Dari sekian banyak
tunjuan dan fungsi hokum ada fungsi hokum yang menjadi pemikiran Roscoe Pound
yaitu law as a
tool of social engineering, dari pemikiran ini
daiharapkan hokum dapat mempetkan dirinya di depan daru suautu operubahan yang
dapat merubah masyarakat, secara luas.
Posisi aktif hokum disini, menjadi suatu bentuk upaya
yang dilakukan oleh Negara hokum yang menempatkan suatu produk politik yaitu
Undang-undang sebagai alat yang dibuat oleh penguasa sebagai upaya untuk
mengatur masyarakat sehingga menuju kearah yang lebih baik.
Melihat apa
yang diharapkan dari fungsi tersebut, penulis tergugah untuk coba menkaji
secara sederhana bagaimana implementasi fungsi hokum tersebut di dalam
undang-undang No.44 tahun 2008 tentang Pornografi, sehingga undang-undang ini
dapat menempatkan dirinya sebagai hokum yang aktif dan dapat merubah masyarakat
secara lebih baik.
Dari
kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat, ternyata undang--undang undang ini
malah melahirkan suatu polemic pemikiran yang negative terhadap fungsi hokum.
Karena ada beberapat daerah dan sekelompok masayarakat yangt terus menolak akan
pemberlakuan dari undang-undang ini.
Untuk itu bagaimana seharunya hokum dan perubahan
masyarakat di tempatkan dalam posisi yang baik sehingga menciptakan keadilan yang
sesuai dengan
Kondisi masyarakat baik
secara tempat, ruang dan waktu, seta social dan budaya dapat diletakan sesuai
dengan konsep Negara Hukum yang berazaskan Pancasila dan hokum yang hidup
dimasyarakat (Living Law).
BAB II
PERUBAHAN HUKUM
A.
Pengertian Hukum
Menurut Hans Wehr kata
hukum berasal dari bahasa Arab, asal kata íHukm:, kata jama’nya “Ahkam”
yang berarti putusan (jugdgement, verdice, decision), ketapan (provision),
perintah (command), pemerintahan (government) dan kekuasaan (autotrity,
power).[1]
Menurut
VINOGRADOFF, hukum adalah seperangkat aturan yang diadakan dan dilaksanakan
oleh suatu masyarakat dengan menghormati kebijakan dan pelaksanaan kekuasaan
atas setiap manusia dan barang.[2]
Sedangkan
Bellefroid mengemukaan bahwa hukum adalah segala aturan yang berlaku dalam
masyarakat, mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas kekuasaan yang
ada di dalam masyarakat itu.[3]
Di
dunia Ilmu Hukum terdapat dua kelompok besar yang memahami pengertian mengenai
hukum, yaitu mereka yang memahami pengertian hukum dari sudut pandang
sosiologis, dan yang memahami hakikat hukum dari sudut pandang normative
yuridis.
Dari
sudut pandang sosiologis, hukum dapat dipahami sebagai salah satu dari sekian
banyak nilai yang terdapat di dalam pergaulan hidup masyarakat. Ini berarti
hukum dipandang sebagai salah satu gejala sosial kemasyarakatan. Oleh sebab itu
konsep-konsep teori hukum (bahkan penemuan hukum) diperoleh dari realitas
social di dalam masyarakat. Sedangkan yang memahami hukum dari sudut pandang normative
yuridis, menekankan pandangannya pada hukum sebagai seperangkat
peraturan-peraturan tertulis yang logis dan konsisten.[4]
Dalam
kerangka teori hukum, pemahaman hukum jika ditinjau dari sudut pandang
sosiologis sebenarnya mulai dikenal pada waktu Von Savigny mengemukakan teori
hokum historis. Fokus pemahaman mengenai hakikat hukum menurut teori ini ada
pada perkembangan dan pertumbuhan suatu masyarakat. Hukum dianggap merupakan
produk dari kebudayaan masyarakat dan berkembang sejalan dengan peradaban serta
kebudayaan masyarakat itu sendiri. Inti teori hukum historis sebagaimana
dikemukakan oleh Von Savigny, antara lain adalah[5]
:
a. Titik
Tolak padangannya teori hukum historis menganggap bahwa setiap bangsa mempunyai
volkgeist (jiwa rakyat) yang berbeda,
baik menurut waktu maupun tempat. Pencerminan dari volkgeist ini Nampak pada kebudayaan masing-masing bangsa. Oleh
sebab itu hokum haruslah bersumber dari volkgeist
tersebut.
b. Hukum
itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang dari suatu masyarakat sederhana yang
tercermin pada setiap tingkah laku individu-individu kepada masyarakat
kompleks, dimana kesadaran hukum Nampak pada ucapan-ucapan para ahli hukum.
