“LEGISLASI DAERAH DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH”
DAFTAR ISI
A. PENDAHULUAN
a. Latar
Belakang
b. Rumusan
Masalah
c. Tujuan
Penulisan
d. Sistematika
Penulisan
B. PEMERINTAHAN
LOKAL
a. Peristilahan
b. Bentuk
Pemerintahan Lokal
c. Asas-asas
Penyelengaraan Pemerintah Lokal
C. POLITIK
HUKUM PEMBENTUKAN DAERAH
a. Hukum
(Perda) sebagai Produk Politik
b. Hampiran
Teoritik Pembentukan Perundang-undangan
D. LEGISLASI
DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
a. Legislasi
Perda
b. Dasar-dasar
dalam legislasi
c. Efektivitas
Legislasi
E. KESIMPULAN
F. DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia
sesungguhnya telah dimulai sejak awal kemerdekaan bangsa ini, bahkan pada masa
Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda sudah dilakukan.
Perlunya
system otonomi daerah didasari oleh para pendiri Negara Republik Indonesia ketika menyusun UUD 1945, mengingat
letak geografis dan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang terbessar di
berbagai pulau dan terdiri atas berbagai suku, agama, ras, serta golongan.
Substansi
perda seharusnya dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat daerah dalam artian
dengan adanya perda tersebut tidak menghambat investasi ke daerah. Maka
pentingnya melakukan evaluasi perda adalah untuk mengetahui segala
kekurangannya.
Sebab dampak
negative dari perda bermasalah dapat berimplikasi pada menurunnya minat
investor yang hendak menanamkan modalnya ke daerah-daerah baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Pengertian
Politik Hukum sebagai arah kebijakajn hukum (legal policy) yang dibuat
secara resmi oleh Negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan
diberlakukan untuk mencapai tujuan Negara.
Di dalam pengertian sederhana tersebut,
hukum ditempatkan sebagai alat untuk mencapai tujuan Negara sehingga pembuatan
hukum baru atau pencabutan hukum lama oleh Negara harus dijadikan langkah untuk
mencapai tujuan Negara.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
peran politik hukum sebagai kronstruksi awal dalam proses pembuatan peraturan
daerah?
2. Bagaimana
menciptakan legislasi perda yang memenuhi asas dalam Negara kesatuan?
3. Apakah
legislasi perda sudah dinyatakan efektif dalam masyarakat?
C. Tujuan
Penulisan
Makalah ini
dibuat dengan tujuan penulisan sebagai pemenuhuan kewajiban atas tugas
perorangan yang diberikan dalam mata kuliah Politik Hukum. Disamping itu dari
penulisan ini diharapkan dapat menjadikan suatu perhatian dan penambahan
wawasan kita dalam menggali suatu peran politik hukum dalam perda.
D. Sistematika
Penuisan
Pertama,
PENDAHULUAN, Latar Belakang, Rumusan
Masalah, Tujuan Penulisan, Sistematika Penuisan.
Kedua,
PEMERINTAHAN LOKAL, Peristilahan, Bentuk
Pemerintahan Lokal, Asas-asas Penyelengaraan Pemerintah Lokal
Ketiga,
POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN DAERAH, Hukum
(Perda) sebagai Produk Politik, Hampiran Teoritik Pembentukan
Perundang-undangan,
Keempat,
LEGISLASI DAERAH DALAM PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH, Legislasi Perda, dasar-dasar dalam legislasi, Efektivitas
Legislasi
Kelima,
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB
II
PEMERINTAHAN
LOKAL
A. Peristilahan
Keberadaan
Pemerintah Lokal di dalam suatu Negara, khususnya di Indonesia pernah menimbulkan
perdebatan di lingkungan akademis terkait dengan peristilahan. Ada yang mempergunakan
istilah Pemerintah Daerah dan ada
pula yang mempergunakan istilah Pemerintah
Daerah.
