Minggu, 09 Desember 2012

IMPLEMENTASI DUE PROSES OF LAW DALAM TATA HUKUM MODERN PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN-EDIT

BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
            Hukum Pidana dalam arti yang luas teori hukum pidana (subtantif atau materiil) dari hukum acara pidana (hukum pidana formal). Kalau hukum acara pidana dibagi atas hukum public dan hukum privat, maka masyarakat primitive atau kuno, tidak terdapat batas antara hukum public dan hukum privat, sehingga tidak ada pemisahan yang jelas antara acara perdata dan pidana.[1]                         
            Dalam hal pemberlakuan hukum acara pidana, ada hal yang sangat penting untuk dapat diikutsertakan dalam proses beracara pada saat pemeriksaan sidang, yaitu adanya alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian.
            Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata, di sebutkan pada pasal 184, yang menjadi alat bukti ialah: a) Keterangan Saksi, b) Keterangan Ahli, c) Surat, d) Petunjuk, e) Keterangan Terdakwa.
            Mengenai kedudukan saksi tak terlepas dari adanya suatu perbuatan tindakan pidana yang di dalamnya terdapat korban kejahatan.
            Perlindungan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus, pasal 50 sampai degan pasal 68 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.[2]
            Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kodusif dengan cara memberikan perlindungan atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.
            Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwa.
            Berdasarkan asas kesamaan hukum (Equality Before The Law) yang menjadi salah satu ciri Negara hukum, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum.[3]     
            Sebagai upaya penerapan Due Process Of Law, yang juga merupakan salah satu ciri dalam Negara hukum di Indonesia, adanya upaya perlindungan terhadap korban kejahatan harus dapat diterapkan dalam penyelesaian masalah hukum pidana.
            Hal ini sangatlah penting mengingat kedudukan saksi dan korrban kejahatan sangat penting dalam hal hukum pidana.
            Belum secara baiknya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur dalam pemberian perlindungan terhadap saksi dalam tindak kejahatan. Tentunya harus mendapat perhatian yang baik dari sistem Negara hukum di Indonesia terkait dengan upaya pengayoman terhadap masyarakat dan kepentingan Negara.
Sehingga permasalahan Due Process Of Law ini menjadi bahan kajian kami dalam penerapannya didalam hukum pidana, dengan memberikan judul makalah “IMPLEMENTASI DUE PROSES OF LAW DALAM PENEGAKAN  HUKUM PIDANA DI INDONESIA PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN, PENGAYOMAN MASYARAKAT, DAN PERWUJUDAN KEPENTINGAN NEGARA (TINJUAN TEORI HUKUM TERHADAP TEORI DUE PROSES OF LAW)”
B.                Rumusan Masalah
            Pada makalah ini, kami mencoba untuk melihat pada masalah penerapan Due Process Of Law, terhadap hukum pidana, terkait dengan perlindungan Korban Kejahatan, dalam upaya Pengaoman terhadap masyarakat, dan kepentingan Negara.
            Implementasi Due Process Of Law dalam hukum pidana, membuat kami mencoba menggali dengan pendekatan terhadap teori hukum, sehingga kami dapat berusaha menyajikan dengan meletakan sisi teori hukum mengenai teori Due Process Of Law.
Adapun permasalahan yang akan kami coba sajikan dengan berbagai penjelasan, kami rumuskan sebagai berikut:
1.    Apa yang menjadi Prinsip-prinsip dalam penerapan perlindungan Korban Kejahatan?
2.    Bagaimana Dampak penerapan Due Process Of Law  terhadap upaya Pengayoman Masyarakat dan upaya mewujudkan Kepentingan Negara?
C.                Tujuan Penulisan
            Setelah kami coba menjelaskan terhadap latar belakang, dan rumusan masalah, sebelumnya, dalam makalah ini, kami coba sajikan untuk menemukan beberapa manfaat dan tujuan penulisan sebagai berikut:
1.    Mengetahui landasan teoritis terhadap teori Due Proses Of Law.
2.    Mengetahui konsepsi penerapan Due Process Of Law dalam hukum Pidana perspektif Perlindungan Korban Kejahatan.
3.    Mengetahui dampak Due Process Of Law terhadap upaya pengayoman masyarakat, dan kepentingan Negara.   
D.                Sistematika Penulisan
BAB Pertama Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Sistematika Penulisan.
BAB Kedua Tinjauan Teoritis Tentang Due Process Of Law , berisikan Pengertian Due Process Of Law, Due Process Of Law dalam Tata Hukum Modern, Penegakan Hukum Sebagai Wujud Perlindungan Hukum bagi Korban Kejahatan, Pengayoman Masyarakat dan Kepentingan Negara.
BAB Ketiga  Implementasi Due Process Of Law , menjelaskan Korban Kejahatan, Pengertian Korban Kejahatan, Tipologi Korban, Prinsip-Prinsip Dasar Perlindungan Korban Kejahatan, Bentuk-Bentuk Perlindungan Korban Kejahatan, Dampak Penerapan Perlindungan Korban Terhadap Upaya Pengayoman Dalam Masyarakat.
BAB Empat  Kesimpulan.
BAB Lima  DAFTAR PUSTAKA.