Dari pehaman normative yuridis, hukum dipandang sebagai sarana
pengendali social yang mengarahkan kepada tercapainya suatu tertib atau pola
kehidupan yang telah ada. Dalam pengertian seperti fungsi hukum hanya dianggap
sekedar menjaga agar setiap orang menjalankan peranannya sebagaimana yang telah
ditentukan, atau sebagaimana yang diharapkan dari padanya.
Oleh karena menurut pehaman hukum dari sudut pandang normative
yuridis yang demikian itulah, maka hukum dianggap hanya berfungsi
mempertahankan pola kehidupan yang sudah ada. Oleh sebab itu tidaklah
berlebihan jikalau hukum hanya dipandang sebagai sekumpulan peraturan-peraturan
yang tertulis dan bersifat logis, konsisten dan tertutup serta berfungsi untuk
mengatur kehidupan manusia dalam ikatan pergaulan masyarakat. Hukum merupakan
kristalisasi norma-norma yang terdapat di dalam masyarakat yang dituangkan dalam
bentuk tertulis dan diakui kebenarannya, sehingga menjadi pedoman yang mengikat
dalam melaksanakan pergaulan hidup.
B.
Bentuk dan Fungsi Hukum
Dari segi terbentuknya, hukum itu dapat berupa hukum tertulis,
statute law, writter law) yakni hukum yang dibuat oleh instansi atau lembaga
yang berwenang dalm sebuah Negara atau lembag yang berwenang dalam sebuah dan
dalam aplikasi sering disebut dengan perundang-undangan. [6]
Hukum yang berbentuk tertulis biasanya berbentuk kodifikasi dalam
jenis hukum tertentu secara sistematis sehingga mudah untuk dipelajarinya.
Hukum tertulis yang sudag berbentuk kodifikasi adalah Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana dan berbagai macam peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping itu ada juga hukum yang tidak tertulis (unstatute law,
unwritten law) yakni hukum yang hidup dalam masyarakat, tidak tertulis
tetapi berlakunya ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat sebagaimana hukum
tertulis. Hukum tertulis berlaku dalam system hukum continental (civil law),
sedangkan hukum yang tidak tertulis biasanya berlaku dalam system Common
law. Di Indonesia hukum yang tidak tertulis dikenal dengan hukum adat.[7]
Baik hukum yang tertulis, maupun hukum yang tidak tertulismempunyai
fungsi antara lain, pertama: sebagai standard of conduct yakni
sandaran atau ukuran tingkah laku yang harus ditaati oleh setiap orang dalam
bertindak dalam melakukan hubungan satu dengan yang lain. Kedua :
sebagai as a tool of social engeneering, yakni sebagai sarana atau alat untuk mengubah
masyarakat dalam hidup masyarakat. Ketiga : sebagai as a tool of
social control, yakni sebagai alat untuk mengontrol tigkah laku dan
perbuatan manusia agar mereka tidak melakukan perbuatan yang melawan norma,
agama, dan susila. Keempat : sebagai as a facility on of human
interaction yakni hukum berfungsi tidak hanya untuk menciptakan ketertiban,
tetapi juga menciptakan perubahan masyarakat dengan cara memperlancar proses
interaksi sosial dan diharapkan menjadi pendorong untuk menimbulkan perubahan
dalam kehidupan masyarakat.[8]
Agar fungsi hukum sebagaimana tersebut di atas dapat berjalan
sebagaimana yang diharapkan, maka hukum itu tidak boleh statis, tetapi harus
selalu dinamis, harus selalu diadakan perubahan sejalan dengan perkembangan
zaman dan dinamika kehidupan masyarakat.
Dalam kaitan ini Ahmad Mustafa al-Marighi mengemukakan bahwa
sesungguhnya huku-hukum itu dibuat dan siundangkan untuk kepentingan manusia,
sedangkan kepentingan manusia itu tidak sama, berbeda satu dengan yang lain
yang disebabkan karena ada perbedaan kondisi dan situai, waktu dan tempat.[9]
C.