Istilah
Pemerintah Daerah, lebih tepat
dipergunakan untuk menyebut satuan pemerintah di bawah pemerintah pusat yang
memiliki wewenang pemerintah sendiri. Konteks dalam UU No.32 tahun 2004 Tentang
Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah
daerah dan DPRD menurut asas otonomi dantugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam system dan prinsip Negara kesatuan Repulik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945.[1]
Istilah
Pemerintah Di Daerah, pernah
dipergunakan di Indonesia
pada waktu dasar penyelenggaraannya mempergunakan UU No.5 tahun 1974 Tentang
Pokok-pokok Pemerintah di Daerah. Istilah ini sebenarnya lebih tepat
dipergunakan untuk menebutkan satuan-satuan organ-organ Pemerintahan Pusat yang
ditempatakna di daerah dalam rangka menyelenggarakan system pemerintahan dalam
arti luas. Oleh sebab itu istilah Pemerintahan
di daerah sebenarnya bukan dalam lingkup pembicaraan mengenai Pemerintah
Daerah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18, Pasal 18 A, dan Pasal 18 B UUD
1945.
Menurut
Bagir Manan Pasal 18 UUD 1945 mengatur mengenai Pemerintah daerah, bukan
Pemerintahan di daerah, karena Pemerintahan di Daerah pada hakikatnya merupakan
unsure tata laksana penyelenggaraan Pemerintah Pusat sebagai cerminan dari
pelaksanaan asas dekonsentrasi.[2]
Dengan
demikian istilah Pemerintahan Daerah itu
mempergunakan untuk menyebut satuan pemerintahan rendah di bawah pemerintahan
Pusat (central Government) yang berwenang untuk menyelenggarakan
pemerintah sendiri (urusan pemerintahan sendiri) denganmempergunakan
organ-organ yang dibentuk sendiri. Jadi istilah Pemerintahan Daerah lebih tepat dipergunakan untuk menyebutkan
kegiatan yang dilakukan oleh daerah Otonom dalam melaksanakan urusan atau
wewenang pemerintahan sendiri.
B.
Bentuk
Pemerintahan Lokal
Berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Amandemen UUD 1945 telah diberikan
garis secara tegas mengenai penyelenggaraan pemerintahan local di Indonesia.
Garis tegas tersebut menyangkut pemberian otonomi yang seluas-luasnya bagi
daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan sendiri, serta pengakuan
kepada daerah-daerah yang bersifat khusus atau istimewa termasuk
kesatuan-kesatuan masyarakat adat asalkan tidak melanggar batas-batas dari
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal
ini berarti setelah amandemen UUD 1945 titik tolak penyelenggaraan pemerintahan
local ditekankan pada otnomi daerah.
Dalam
khasanah teori Hukum Tata Negara dikenal pula adanya dua bentuk penyelenggaraan
pemerintahan di tingkat local. Kedua bentuk pemerintahan tersebut adalah:
1. Pemerintah
Lokal Administratif, yakni satuan-satuan pemerintahan local di bawah
pemerintahan pusat yang semata-mata hanya menyelenggarakan aktifitas
pemerintahan pusat di wilayah-wilayah Negara. Satuan pemerintah local seperti
ini pada hakikatnya hanya merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat.
2. Pemerintah
Lokal Otonom, yakni satuan-satuan pemerintahan local yang berada di bawah
pemerintahan pusat yang berhak dan berwenang menyelenggarakan pemerintahan
sendiri berdasarkan aspirasi masayarakat setempat.