BAB II
TINJAUAN TEORITIS TEORI DUE PROCESS OF LAW
A.                Pengertian Due Process Of Law
Pengertian ‘due process of law’ secara etimologi atau bahasa terambil dari kata Due yang artinya “Hak” sehingga memiliki arti ‘due process of law’ sebagai ,mendapat perlindungan atau pembelaan diri sebagai hak.[4]
Definisi 'due process of law' secara secara epistimologi atau istilah  yaitu. (law) the administration of justice according to established rules and principles; based on the principle that a person cannot be deprived of life or liberty or property without appropriate legal procedures and safeguards.[5]
Dalam istilah yang disebutkan dalam tata paham  Negara hukum  (due process of law) diartikan   penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum.
Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus dilakukan secara adil. Konsep due process of law sebenarnya terdapat dalam konsep hak-hak fundamental (fundamental rights) dan konsep kemerdekaan/kebebasaan yang tertib (ordered liberty)[6].
Konsep due process of law yang prosedural pada dasarnya didasari atas konsep hukum tentang “keadilan yang fundamental” (fundamental fairness). Perkembangan , due process of law yang prosedural merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan oleh yang berwenang, misalnya dengan kewajiban membawa surat perintah yang sah, memberikan pemberitahuan yang pantas,  kesempatan yang layak untuk membela diri termasuk memakai tenaga ahli seperti pengacara bila diperlukan, menghadirkan saksi-saksi yang cukup, memberikan ganti rugi yang layak dengan proses negosiasi atau musyawarah yang pantas, yang harus dilakukan manakala berhadapan dengan hal-hal yang dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia, seperti hak untuk hidup, hak untuk kemerdekaan atau kebebasan (liberty), hak atas kepemilikan benda, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk beragama, hak untuk bekerja dan mencari penghidupan yang layak, hak pilih, hak untuk berpergian kemana dia suka, hak atas privasi, hak atas perlakuan yang sama (equal protection) dan hak-hak fundamental lainnya.[7]
Sedangkan yang dimaksud dengan due process of law yang substansif adalah suatu persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa pembuatan suatu peraturan hukum tidak boleh berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan perlakuan manusia secara tidak adil, tidak logis dan sewenang-wenang.[8]
Due Process Model  adalah model yang sarat dengan nilai-nilai kemanusian dalam mekanismenya, misalnya saja model ini lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana, model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap kekuasaan. Artinya model ini mengandung sikap batin penghormatan terhadap manusia, model ini tidak dapat dibatasi oleh batas-batas tertentu, dan model ini melambangkan sikap yang sangat dalam tentang keadilan bagi sesama manusia antara individu dengan pemerintah.