Teori Pragmatic Legal
Realism (Roscoe Pound)
Roscoe Pound mengatakan bhwa hukum dilihat dari fungsinya dapat
berperan sebagai alat untuk mengubah masyarakat (law as a tool of social
engeneering). Hukum dapat berperan di depan untuk memimpin perubahan dalam
kehidupan mayarakat dengan cara memperlancar pergaulan masyarakat, mewujudkan
perdamaian dan ketertiban serta mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Hukum berada di depan untuk mendorong pembaharuan dari tradisional
ke modern. Hukum yang dipergunakan sebagai sarana pembaharuan ini dapat berupa
undang-undang dan yurisprudensi atau kombinasi keduanya, namun di Indonesia
yang lebih menonjol adalah tata perundangan. Supaya dalam pelaksnaan untuk
pembaharuan itu dapat berjalan dengan baik, hendaknya perundang-undangan yang
dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran Sociological
Jurisprudence yaitu hukum yang baik adalam hukum yang hidup di dalam
masyarakat, sebab jika ternyata tidak, maka akibatnya secara efektif dan akan
mendapat tantangan.[10]
Dalam buku teori hukum strategi Tertib manusia Lintas Ruang dan
Generasi, yang disusun oleh Dr. Bernard L. Tanya, SH., MH. Bersma Dr. Yoan N.
Simanjuntak, SH., MH. dan Markus Y. Hage, SH., MH. menyebutkan dalam bukunya
teori Roscoe Poun sebagai Hukum itu Keseimbangan Kepentinga.
Pragmatisme Amerika, merupakan basis ideology teori Pound tentang
keseimbangan kepentingan. Bagi Pound, hukum tidak boleh dibiarkan mengawang
dalam konsep-konsep logis-analitis ataupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan
teknis yuridis yang terlampau eksklusif. Sebaliknya, hukum itu mesti didaratkan
di dunia nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.[11]
Dalam konteks keperluan tersebut, hukum yang bersifat logis-analitis
dan serba abstrak (hukum murni) atau pun yang berisi gambaran realitas apa
adanya (sosiologis), tidak mungkin diandakan. Hukum dengan tipe tersebut,
paling-paling hanya mengukuhkan apa yang ada. Ia tidak merubah keadaan. Karena
itu, perlu langkah progresif yaitu memfungsikan hukum law as a tool social
engineering.
Kepentingan-kepentingan tersebut harus ditata sedemikian rupa agar
tercapai keseimbangan yang proporsional. Manfaatnya adalah terbangunnya suatu
struktur masyarakat sedemikian rupa hingga secara maksimum mencapai kepuasan
akan kebutuhan dengan seminimum mungkin mencapai benturan dan pemborosan.[12]
Pound mengajukan tiga kategori kelompok kepentingan, yaitu
kepemimpinan umum, sosial, dan kepentingan pribadi. Kepemimpinan umum terdiri
atas dua, yaitu : (i) Kepentingan-kepentingan Negara sebagai badan hukum dalam
mempertahankan kepribadian dan hakikatnya, (ii) kepentingan-kepentingan Negara
sebagai penjaga kepentingan-kepentingan social.[13]
Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalaj interst
balancing, dan karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum
yang diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat kea rah yang lebih maju.
Bagi Pound, antara hukum dan masyarakat terdapat hubungan yang
fungsional. Dan karena kehidupan hukum terletak pada karya yang dihasilkannya
bagi dunia sosial, maka tujuan utama dalam social engineering adalah
mengarahkan kehidupan sosial itu ke arah yang lebih maju. Menurutnya, hukum
tidaklah menciptakan kepuasan, tetapi hanya memberi legitimasi atas kepentingan
manusia untuk mencapai kepuasan tersebut dalam keseimbangan.[14]
Hukum sebagai sarana social engineering, bermakna penggunaan
hukum sacara sadar untuk mencapai tetib atau keadaan masyarakat sebagaimana
dicita-citakan, atau untuk melakukan peruahan yang diinginkan.[15]
Sudah tentu, mekanisme perubahan sosial dimaksud, merupakan suatu
proses yang terencana dengan tujuan menganjurkan, mengajak, menyuruh, atau
bahkan memaksa anggota-anggota masyarakat agar mengikuti norma-norma hukum atau
tata tertib hukum yang ditetapkan sebagai norma baru.[16]
Dapat dikatakan, hukum dalam konsep social engineering, sangatlah
instrumental sifatnya. Kehidupan social, menurut konsep ini dapat dengan mudah
dipengaruhi oleh hukum sebagai system pengaturan terkendali dan coersif
Atas dasar keyakinan yang demikian itu, maka dapatlah dimengerti
jika penggunaan hukum modern senantiasa diarahkan untuk menjadi sarana
menyalurkan kebijakan-kebijakan demi menciptakan kembali pola-pola tingkah laku
yang terdapat dalam masyarakat..