Kedua
bentuk penyelenggaraan Pemerintahan Lokal tersebut di atas (adminstratif dan
otonom) pernah dilakukan secara bersama-sama dalam satu wilayah. Hal ini nampak
jelas ketika politik peundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia
mempergunakan UU No.5 tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Di
dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa di dalam satu wilayah akan terdapat
pemerintahan Daerah Otonom dan Wilayah Administratif.[3]
Menurut
undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah setelah reformasi 1998
dua bentuk penyelenggaraan pemerintahan local tersebut sudah dipisahkan secara
tegas. Baik UU No.22 Tahun 1999 maupun UU No.32 tahun 2004 menegaskan bahwa
Pemerintahan Lokas Otonom hanya dilaksanakan di kabupaten dan Kota, sedangkan
untuk penyelenggaraan pemerintahan local administrative dan otonom dilaksanakan
secara bersama-sama di provinsi yang dalam hal ini dilakukan oleh gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.[4]
Sedangakan
menurut Undang-Undang No.32 tahun 2004 nampak dari ketentuan Pasal 37 ayat (1)
yang menyatakan bahwa Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai
wakil pemerintah di wilayah Provinsi yang bersangkutan.[5]
C.
Asas-asas
Penyelengaraan Pemerintah Lokal
Dalam
rangka penyelenggaraan Pemerintah Lokal dikenal adanya 4 (empat) asas
penyelenggaraan, yaitu:
1. Asas
Sentralisasi.
Yaitu suatu asas pemerintahan yang terpusat,
artinya tidak dikenal adanya penyerahan wewenang atau urusan pemerintahan
kepada bagian-bagian (daerah/wilayah) Negara. Semua kewenangan pemerintahan
baik di tingkat pusat maupun ditingkat local berada di tangan pemerintah pusat,
kalaupun ada kewenangan yang berada di pemerintah lokal, hal itu
semata-mata hanya menjalankan perintah
dari pemerintah pusat.
Pemerintah
Lokal termasuk pejabat-pejabatnya di tingkat local hanya melaksanakan kehendak
atau kebijaksanaan dari pemerintah pusat. Tidak dikenal adanya inisiatif atau
perkara dari pemerintah local.
2. Asas
Desentralisasi
Asas
ini menghendaki dalam penyelenggaraan pemerintah, ada sebagaian wewenang atau
urusan pemerintahan pusat dilimphakan atau diserahkan kepada pemerintah local
untuk diatur dan diurus sendiri sebagai urusan rumah tangga sendiri.
Menurut
Pasal 1 angka 7 Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah,
dinyatakan bahwa desentralisasi adalah peneyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Asas
Dekonsentrasi
Asas
dekonsentrasi pada hakikatnya merupakan bentuk penghalusan dari asas
sentralisasi. Dikatakan demikian, karena di dalam penyelenggaraannya peran dan
kedudukan pemerintah pusat masih sangat mendominasi dalam menentukan asas-asas
(prinsip-prinsip) maupun cara penyelenggaraan urusan pemerintah di tingkat
daerah.
Dalam
pelaksanaan asas dekonsentrasi pemerintah pusat menempatkan pejabat-pejabatnya
di daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintah pusat. Degan demikian, di
dalam asas dekonsentrasi ini yang ditekankan adalah aspek pelimpahan wewenang
dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat yang bertindak
sebagai wakil dan di tempatkan di daerah.
4. Asas
Madebewind.
Asas
medebewind (tugas pembantuan)
merupakan bentuk desentralisasi atau otonomi tidak penuh. Asas ini diperlukan
untuk sarana uju coba kesiapan bagi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan
urusan pemerintah sendiri.
Oleh
sebab itu sebenarnya kebijaksanaan pemekaran daerah yang sering menimbulkan
konflik di tingkat masyarakat dapat dilakukan dengan mempergunakan asas ini
terlebih dahulu. Namun dalam praktek sekarang ini, justru pemekaran daerah
tidak dilalui dengan langkah uji coba melalui asas medebewind, sehingga secara empiris daerah-daerah hasil pemekaran
itu tidak menunjukan kesiapan untuk melaksanakan otonomi penuh. Pemekaran
daerah lebih kental dengan nuansa kepentingan politik.