B.                Due Process Of Law dalam Tata Hukum Modern
Pasal  1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan  Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.[9]
Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan Negara Hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.[10]
Menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik tidaknya suatu Peraturan Undang-Undang dan membuat Undang-Undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu, bahwa yang penting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.[11]
Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:[12]
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:[13]
1.    Supremacy Of Law.
2.    Equality Before The Law.
3.    Due Process Of Law.
Dalam rangka merumuskan kembali ide-ide pokok konsepsi Negara Hukum itu dan pula penerapannya dalam situasi Indonesia dewasa ini, menurut pendapat saya, kita dapat merumuskan kembali adanya tiga-belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Ketiga-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilarpilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yangsebenarnya, yaitu:[14]
1.    Supremasi Hukum (Supremacy of Law) :
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
2.    Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law) :
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik.
3.    Asas Legalitas (Due Process of Law) :
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normative demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para pejabat tata usaha negara atau administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ (‘policy rules’) ataupun peraturan-peraturan yang dibuat untuk kebutuhan internal (internal regulation) secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.
4.    Pembatasan Kekuasaan :
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenangwenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.
  1. Organ-Organ Campuran Yang Bersifat Independen :
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’, seperti bank sentral, organisasi tentara, dan organisasi kepolisian.
  1. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak :
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum.
  1. Peradilan Tata Usaha Negara :
Meskipun Peradilan Tata Usaha Negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha Negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara.
  1. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court) :
Di samping adanya Pengadilan Tata Usaha Negara yang diharapkan memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya, baik dengan pelembagaannya yang berdiri sendiri di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung ataupun dengan mengintegrasikannya ke dalam kewenangan Mahkamah Agung yang sudah ada sebelumnya.
  1. Perlindungan Hak Asasi Manusia :
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi.
  1. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
  1. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat):
            Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
  1. Transparansi dan Kontrol Sosial:
            Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran.
  1. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Khusus mengenai cita Negara Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila, ide kenegaraan kita tidak dapat dilepaskan pula dari nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama dan utama Pancasila. Karena itu, di samping ke-12 ciri atau unsur yang terkandung dalam gagasan Negara Hukum Modern seperti tersebut di atas, unsur ciri yang ketigabelas adalah bahwa Negara Hukum Indonesia itu menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Maha Esaan dan ke-Maha Kuasa-an Tuhan.
Artinya, diakuinya prinsip supremasi hukum tidak mengabaikan keyakinan mengenai ke-Maha Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa yang diyakini sebagai sila pertama dan utama dalam Pancasila. Karena itu, pengakuan segenap bangsa Indonesia mengenai kekuasaan tertinggi yang terdapat dalam hukum konstitusi di satu segi tidak boleh bertentangan dengan keyakinan segenap warga bangsa mengenai prinsip dan nilai-nilai ke-Maha-Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa itu, dan di pihak lain pengakuan akan prinsip supremasi hukum itu juga merupakan pengejawantahan atau ekspresi kesadaran rasional kenegaraan atas keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa yang menyebabkan setiap manusia Indonesia hanya memutlakkan Yang Esa dan menisbikan kehidupan antar sesama warga yang bersifat egaliter dan menjamin persamaan dan penghormatan atas kemajemukan dalam kehidupan bersama dalam wadah Negara Pancasila.

C.                Penegakan Hukum Sebagai Wujud Perlindungan Hukum bagi Korban Kejahatan, Pengayoman Masyarakat dan Kepentingan Negara.
Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional. Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk merealisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat menunjukan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah, padahal sangat jelas dalam Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting sebagai perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
            Dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan, sebagaimana dikemukakan olah Andi Hamzah :”Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban.”[15]
Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immaterial maupun materiil sebagaimana Geis berpendapat: “ to much attention has been paid to offenders and their rights, to neglect of the victims.” Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberikan keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh kelekuasaan dama memperjuangkan hak adalah kecil.[16]
Dalam kaitan pemeriksaan suatu tindak pidana, seringkali korban hanya diposisikan sebagai pemberi kesaksian, sebagai pelapor dalam proses penyidikan, dan sebagai sumber informasi atau sebagai salah satu kunci penyelesaian perkara.[17]
Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formal (KUHAP) lebih menitik beratkan perhatian pada pembuat korban (pelaku kejahatan) daripada korban, seolah-olah suatu perbedaan atau pemisahan yang tajam antara si pembuat korban dengan si korban, walaupun keduanya memiliki peranan yang fungsional dalam terjadinya tindak pidana.[18]
Korban hanyalah pelengkap atau sebagian dari alat bukti, bukan pencari keadlian. Bahkan Geis berpendapat:”Tend to be treated like pieces of evidence than like human being.”[19]
Prosedur pemeriksaan sejak penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan dilalui korban jika ingin memperjuangkan hak perlindungan hukum, yang proses pemeriksaan tersebut justru menambah daftar penderitaannya.[20]
Dalam penegakan Hukum Pidana Nasional (baik KUHP maupun KUHAP) harus dilaksanakan sesuai dengan isi ketentuan Hukum Pidana Nasional tersebut, yang telah diatur secara tegas tanpa memperhatikan kedudukan dan kepentingan korban ternyata hingga sekarang hanyalah sebuah regularitas yang bersifat “rutin” namun “tanpa makna” ketika harus berhadapan dengan pentingnya pelindungan hukum korban kejahatan.
Jika hukum Pidana Nasional berlaku secara umum untuk seluruh wilayah Indonesia, baik KUHP maupun KUHAP seolah-olah layaknya sebuah hyperealitas hukum, yaitu undang-undang menjadi pembenar sebuah kejahatan dan pelaksana undang-undang berubah menjadi mayat  hidup, robot, dan mesin dengan remote control yang pada akhirnya realitas undang-undang menopengi kebenaran dan undang-undang kejahatan.
Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting karena masyarakat baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban atau bahkan sebagai pelaku kejahatan.
Perlindungan hukum kejahatan sebagai bagian dari perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.[21]
Dalam penanganan perkara pidana, kepentingan korban sudah saatnya untuk diberikan perhatian khusus, selain sebagai saksi yang mengetahui terjadinya suatu kejahatan juga karena kedudukan korban sebagai subjek hukum yang memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before the law). Perhatian korban dalam penanganan perkara pidana hendaknya dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban (compassion and respect for their dignity.