BAB III
GAMBARAN UMUM UU NO.42 TAHUN 2008
TENTANG PORNOGRAFI
A.
Sekilas Mengenai UU
Pornografi
Undang-undang Pornografi sebelumnya saat masih
berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan
Pornoaksi, atau yang disingkat dengan RUU APP, dan kemudian menjadi Randangan
Undang-Undang Pornografi, adalah suatu produk hukum berbentuk Undang-undang
yang mengatur mengenai pornografi dan pornoaksi pada walnya. Undang-undang ini
disahkan menjadi undang-undang dalam SIdang Paripurna DPR pada tanggal 30
Oktober 2008.
Selama pembahasannya dan setelah diundangkan,
Undang-undang ini maraknya mendapatkan penolakan dari masyarakat. Seperti
masyarakat Bali berniat akan membawa UU ini kemahkamah Konstitusi. [17]
Gubernur Bali yang dijabat oleh Made Mangku Pastika bersama Ketua DPRD Bali
Ida Bagus Wesnawa dengan tegas menyatakan menolak Undang-undang Pornografi in.[18]
Sementara Ketua DPRD Papua Barat Jimmya Demianus Ijie
mendesak Pemerintah Untuk membatalkan
Undang-undang Pornografi yang
telah disahkan dalam rapat paripurna DPR dan mengancam Papua Barat akan
meisahkan diri dari Indonesia. Sementara itu Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya
menolak pengesahan dan pemberlakuan UU Pornografi .[19]
Lebih kurang lima tahun adalah waktu yang diperlukan
untuk menggolkan ini, sayangnya waktu lima tahun kiranya tidak cukup memberikan
angina segara bagi kehidupan demokrasi Indonesia.
Selain itu Pornografi nyata-nayata tidak dapat
diterapkan dalam kehidupan dan prosedur hukum. Termin dari pasal 1 dan pasa 10
tetnag definisi yang menggunakan ‘gerak tubuh’ dan pertunjukan dimuka umum
melanggar pasal 5 UU No.10/2004 yang berkaitan dengan ketentuan isi harus
sesuai dengan judul .
B. Implemenasi
Penegakan Hukum Bagi Negara Hukum (Konsep Keadilan)
Salah
satu ciri Negara adalah ”a degree of civilization”, yaitu tingkat
perdaban Negara yang diwujudkan dalam pembangunan Nasional, sedangkan
pembangunan nasional bagi Indonesia merupakan pencerminan kehendak untuk
terus-menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara
adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan
Negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila, sebagai wujud pengalaman
semua sila Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan yang utuh.[20]
Mochtar
Kusumaatmadja berpendapat: Di Indonesia, fungsi hukum dalam pembangunan adalah
sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan, bahwa
adanya ketertiban dalam pembangunan merupakan suatu yang dipandang penting dan
diperlukan. Disamping itu, hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi sebagai
sarana untuk menyalurkan arah kegiatan-kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang
dikehendaki oleh perubahan terencana itu.[21]
Hukum
mengaur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang
diharuskan dan apa yang dibolehkan atau sebaliknya. Dengan demikian, hukum
menarik garis antara apa yang sesuai dengan hukum dan apa yang melawan hukum.