BAB
III
POLITIK
HUKUM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
A. Hukum
(Perda) sebagai Produk Politik
Negara
Republik Indonesia
merupakan satu-satunya Negara yang berbentuk kepulauan yang di dalamnya
terkandung aspek ideology, politik, ekonomi, social, budaya, pertahanan dan
keamanan. Keseluruhan aspek itu harus disatukan secara intensif demi mencegah
terjadinya disintegrasi daerah.
Negara-negara
yang berciri khas demokrasi konstitusional, undang-undang memiliki fungsi
membatasi kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak
bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, hak-hak warga Negara lebih
terlindungi.[6]
Oleh sebab itu
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kebijakan Peraturan Daerah tidak
semata-mata mengekor dinamika pembangunan dan pengembangan suatu daerah tetapi
juga mengatur seta membatasi ruang gerak pemerintah daerah agar tidak melakukan
tindakan semena-mena kepada rakyat.
Berdasarkan
hal di atas, maka diperlukan politik hukum yang baik pengertian politik hukum
adalah arah kebijakan (legal policy)
yang dibuat resmi oleh negara, mengenai hukum apakah yang akan diperlukan untuk mencapai tujuan Negara.
Dalam arti sempit, hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan Negara sehingga
pembuatan hukum baru atau pencabutan hukum lama oleh Negara harus dijadikan
langkah untuk mencapai tujuan Negara.[7]
Politik
hukum sangat erat kaitannya dengan penggunaan kekuasaan di dalam mengatur
Negara, bangsa dan rakyat. Dikaitkan dengan politik hukum di daerah, maka
politik hukum sesungguhnya diejawantahkan dalam nuansa kehidupan bersama pada
masyarakat daerah.
Maka
politik hukum di daerah harus terwujud dalam sluruh jenis perda. Hal tersebut
ditujukan agar terjadi kepastian hukum dalam pelaksanaan yang dilakukan oleh
seluruh elemen masyarakat di daerah.
B. Hampiran
Teoritik Pembentukan Perundang-undangan
Menurut tujuan
teori hukum Timur, umumnya hanya menekankan pada tujuan hukum yaitu keadilan
dan keharmonisan adalah kedamaian[8].
Maka bangsa Indonesia
seharusnya melakukan perubahan dalam
menentukan peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada kultur
masyarakat.
Dengan demikian,
teori yang dijadikan pisau analisis dalam pembentukan politik peraturan daerah
adalah teori sebagai berikut:
1. Teori
Politik Hukum
Politik
berasal dari kata Polis
dan City yang berarti kota dan masyarakat. Politik selalu
berkolerasi dengan hukum sebagaimana disampaikan Meinzen dan Pradhan bahwa
terdapat koeksistensi dan kointerasi antara tata hokum, yang mengakibatkan
ketidakpastian.[9]
Senada
juga A. Latief Fariqun mengatakan politik hukum adalah kebijakan Negara di
bidang hukum yang telah, sedang dan akan berlaku yang bersumber dari
nilai-nilai dalam masyarakat untuk mencapai tujuan bersama dalam kehidupan
Negara yang mencakup kebijakan terhadap hukum tidak tertulis, isi hukum,
penerapan dan penegakan hukum.[10]
Secara
sosiologi, politik hokum dipengaruhi corak dan tingkat perkembangan masyarakat.
Politik hokum pada masyarakat yang relative homogeny di bidang politik, ekonomi
dan social budaya seharusnya berbeda dengan politik hokum pada masyarakat
majemuk yang didalamnya terdapat politik hokum yang serba menyamakan sehingga
menimbulkan masalah politik, ekonomi, maupun social.
2. Teori
Pembengtukan Praturan Perundang-undangan
Pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik dan mudah diterapkan di masyarakat
merupakan salah satu pilar utama bagi penyelenggaraan suatu Negara. Jika kita
membicarakan Ilmu Perundang-undangan, maka membahas pula proses pembentukan
membentuk peraturan Negara, dan sekaligus seluruh peraturan Negara yang
merupakan hasil dari pembentukan peraturan-peraturan Negara, baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah.[11]
Peraturan
perundang-undangan yang baik, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Landasan
Filosofis (Filosofische grondslag)
Satuan rumusan peraturan
perundang-undangan harus mendapatkan pembenaran (rechtvaardiging) yang dapat diterima jika dikaji secara filosofis.