BAB III
IMPLEMENTASI DUE PROCESS OF LAW
A.     Korban dan Kejahatan
1.      Pengertian Korban Kejahatan
Pentingnya pengertian korban diberikan dalam pembahasan ini adalah untuk sekadar membantu dalam menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan cara padang.
Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu  atau orang perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga badan hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu, korbannya bias juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya seperti tumbuhan, hewan ataupun ekosistem. Korban semacam ini lazimnya kita temui dalam kejahatan terhadap lingkungan. Namun, dalam pembahasan ini, korban sebagaimana dimaksud terakhir tidak termasuk di dalamnya.
Victimogy (istilah bahasa Inggris) berasal dari kata-kata latin Victima yang berarti korban, logos yang berarti ilmu pengetahuan ilmiah, studi.[22]
Masalah korban ini sebetulnya bukanlah masalah yang baru, hanya karena hal-hal tertentu kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Apabila kita mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, maka mau tidak mau kita harus memperhatikan peranan si korban dalam timbulnya suatu kejahatan. Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Pada kenyataannya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan kalau tidak ada si korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dari si penjahat dalam hal terjadinya suatu kejahatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa si korban mempunyai tanggung jawab fungsional dalam terjadinya kejahatan.
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli maupun  bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan, sebagian di antaranya adalah sebagai berikut :[23]
a.       Arief Gosita
Menurutnya, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuh kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak dirugikan. 
b.       Ralph de Sola
Korban (victim) adalah “...person who has injured mental or physical suffering, loss of property or death resulting from an actual or attempted criminal offense committed by another....”.
c.       Cohen
Kobar (victim) adalah “ ...whose pain and suffering have been neglected by the state while is spends immense resources to hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering.”
d.      Z.P. Separovic
Korban (victim) adalah “...the person who are threatened, injured or destroyed by an actor or omission of another (mean, structure, organization, or institution) and consequently, a victim would be anyone who has suffered from or been threatened  by a punishabel act (not only criminal act but also other punishable acts as misdemeanors, economic offences, non fulfillment of work duties) or an accidents. Suffering may be caused by another man or another structure, where people are also involved.
e.       Menurut Muladi
Korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.[24]
Pengertian saksi seperti yang tertuang di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 angka 26 disebutkan “ Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.[25]
Sementara setalah munculnya Undang-undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, di dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 mendefinisikan “saksi adalah orang yang dapat menberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri”
Sementara pengertian Korban Kejahatan adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. (Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban).
Undang-udang No.27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, menyebutkan Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban dan ahli warisnya.[26]
Dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran hak Asasi Manusia yang berat, menyebutkan pengertian Korban, yaitu orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapun.
Berkembangannya hukum sebagai Law As A Tool Sosial Engenering, dan penanaman nilai-nilai Equality  Before The Law yang menjadi salah satu ciri Negara hukum, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum.
2.      Tipologi Korban
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian munculah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut[27]:
a.      Nonparticipating, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan.
b.      Letent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu  sehingga cenderung menjadi korban.
c.       Procative, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadi kejahatan.
d.      Participacing victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban.
e.       False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.

Pengelompokan korban Sellin dan Wolfgang, yaitu sebagai berikut[28];
a.       Primary victimization, yaitu korban berupa individu atau perorangan (bukan kelompok).
b.      Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum
c.       Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.
d.      No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.