Apabila
dilihat secara fungsional, system penegakan hukum itu merupakan suatu system
aksi. Dikatakan sebagai system aksi karena di dalamnya terdapat sekian banyak
aktivitas yang dilakukan alat perlengkapan Negara dalam rangka penegakan hukum,
diantaranya kepolisian, pembentuk undang-undang, instansi pemerintah (bestuur),
serta aparat eksekusi.[22]
Penegakan
hukum bagi Negara hukum, secara konsepsional, inti dan arti penegakan hokum
terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di
dalam kaedah-kaidah yang mantap dan mengejawantah sikap tindak sebagai
rangkaian penjabaran nilai terhadap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. [23]
Penegakan
hukum bertujuan untuk mencapai tujuan hukum. Melalui penegakan hukum,
diharapkan tujuan hukum dapat tercapai sehingga hukum dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Fungsi hukum dibagi ke dalam dua bagian yaitu:
1. Fungsi
hukum secara Tradisional atau Klasik;
2. Fungsi
hukum secara Modern.
Fungsi hukum secara tradisional atau
klasik dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Keadilan
2. Ketertiban
Keadilan
sebagai tujuan hukum didasarkan pada kenyataan bahwa dalam suatu masyarakat
atau Negara, kepentingan perseorangan dan kepentingan golongan-golongan manusia
selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan ini lah yang menyebabkan
pertikaian bahkan peperangan.
Hukum
mempertahankan perdamaian dan mengusahakan terjadinya sautu keseimbangan di
antara kepentingan-kepentingan tersebut. Dengan demikian hukum dapat mencapai
tujuan adil dengan adanya keseimbangan antara kepentingan-kepentingan
yang dilindungi bagi setiap orang untuk memperoleh bagiannya melalui peraturan
yang memuat kesinambungan kepentingan-kepentingan yang dalam bahasa latin
adalah “ius suum cuique tribuere”.[24]
Takaran
keadilan itu sendiri relative. Definisi tetang apa yang disebut dengan adil
akan berbeda-beda bagi setiap individu. Tidak berlebihan apabila keadilan itu
sesuatu yang sukar untuk didefinisikan, tetapi bisa dirasakan dan merupakan
unsure yang harus ada dan tidak dipisahkan dari hukum sebagai perangkat asas,
dan kaidah yang menjamin adanya keteraturan (kepastian), dan ketertiban dalam
masyarakat.[25]
Nilai
keadilan sifatnya relative sehingga tidak mungkin untuk menemukan sebuah
keadilan yang mutlak (asolute justice). Terkait denganhal itu,
Aristoteles mengemukakan teori realis yang berusaha untuk membedakan keadilan
menjadi beberapa jenis sebagai berikut.[26]
1. Keadilan
kumulatif, yaitu keadlian yang terjadi dalam hala setiap orang mendapatkan
bagian yang sama, tidak didasarkan pada prestasi;
2. Keadilan
distriutif, yaitu tercipta adil apabila setiap individu mendapatkan bagian
sesuai dengan peran dan konstribusi masing-masing;
3. Keadilan
indikatif, yaitu dikatakan adil apabila suatu hukuman itu setimpal dengan
kejahatan;
4. Keadilan
kreatif, yaitu keadilan yang harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif (pencipta);
5. Keadilan
protektif, yang berbicara mengenai suatu perlindungan bagi setiap individu;
6. Keadilan
legalis, bahwa keadilan itu tersirat dalam undang-undang.
Lebih
lanjut, Aristoteles berpendapat bahwa keadilan adalah landasan tujuan Negara.
Adanya Negara dirujukan untuk kepentingan umum, berlandaskan keadilan yang
berupakan keseimbangan kepentingan di atas daun neraca Themis (dewe keadilan
dalam mitologi Yunani).
C.. Isu Sosial dan Tujuan
Pembentukan UU Pornografi
Negara Indonesia adalah Negara
hokum yang berdasarkan Pncasila dan menjinjung tinggi nilai-nilai moral, etika,
akhlak mulia dan kepribadian luhur bangsa dan bertakwa kepada tuhan yang maha
esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan masyarakat, berbangsan dan
bernegara serta melindungi harkat dan martabat setiap warga Negara
Isu social yang menjadikan dasarr
pembentukan Undang-undang Pornografi adalah karna maraknya pembuatan,
penyebarluasan dan penggunaan pornografi semakin berkembang menganca, kehidupan
dan tatanan social masyarakat Indonesia.
Dengan melihat kondisi tersebut
legalitas yang mengatur mengenai kondisi tersebut hingga saat ini dianggap
belum merupakan peraturan perundang-undangan yang menunjukan dan memberikan
kepastian hokum tentang pornografi.
Dibuatnya undang-undang progografi
yang berusaha membuat suatu produk hokum yang berupa undang-undang sebagai alat
untuk mengubah masayarakatat. Adalah merupakan tujuan utama dari dibentuknya
suatu peraturan perundang-undangan.