Pembenaran itu harus sesuai dengan cita-cita kebenaran (idea der waarheid), dan cita-cita keadilan (idée der gerechtigheid), dan cita-cita kesusilaan (idée der zedelijkheid).
2. Landasan
Sosilogis (sosiologische grondslag)
Suatu peraturan
perundang-undangan harus sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.
Oleh karena itu, hokum yang dibentuk harus sesuai dengan hokum yang hidup (living law) di masyarakat.
3. Landasan
Yuridis (rechtsgrond)
Suatu peraturan
perundang-undangan harus mempunyai landasan hokum atau dasar hokum atau
legalitas yang terdapat dalam ketentuan lain yang kebih tinggi. Landasan
yuridis dapat dibedakan menjadi dua sebagai berikut:
(i)
Landasan yuridis yang beraspek formal berupa ketentuan yang
memberikan wewenang (bevoegdheid)
kepada suatu lembaga untuk membentuknya, dan
(ii)
Landasan yuridis yang
beraspek material berupa ketentuan tentang masalah atau persoalan yang harus
diatur.
4. Landasan
Politis, Ekologis, Medis, Ekonomis, dan lain-lain menyesuaikan dengan jenis
atau objek yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.
BAB IV
LEGISLASI DAERAH DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
A.
Legislasi
Perda
UUD
NKRI 1945 menunjukan bahwa, Indonesia, merupakan suatu Negara keasatuan (Unitary State), pluralitas kondisi local
baik ditinjau dari adat istiadat, kapasitas pemerintahan daerah, suasana demokrasi
local, dan latar belakang pembentukan daerah masing-masing mengharuskan
ditetapkannya kebajikan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan.
Keputusan
politik untuk memberikan otonomi yang lebih luas kepada daerah telah memberikan
perubahan yang signifikan terhadap system pemerintahan Indonesia pada
umumnya dan khususnya pemerintaha
daerah.
Desentralisasi
dalam teori dan praktiknya lebih memberikan kebebasan dan kemandirian kepada
masyarakat daerah di dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan,
terutama terhadap kepentingan masyarakat daerah. Adakalanya, makna
desentralisai menjadi alasan kokoh dalam membentuk suatu perda yang tidak
memenuhi rasa keadilan di dalam masyarakat (tidak ideal). Sedangkan tujuan
pemberian otonomi daerah adalah untuk meningkatkan peran dan fungsi badan
legislative daerah, memberdayakan, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas
masyarakat.
Apabila
terdapat perbedaan antara sentralisasi dan desentralisasi yang diungkapkan
dalam Negara kesatuan, maka perbedaan ini dapat disajikan semata dari sudut
pandang lingkup wilayah keabsahan norma-norma yang membentuk tatanan hukum
nasional.[12]
Menurut Hans
Kelsen, desentralisasi murni terjadi jika tidak adanya norma-norma yang berlaku
untuk seluruh wilayah 9tidak adanya norma positif yang berlaku untuk seluruh
wilayah, namun terdapat grund norm yang
dicita-citakan berlaku untyk seluruh wilayah).
Sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 136 UU No, 32 tahun 2004, bahwa perda dibentuk dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dantugas
pembantuan. Tahapan perencanaan pembentukan perda dimulai dengan program
Legislasi Daerah (Prolegda) yang
bertujuan mendisain perda secara terencana, bertahap, terarah, dan terpadu.