B.                  Prinsip-Prinsip Dasar Perlindungan Korban Kejahatan
Demikian pentingnya hak asasi manusia bagi setiap individu sehingga eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai, dan dilindungi, di antaranya melalui berbagai produk perundang-undangan. Adanya pengakuan terhadap eksistensinya hak asasi manusia tentu membawa konsekuensi pada perlunya diupayakan perlindungan terhadap hak-hak tersebut dari kemungkinan munculnya tindakah-tindakan yang  dapat merugikan manusia itu sendiri, baik dilakukan oleh manusia lainnya maupun oleh pemerintah.
Penjelasan Undang-Udang Dasar 1945 dengan tugas menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rectstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Dengan keberadaannya sebagai negara hukum (rechtstaat) ada berbagai konsekuensi yang melekat padanya, sebagaimana dikemukakan oleh Philipus  M. Hadjon, bahwa konsepsi (rechstaat) maupun konsepsi the rule of law, menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri khas pada negara yang disebut rechstaat atau menjunjung tinggi the rule of law, bagi suatu negara demokrasi pengakuan dan perlindungan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia merupakan salah satu ukuran tentang baik buruknya suatu pemerintahan.[29]
Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melaui aparat penegak hukumnya), seperti perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia serta instrumen penyeimbang.
Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan, maka dasar dari perlindungan korban kejahatan dapat dipilih dari beberapa teori, di antarnya sebagai berikut ;[30]
1.      Teori ulititas
Teori ini menitik beratkan pada kemanfaatan yang tersebar bagi jumlah yang terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada korban kejahatan dapat diterapkan sepanjang memberikan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan dengan tidak diterapkannya konsep tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan, tetapi juga bagi sistem penegakan hukum pidana secara keseluruhan.
2.      Teori Tanggung Jawab
Pada hakikatnya subjek hukum (orang maupun kelompok) bertanggung jawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain menderita kerugian (dalam arti luas), orang tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ada alasan yang membebaskannya.
3.      Teori Ganti Kerugian
Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain, pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti kerugian pada korban atau ahli warisnya.
     Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana.[31]


Adapun asas-asas dimaksud adalah sebagai berikut ;
1.      Asas Manfaat
Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat.
2.      Asas Keadilan
Artinya penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan.
3.      Asas Keseimbangan
Karena tujuan hukum di samping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in interum), asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban.
4.      Asas Kepastian Hukum
Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegakan hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan.


C.      Bentuk-Bentuk Perlindungan Korban Kejahatan
Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, bergantung pada penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban.
Oleh karena itu, dengan mengacu pada beberapa kasus kejahatan yang pernah terjadi, ada beberapa bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan yang lazim diberikan, antara lain.
1.      Pemberian Restitusi dan Kompensasi
Pengertian Restitusi dan Kompensasi merupakan istilah yang dalam penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeble). Namun menurut Stephen Schafer, perbedaan antara kedua istilah itu adalah kompensasi lebih bersifat keperdataan. Kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara (the responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana (the responsibility of the offender)[32].
Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, menyebutkan pengertian kompensasi dan restitusi pada bab I yaitu[33]:
Kompensasi pada PP No.44 tahun 2008 pasal 1 angka 4, mendefinisikan, “Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.[34]
Restitusi pada pasal 1 angka 5, mendefinisikan “Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengambilan harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.[35]
2.      Konseling
Pada umumnya perlindungan ini diberikan kepada korban sebagai akibat munculnya dampak negatif sebagai psikis dari suatu tindak pidana. Pemberian bantuan dalam bentuk konseling sangat cocok diberikan kepada korban kejahatan yang menyisakan trauma berkepanjangan, seperti pada kasus-kasus yang menyangkut kesusilaan.
Pada UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan korban disebutkan: Korban dalam pelanggaran HAM yang berat berhak mendapatkan bantuan rehabilitasi psiko-sosial, yaitu suatu bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban.[36]
3.      Pelayanan/Bantuan Medis
Diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama apabila korban hendak melaporkan kejahatan yang menimpanya ke aparat kepolisian untuk ditindaklanjuti.[37]
4.      Bantuan Hukum
Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan. Di Indonesia bentuan in lebih banyak diberikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Pemberi bantuan hukum terhadap korban kejahatan haruslah diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh korban. Hal ini penting, mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran hukum dari sebagian besar korban yang menderita kejahatan ini.
5.      Pemberian Informasi
Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban. Pemberian informasi ini memegang peranan yang sangat penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melaui informasi inilah diharapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif.