Adapun yang menjadi upaya dalam
konsep tujuan yang diharapkan oleh undang-undang no. 44 Tahun 2008 tentantang
Pornografi, yaitu :
Undang-undang ini diharapkan
sebagai upaya mewujudkan dan memelihara tatatanan kehidupanmasayarakat yang
beretika berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan.
Selain iti undang-undang ini
bertujuan menghormati dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat,
dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk.
Tujuan selanjutnya memberikan
pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat, memberikan
kepastian hokum dan perlindungan bagi warga Negara dari pornografi, terutama
bagi anak dan perempuan. Dan yang menjadi tujuan selanjutnya adalah mencegah
berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
BAB IV
ANALISIS LAW AS A TOOL OF SOCIAL ENGENEERING TERHADAP
EFEKTIVITAS PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI
A. Social Engineering terhadap Penerapan UU Pornografi
Setelah kita melihat terhadap
sekilas perkembangan dan pembentukan undang-undang Pornografi yang telah
mendapatkan pengesahan dan telah diundangkan sejak tanggal 30 Oktober 2008.
Ternyata belum bisa menjadikan dan memposisikan produk politik
tersebut sebagai upaya menjadikan hukum untuk mengubah masyarakat kearah yang
lebih baik. Kondisi ini dapat terlihat dari banyaknya penolakan yang dilakukan
oleh masyarakat baik yang dilakukan oleh perorangan maupn dengan jumlah
kelompok mayarakat yang banyak setelah
undang-undang ini disahkan.
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum yang dibuat harus
sesuai dengan harus memerhatikan kesadaran hukum masyarakat. Hukum tidak boleh
mengahmabat modernisasi. Hukum agar dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan
masyarakat hendaknya harus ada legalisasi dari kekuasaan Negara. Hal ini adalah
berhubungan dengan adagium yang dikemukakanya “hukum tanpa kekuasaan adalah
angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman” supaya ada
kepastian hukum maka hukum harus dibuat secara tertulis sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dan ditetapkan oleh Negara.[27]
Lebih lanjut Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum sebagai
kaidah sosial tidak lepas dari nilai yang berlaku di suatu masyarakat, bahwa
dapat dikaitkan hukum itu merupakan pencerminan dari pada nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat itu. Jadi fungsi hukum adalah sarana pembaharuan
masyarakat sebagaimana konsep ilmu hukum yang bersumber pada teori “Law
As A Tool Of Social Engeneering” dalam jangkauan dan ruang lingkup yang
lebih luas[28].
Dalam kenyataanya hal itu sulit untuk dapat dikembangakan atau
diterapkan terhadap suatu produk politik hukum yaitu Undang-undang. Hal ini
tergambar dari penerepan undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi ,
yang kurang lebih usianya sudah 3 (tiga) tahun lebih, dan seharusnya
undang-undang ini bisa merubah masyarakat menjadi lebih baik dan santun dalam
berpenampilan dan bersikap dalam bermasyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai
moral yang berlaku di masyarakat.
Tetapi yang muncul adalah kondisi masyarakat yang response negative
atas lahirrnya undang-undang tentang pornografi ini, masalah yang sering
dimunculkan adalah undang-undang ini bertentangan dengan beberapa budaya dimasyarakat
daerah yang notabennya jika undang-undang itu diterpakan akan beredampak
terkenanya sanksi dan pembatasan ruang gerak masyarakat tertentu dalam
menjalani kehudupan bermasyarakat.
Keberadaan undang-undang sebagai produk politik hukum seharusnya
bisa menepmatkan living law yaitu Hukum Agama dan Hukum Adat. Menurut Suhardjo
(mantan Menteri Kehakiman) yang mengemukanan bahwa tujuan hukum adalah untuk
mengayomi manusia baik secara katif maupun secara pasif.[29]
Jika menempatkan UU No. No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, ini
sebagai bentuk hukum yang aktif yaitu sebagai upaya untuk menciptakan suatu
kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara
wajar, artinya efektivitas dari undang-undang pornografi ini bisa diterapkan
sebagai fungsi hukum yang menjadikan alat pengubah masyarakat sepertinya akan
menajdi pasif di dalam masyarakat. Artinya usaha mengupayakan pencegahan atas
upaya yang seweang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil.