Program
pembangunan peraturan perundang-undangan daerah perlu menjadi prioritas karena
perubahan terhadap Undang-undang tentang pemerintahan daerah dan berbagai
peraturan perundangan lainnya serta dinamika masyarakat dan pembangunan daerah
menuntut pula adanya penataan system
hokum dan kerangka hokum yang melandasinya.
B.
Dasar-Dasar
dalam Legislasi
1.
Politik
dalam Legislasi
Pada say ini, teori politik modern terbagi atas
teori demokrasi elitis dan teori demokrasi partisipatif. Menurut pandangan
teori demokrasi elitis, suatu masyarakat dibentuk oleh kekuatan-kekuatan yang
impersonal.
Penekanan utama ilmuwan Harold Lasswell yaitu adanya
fungsi manipulatif dan kemampuan para elit. Pandangan teori demokrasi elitis,
berbeda dengan pemikiran John Dewey (pengaut teori demokratis partisipatif)
yang menyatakan bahwa keberadaan suatu masyarakat demokrasi tergantung pada
consensus sosial dengan pandangan pada perkembangan manusia yang didasarkan
atas kebebasan, persamaan, dan partisipasi politik.
Untuk memahami demokrasi, tidak cukup hanya menyimak
teks-teks normative yang tertera dalam peraturan perundang-undangan saja
melainkan harus berorientasi pada fakta. Ilmu hukum tidak pernah menjadi ilmu
sosial murni karena hukum dapat berasal dari sollen sein dan sein
sollen. Pada prinsipnya, hukum selalu mengandung aspek cita dan realita.
Dengan
2.
Konfigurasi
Politik Hukum
Dalam bahasa Arab, terminology politik disebut
dengan siyasyah yang kemudian diterjemahkan menjadi siasat namun secara
etimologis istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Belanda, yaitu rech
dan politiek. Istilah ini seharusnya tidak dicampuradukkan dengan politiekrecht
(pemikiran Hence van Maarseveen).[13]
Dengan politik terdapat huungan khusus antara
manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan, kewenangan,
kelakuan pejabat, legalitas keabsahan, dan kekuasaan.[14]
Seacara konseptual, konfigurasi politik yang berlaku
dan dianut oleh suatu Negara dapat ditelaah secara dikotomis yaitu konfigurasi
politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.[15]
Pada Negara demokratis, proses legislasi mengarah
pada konfigurasi politik demokratis yaitu suatu susunan kekuatan politik yang
membuka peluang bagi potensi rakyat secara maksimal untuk berpartisipasi dalam
menentukan kebijakan Negara. Adanya interaksi politik dalam ranah legislasi
selalu menimbulkan pertentangan individual. Proses legislasi untuk menjadikan
hukum positif, faktanya merupakan proses yang sarat dengan berbagai
muatan,nilai dan kepentingan para actor.[16]
Menurut Eugen eurlich menyatakan bahwa hukum positif
akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila selaras dengan hukum yang
berada di dalam masyarakat. Semntara Talcott Parsons yang mengemukakan teori
structural fungsional bahwa masyarakat harus dianggap sebagai suatu system yang
terdiri atas bagian berkaitan dan mempengaruhi.
3.
Kearifan
Lokal Dalam Suatu Perda
Inti permasalahan dari proses legislasi suatu perda
yaitu tidak mengikutsertakan peran serta masyarakat dalam membentuk peraturan
tersebut. Dalam kaitan ini, manusia adalah komponen makhluk hidup yang paling
sentral dan krusial, karena manusia adalah bagian dari unsure makhluk hidup
yang paling sempurna jika dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain.[17]
Cermin dari kearifan lingkungan masyarakat secara konkrit terkristalisasi dalam
produk hukum masyarakat.
C. Efektivitas
Legislasi
Terdapat beberapa perubahan dalam proses legislasi
di parlemen sebagai konsekuensi dari
amandemen UUD serta lahirnya beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan proses legislasi. Dapat dijelaskan dengan keberadaan DPD yang bertujuan
untuk lebih mengakomodasi kepentingan daerah di parlemen. Kehadiran DPD telah
mengubah pola proses legislasi yang selama ini didominasi oleh Dewan Perwakilan
rakyat dan pemerintah.[18]
Istilah legislasi berasal dari bahasa Inggris (legislation).
Dalam khasanah ilmu hukum, legislasi mengandung makna dikotomi yang
memiliki makna proses pembentukan hukum atau produk hukum.[19]
Legislasi dapat juga diartikan sebagai pembuatan Undang-undang.[20]
Legislasi sebagai asumsi dasar melahirkan hukum
posistif (in abstracto) akan sesuai dan selalu dipengaruhi oleh
konfigurasi politik tertentu yang berinteraksi dalam proses legislasi tersebut.
Secara konseptual, konfigurasi politik yang berlaku dan dianut oleh suatu
Negara dapat ditelaah secara dikotomis, yaitu konfigurasi politik demokrasi dan
konfigurasi politik otoriter.
Jika konfigurasi politik yang dianut oleh suatu
Negara demokratis, maka dalam proses legislasinya akan demokratis karena
konfigurasi partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam
masyarakat. Sedangkan konfigurasi politik yang dianut Negara otoriter, maka
peranan dan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi relative kecil Karena
proses legislasi indentik dengan intervensi politik.
Inti legislasi terdiri atas dua golongan besar yaitu
tahap sosiologis (sosio-politis) dan tahap yuridis. Dalam tahap sosiologis
berlangsung proses-proses untuk menantang suatu gagasan, isu, dan/atau masalah
yang selanjutnya akan dibawa ke dalam agenda yuridis.
Legislasi tidak sekedar suatu kegiatan dalam
merumuskan norma-norma ke dalam teks-teks hukum yang dilakukan oleh sekelompok
orang yang memiliki kewenangan dalam perumusan tersebut, namun jangkauannya
melintas hingga pergaulan dan interaksi kekuatan sosial politik yang melingkupi
dan berada di sekitarnya.
Plato mengatakan bahwa legislasi dan pembentukan
tatanan politik merupakan sarana paling sempurna di dunia ini untuk mencapai
kebaikan. Sedangkan menurut Burkhardt Krems, ilmu pengetahuan
perundang-undangan sebagai disiplin ilmu yang relative baru (merupakan ilmu
yang interdisipliner yang berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi).
Lebih lanjut Eugen Ehrlich sebagai pelopor aliran sociological
jurisprudence menyatakan bahwa hukum positif dapat memiliki daya berlaku
yang efektif jika selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the
living law) dan mereka yang berperan sebagai pihak yang mengembangkan hukum
harus memiliki hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam
masyarakat bersangkutan.[21]
Mengkaji legislasi dalam ranah ilmu
perundang-undangan haruslah menerima suatu kenyataan biarpun legilasi
berpedoman pada hukum, pada dasarnya merupakan pencerminan dan determinasi (hal
menentukan, hal menetapkan, hal memastikan, ketetapan hati) dari proses yang
terjadi dalam kehidupan sosial politik.
Fakta legislasi demikian dikarenakan orga yang
memiliki kewenangan untuk membentuk hukum tersebut merupakan lembaga politik.
Setiap legislasi selalu dipengaruhi oleh interaksi politik tertentu yang tengah
berlangsung di Negara dimana legislasi tersebut dilangsungkan.berdasarkan
system demokrasi, pembentukan perda harus berdasarkan asas keterbukaan.
Semenjak otonomi daerah diimplementasikan, eksistensi perda sebagai salah satu
sarana legal atas kebijakan daerah merupakan salah satu isu sentral dan
serigkali perda bertentangan dengan kepentingan umum.
BAB V
KESIMPULAN
Politik
hukum sangat erat kaitannya dengan penggunaan kekuasaan di dalam mengatur
Negara, bangsa dan rakyat. Dikaitkan dengan politik hukum di daerah, maka
politik hukum sesungguhnya diejawantahkan dalam nuansa kehidupan bersama pada
masyarakat daerah.