D.     Dampak Penerapan Perlindungan Korban Terhadap Upaya Pengayoman dalam Masyarakat, dan Perwujudan Kepentingan Negara.

      Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.[38]
      Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.[39]
      Di antara lembaga-lembaga hukum yang ada, barangkali polisi adalah yang paling memperlihatkan sifat sosiologis dalam pekerjaannya. Sifat tersebut disebabkan oleh keterlibatan pekerjaan polisi secara sangat intens dengan masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat dua kutub, yaitu individu dan kehidupan bersama atau masyarakat.[40]
      Penelitian-penelitian tentang bagaimana polisi bekerja merupan contoh yang bagus mengenai mobilisasi hukum. Konsep mobilisasi hukum memberi tahu kepada kita, bahwa peristiwa pidana yang diatur di dalam KUHP hanya menjadi kenyataan apabila muncul kasus-kasus pidana dan kasus tersebut hanya dapat muncul karena ada mobilisasi hukum.[41] Seperti dikatakan Donald Blak, mobilisasi hukum adalah proses yang melalui itu hukum mendapatkan kasus-kasusnya. Tanpa mobilisasi atau campur tangan manusia, kasus-kasus tersebut tidak akan ada, sehingga hukum hanya akan menjadi huruf-huruf mati di atas kertas belaka.[42] 
Keterlibatan anggota masyarakat dalam penegakan hukum terjadi baik dalam bidang pidana atau publik maupun perdata. Dalam hukum pidana, mobilisasi hukum dapat dimulai dari inisiatif polisi maupun anggota masyarakat. Anggota masyarakat dapat melaporkan terjadinya kejahatan, sehingga menggerakkan roda hukum pidana.
Dalam hal ini masyarakat baik sebagai korban maupun pelapor atas adanya suatu tindakan pidana, tentunya harus mendapatkan perlindungan agar hak-haknya tetap terlindungi baik dari sisi korban ataupun pelapor.
Karna penegakan hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku pidana sering mengalami kesulitan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertantu.[43]
Peran serta masyarakat dalam mobilisasi hukum terkait mobilisasi hukum pidana dapat pula terlihat pada UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, pada Bab V pasal 15, disebutkan : “setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk a) mencegah berlangsungnya timdak pidana; b) memberikan perlindungan kepada korban; c) memberikan pertolongan darurat; dan d) membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.[44]
 Dalam rangka merumuskan kembali ide-ide pokok konsepsi Negara Hukum itu dan pula penerapannya dalam situasi Indonesia dewasa ini, menurut pendapat kami, kita dapat merumuskan kembali adanya tiga-belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Ketiga-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya, yang salah satunya menganut sistem Due Process of Law, Perlindungan Hak Asasi Manusia.
Maka dalam upaya pengayoman terhadap masyarakat serta mejaga nilai-nilai persamaan hukum (equality before the law) yang juga menjadi salah satu ciri negara hukum, yang nantinya akan berdampak pada konsep hukum negara yang memililki kedudukan sebagai upaya melindungi Hak Asasi Manusia, dan kredibelitas hukum. Sehingga negara perlu memberikan perlindungan terhadap masyarakat baik masyarakat itu sebagai korban dan saksi.