Di satu pihak, pembaharuan hukum berarti suatu penetapan prioritas
tujuan-tujuan yang hendak dicapai dengan mempergunakan hukum sebagai sarana.
Oleh karena hukum berasal dari masyarakat dan hidup serta berproses dalam
masyarakat, maka pembaruan hukum tidak mungkin lepas secara mutlak dari
masyarakat.
Salah satu hal yang harus dhadapi adalah kenyataan sosial dalam arti
luas. Sehubungan dengan hal ini maka perubahan yang direncanakan hendaknya
dilakukan secara menyeluruh, dengan inisiatif yang menjadi pihak-pihak adalah
orang-orang yang menjadi panutan masyarakat.
Dengan demikian, maka perubahan di bidang hukum akan menjalin kepada
bidang-bidang kehidupan yang lain dan sebagai sarana untuk perubahan masyarakat
yang telah ada serta mengesahkan perubahan-perubahan yang telah terjadi di masa
lalu.
- Faktor Penghambat Dalam Perenarapn Social Engineering terhadap Imlpementasi UU Pornografi
Roscoe Pound di lain pihak merumuskan
tujuan hukum adalah untuk ketertiban, guna mencapai keadilan, dan hukum sebagai
alat pembaruan masyarakat (law as a tool
of social engineering).
Melihat kondisi penegakan hokum saat ini
yang sepertinya memilih dan dipilih lapisan masyarakat mana yang harus
diberikan proses penegakan hokum yang adil, transparan dan akuntable. Sesungguh
juga dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya:
Faktor
Politik;
1.
Faktor Kekuasaan;
2.
Faktor Penegak Hukum; dan
3.
Faktor Kesadaran Masyarakat.
Pertama,
Faktor Politik, sangat menentukan terhadap bagaimana suatu proses pembentukan
undang-undang itu sendiri, dapat menangungi keadilan dan menerapkan Equality Before The Law, sehingga apa
yang disebut sebagai proses penegakan hokum yang transparan dan akuntabel dapat
diwujudkan dalam menjalani proses penegakan hokum di dalam Negara Hukum.
Factor politik disini melihat pada
Undang-undang yang merupakan sebagai hasil suatu politik hokum. Keberadaan
undang-undang dalam suatu system hokum merupakan factor yang sangat menentukan
bagi tercapainya suatu tertib hokum karena untuk itulah salah satu tujuan
dibentuknya undang-undang.
Banyak contoh dapat ditemukan dalam
kehidupan masyarakat, bagaimana praktik penegakan hokum menjadi tidak berdaya
disebabkan oleh undang-undang yang seharusnya menjadi landasan yuridis belum
terbentuk.
Kedua,
factor kekuasaan. Kekuasaan dalam dan lapisan masyarakat sangat menentukan
kedudukan di dalam stratifikasi social lebih tinggi. Factor kekuasaan ini sangat
menjadi sebuah dominan terhadap bagaimana suatu kekuasaan yang dimiliki dapat
mempengaruhi suatu konsep proses penegakan hukum.
Proses hokum yang tidak dapat
dijalankan dengan baik, dapat memberikan suatu celah terhadap kekuatan dari
kekuasaan yang dimiliki oleh lapisan masayarakat yang notabennya sedang
berkuasa, untuk mengenyampingkan suatu proses penegakan hukumyang menimpa
dirinya.
Hokum dibuat oleh penguasa dan
melalui kekuasaanya itu penguasa dapat mengatur bagai suatu proses penegakan
hukum itu harus dilakukan, dan ditegakan sesuai dengan tujuan hokum itu
sendiri. Namun melalui kekuasaannya pula penguasa dapat mepengaruhi terhadap
penyelesaian hokum jika suatu proses penegakan hokum menyentuh kepentingan
dirinya.
Ketiga, penegakan
hokum. Paratur penegak hokum yang salama ini ada dan telah mendapatkan
kekuasaannya masing-masing dalam melaksanakan tugasnnya sesuai dengan
kewenangan dan tanggung jawab masing-masing, ternayata belum dapat menunjukan
adanya suatu penelesaian penegakan hokum secara memuasakan. Hal ini dapat
dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dengan milahat peristiwa hokum yang
selama ini terjadi, seakan-akan para penegak hokum hanya memberikan keistimewan
terhadap masyarakat yang memiliki stratifikasi social artinya golongan atau
tingkatan masyarakat yang memiliki kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan
yang maju.
Sementara bagi masyarakat kecil yang
berada pada stratifikasi social berada dilapisan paling bawah, jelas telihat
adanya perlakuan para penegak hokum yang tidak memberikan suatu proses yang
semestinya melindungi hak-hak baik sebagai korban dan maupun tersangka.
Dalam kondisi ini menunjukkan bahwa
perlu dilakukan suatu pembenahan baik secara moral maupun sikap peran penegak
hokum sebagai pihak apparatus Negara yang memiliki peran dan tanggung jawab
terhadap penyelesaian penegakan hokum. Sehingga apa yang disebut sebagai Equality Before The Law dapat dirasakan
oleh seluruh lapisan masyarakat.
Keempat, Kesadaran Hukum
di masyarakat. Kesadaran hokum bagi masyarakat yang seharusnya ditanamkan dalam
diri setiap individu-individu masyarakat ternyata tidak dirasakan dilakukan
oleh seluruh lapisan masyarakat.
Tingkat kesadaran
masyarakat yang rendah terhadap hokum, menjadikan sebuah factor yang dapat
menghambat proses penegakan hokum, masyarakat yang tidak mengetahui hokum
menjadikan masyarakat tersebut, akan kehilangan hak-haknya di dalam hokum
karena minimnya Ilmu pengetahuan tentang hokum yang dimiliki oleh
lapisan-lapisan masyarakat yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr. H.
Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum”Aspek-Aspek Pengubah Hukum”, Kencana,
2009,
Satjipto
Raharjo, 1977, Pemanfaatan Ilmu-ilmu
Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung
Hestu Cipto
Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, Yogyakarta,
Ahmad
Mustafa al-Maraghi, Tafsir al Maraghi, Bab I al Halabi, Juz I, Cairo
hal. 182
R.Otje Salman, Ikhtisar
Filsafat Hukum, Amrico, bandung, cetakan Ketiga, 1999
Soerjono
Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, 2002, hal. 3
L.J.
van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
1996, terjemahan Mr. Oetrid Sadino.
Mochtar
Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000
[1] Prof.Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum”Aspek-Aspek Pengubah
Hukum”, Kencana, 2009, hal.1
[2] Ibid
[3] Ibid
[4]Satjipto Raharjo, 1977, Pemanfaatan
Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm.19
[5] B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum
Tata Negara Indonesia, Yogyakarta, hlm.2-3
[6] Prof.Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum”Aspek-Aspek Pengubah
Hukum”, Kencana, 2009, hal.2
[7] Ibid
[8] Prof.Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum”Aspek-Aspek Pengubah
Hukum”, Kencana, 2009, hal.3
[9] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al Maraghi, Bab I al
Halabi, Juz I, Cairo
hal. 182
[10] R.Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Amrico, bandung, cetakan Ketiga,
1999, hlm.52
[11] Dr. Bernard L. Tanya, SH., MH. Dr. Yoan N. Simanjuntak, SH., MH.
Markus Y. Hage, SH., MH.”Teori Hukum” GENTA Publishing, Cetakan 3, 2010,
hal. 154
[12] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000 hal, 155
[13] Dr. Bernard L. Tanya, SH., MH. Dr. Yoan N. Simanjuntak, SH., MH.
Markus Y. Hage, SH., MH.”Teori Hukum” GENTA Publishing, Cetakan 3, 2010,
hal. 155
[14] Ibid, hal 161
[15] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Social, Bandung: Alumni, 1983
[16] Ibid
[17] WWW. Wikipedia.org.co.id
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, masyarakat dan Pembinaan Hukum
Nasional: Suatu Ursaian Tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan
Hukum di Indonesia, CV.
Putra A. Bardin, Bandung,
2000, hal. 13
[21] Ibid, hal.9
[22] Sudarto,Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986
Cetakan ke dua, hal.111
[23] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,
2002, hal. 3
[24] L.J. van Apeldoorn, Pengantar
Ilmu Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
1996, terjemahan Mr. Oetrid Sadino.
[25] Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu
Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni,
Bandung, 2000, hal.52
[26] Ibid, hal.10
[27] Prof.Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum”Aspek-Aspek Pengubah
Hukum”, Kencana, 2009, hal. 21
[28] Ibid. 22
[29] Ibid, 23