Maka
politik hukum di daerah harus terwujud dalam sluruh jenis perda. Hal tersebut
ditujukan agar terjadi kepastian hukum dalam pelaksanaan yang dilakukan oleh
seluruh elemen masyarakat di daerah.
Implikasi
dari pembentukan perda yang baik akan berdampak pada meningkatnya investasi di
daerah-daerah. Proses perencanaan yang baik akan menghasilkan perda yang baik
pula. Dalam studi ilmu dan teori perundang-undangan, terdapat 4 (empat) syarat
bagi peraturan perundang-undangan (termasuk perda) yang baik, yaitu yuridis,
sosiologis, folosofis, dan teknik perencanaan peraturan perundang-undangan yang
baik.
Adapun
teknik perencangan peratuiran perundang-undangan yang baik itu harus memenuhi
ketepatan struktur, ketetapan pertimbangan, ketetapan dasar hukum, ketepatan
bahasa, ketepatan dalam pemakaian huruf dan tanda baca.
Selain
keempat syarat tersebut, pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik juga
harus memperhatikan asas-asas formal dan material.
DAFTAR
PUSTAKA
UU No.32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
Bagir Manan, 1993, Perjalanan
Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-undang Pelaksananya), Unsika,
Karawang
UU No. 5 tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum
Tata Negara Indonesia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta,
2009, hal183-184
Dahlan Thaib, Teoru Hukum
Konstitusi
Mahfud MD, Perdebatan Hukum
Tata Negara Pasca Amanemen Konstitusi
Achmad Ali, Menguak Teori
Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicilapruence)
Jazim Hamidi, Meneropong
Legislasi di Daerah
A. Latief Fariqun, Pengakuan
Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Suberdaya Alam Dalam Politik Hukum Nasional
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu
Prundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni
Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif
Inu Kencana Syafiie dan Azhari, Sistem Politik Indonesia
Imam Syaukani, dkk, dasar-Dasar Politik Hukum, hal
Anis Ibrahim, Legislasi Dan Demokrasi
Rachmad Syafa’at, dkk, Negara, masyarakat Adat dan kearifan Lokal,
Tim Reality, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa
dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,
[1] Pasal 1 angka 2 UU No.32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
[2] Bagir Manan, 1993, Perjalanan
Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-undang Pelaksananya), Unsika,
Karawang, hal.35
[3] Penjelasan umum UU No. 5 tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah
[4] B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum
Tata Negara Indonesia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta,
2009, hal183-184.
[5] Undang-Undang No. 32 tahun 2004
[6] Dahlan Thaib, Teoru Hukum
Konstitusi, hal. 19
[7] Mahfud MD, Perdebatan Hukum
Tata Negara Pasca Amanemen Konstitusi, hal.48
[8] Achmad Ali, Menguak Teori
Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicilapruence), hal.212-213
[9] Jazim Hamidi, Meneropong
Legislasi di Daerah, hal. 10.
[10] A. Latief Fariqun, Pengakuan
Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Suberdaya Alam Dalam Politik Hukum Nasional
[11] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu
Prundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Hal.1
[12] Hans Kelsen, Teori Hukum
Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, hal. 326.347
[13] Imam Syaukani, dkk, dasar-Dasar Politik Hukum, hal. 19
[14] Inu Kencana Syafiie dan Azhari, Sistem Politik Indonesia, hal.6
[15] Anis Ibrahim, Legislasi Dan Demokrasi, hal.2
[16] Ibid, hal. 7
[17] Rachmad Syafa’at, dkk, Negara, masyarakat Adat dan kearifan
Lokal, hal. 4
[18] Ibid, hal. 11
[19] Anis Ibrahim, Legislasi Dan Demokrasi, hal.1
[20] Tim Reality, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia, hal. 414.
[21] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa
dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,
Hal 128-130.