BAB VI
KESIMPULAN
Sebagai upaya dalam melindungi hak-hak asasi manusia, dimana telah diatur di Republik Indonesia ini dengan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Serta dalam upaya memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan, sesuai dengan nilai atau ciri-ciri negara hukum modern yang menganut 1) Supermasi Hukum, 2) Equality Before The Law, 3) Due Process Of Law.
Sebagai wujud dukungan terhadap upaya penyelesaian kasus-kasus hukum pidana yang melibatkan adanya alat bukti berupa saksi dan korban kejahatan, untuk mengungkap penyelesaian kasus yang dihadapi.
Maka dalam hal penerapan Due Process Of Law negara Republik Indonesia melalui Pemerintah dan Badan Legislatif, membuat  Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Prinsip-prinsip perlindungan korban kejahatan yang telah  kami coba utarakan di Bab III, ternyata sudah diterapkan kepada beberapa Produk Hukum yaitu melalui Perundang-undang.
Adapun upaya memberikan perlindungan terhadap korban dan pengayoman masyarakat, dapat terlihat dengan mengutamakan, beberapa hal yaitu:
1)      Mengupayakan implementasi terhadap ciri-ciri hukum modern;
2)      Memberikan perlindungan terhadap Hak-Hak Korban;
3)      Menunjukan adanya peran masyarakat terhadap mobilisasi hukum;
Penerapan Due Process Of Law sangat diperlukan dalam hal menjaga hak-hak asasi manusia dapat terlindungi, terkait dengan masalah hukum pidana, perlindungan saksi dan korban kejahatan dan peran masyarakat terhadap perlindungan korban, maka dapat dilihat masyarakat sebagai pelapor ataupun korban kejahatan.
Munculnya peraturan-peraturan perudang-undangan yang mengangkat perlindungan korban sangat diperlukan untuk saat ini, ditengah-tengah perubahan dan kebutuhan hukum terhadap upaya penerapan “Due Process of  Law”.






DAFTAR PUSTAKA
John M. Echols dan Hassan Shadily “Kamus Isnggir Indonesia” PT. Gramedia, Jakarta
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) ,Refika Aditama, Bandung 2009,
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, 2010,
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta 1988
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH “Gagasan Negara Hukum Indonesia
Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bandung: Binacipta, 1986
Chaerudi, Syarif Fadillah, “Korban Kejahatan dalam Perspektif Vikti-mologi dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Press, Jakarta, 2004
Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H., M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007
Abdul Wahid, Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), PT. Refika Aditama, Bandung, 2001
Undang-Undang No. 16 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Muladi,”HAM dalam perspektif sistem Peradilan Pidana,”
Undang-undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Philipus M. Hadjono, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, 1987
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993
Peraturan Pemerintah RI Nomor. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan korban
Prof. Dr. Sartjipto rahardjo, SH, Sosiologi Hukum ‘Perkembangan Metode dan Pilihan Masyarakat’, Genta publishing, Yogyakarta, 2010,



[1] Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H.”Hukum Acara Pidana Indonesia”. Sinar Grafika, 2006, hal: 9
[2] Lihat Konsideran UU. Nomor. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban.
[3] Lihat Konsideran Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
[4] John M. Echols dan Hassan Shadily “Kamus Isnggir Indonesia” PT. Gramedia, Jakarta

[6] Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) ,Refika Aditama, Bandung 2009, hlm: 46
[7] Ibid, hal :47
[8] Ibid, hal : 48
[9] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, 2010, hlm, 46
[10] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta 1988, hlm., 153.
[11] Ibid., hlm,154
[12] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH “Gagasan Negara Hukum Indonesia”

[13] Ibid, hal :
[14] Ibid, hal :
[15] Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bandung: Binacipta, 1986, hal. 33
[16] Chaerudi, Syarif Fadillah, “Korban Kejahatan dalam Perspektif Vikti-mologi dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Press, Jakarta, 2004, hal:47
[17] Ibid, hal. 1600
[18] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H., M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal:135
[19] Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bandung: Binacipta, 1986,
[20] Abdul Wahid, Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), PT. Refika Aditama, Bandung, 2001, hal:75
[21] Lihat dalam UU No. 16 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
[22] Dr. H. Parman Soeparman, S.H.,M.H.”Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan”,hal. 56
[23]  Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H., M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal: 46-47
[24] Muladi,”HAM dalam perspektif sistem Peradilan Pidana,”, hal. 108
[25] Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
[26] Undang-undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
[27] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H., M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal: 49
[28]Ibid, hal. 50
[29] Philipus M. Hadjono, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, 1987, hal: 21
                [30] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H., M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal: 163
[31] Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, hal:50
[32] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H., M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal: 167
[33]Peraturan Pemerintah RI Nomor. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
                [34] Ibid     
[35] Ibid
[36] UU No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan korban
[37] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H., M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal: 167

[38] Dilihat pada Konsideran Undang-undang RI Nomor. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
[39] Ibid
[40] Prof. Dr. Sartjipto rahardjo, SH, Sosiologi Hukum ‘Perkembangan Metode dan Pilihan Masyarakat’, Genta publishing, Yogyakarta, 2010, hal.177
[41] Ibid, hal. 196
[42] Ibid,hal. 197
[43]Dilihat pada Konsideran Undang-undang RI No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
[44]Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar