Kamis, 10 Januari 2013

KEDUDUKAN TAP MPR DALAM TATA SUSUNAN HIERARKI PERUNDANG-UNDANGAN PASCA LAHIRNYA UU NO. NO.12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN (TINJAUAN POLITIK HUKUM DAN SOSIOLOGI)



KEDUDUKAN TAP MPR DALAM TATA SUSUNAN HIERARKI PERUNDANG-UNDANGAN PASCA LAHIRNYA UU NO. NO.12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN
(TINJAUAN POLITIK HUKUM DAN SOSIOLOGI)

A.    Pendahuluan
a.       Latar Belakang
b.      Rumusan Masalah
c.       Tujuan Penulisan
d.      Sitematika Penulisan
B.     Tinjauan Teoritis tentang Norma Dalam Hukum Negara
a.       Pengertian Norma
b.      Statika dan dinamika system Norma
c.       Dinamika norma Hukum Vertikal dan Horizontal
d.      Hierarki Norma Hukum (Stufentheorie Kelsen)
C.     TAP MPR Dalam Tata Susunan Hierarki Dalam Tata Perundangundangan
a.       Pengertian Pembentukan Perundang-undangan
b.      Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
c.       Kedudukan Tap MPR dalam Hierarki Peundang-undangan
D.    Analisis
  1. Aspek Sosiologis Terhadap Kembalinya Kedudukan Tap Mpr Dalam Hierarki Perundang-Undangan
b.      Kewenangan MK dalam Menguji TAP MPR
E.     Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Apabila kita melihat dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, maka terlihat bahwa Negara Republik Indonesia yang berdiri tanggal 17 Agustus 1945 adalah Negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat) dalam arti Negara pengurus (erzorgingsstaat). Hal ini tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 aline ke-4 yang berbunyi sebagai berikut:
            “….untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan kedilan social…”
            Dengan diembannya tugas Negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan umum tersebut, maka menjadi pentinglah arti pembentukan peraturan-peraturan Negara kita, karena campur tangan Negara dalam mengurusi kesejahteraan rakyat dalam bidang hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya, lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan yang diselenggarakan dengan pembentukan peraturan-peraturan Negara tak mungkin lagi dihindari. Oleh karena itu, terasa makin pentingnya fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan, yang secara lambat namun pasti mendoroong pada usaha pengembangan ilmu perundang-undangan.
            Pendapat T. Koopmans yang dikutip oleh Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H, dalam bukun Ilmu Perudang-undangan, menyebutkan :”Fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan itu semakin terasa diperlukan kehadirannya karena di dalam Negara yang berdasar atas hukum modern (verzorgingsstaat), tujuan utama pembentukan undang-undang bukan lagi menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, melainkan menciptakan modifikasi atau perubahan dalam kehidupan masyarakat.
            Munculnya kembali TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan pasca lahirnya UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menimbulkan berbagai pertanyaan, mengenai kedudukan kembali TAP MPR.

B.     Rumusan Masalah
Untuk membatasi kajian dalam penulisan ini, maka penulis mematasi dalam ranah atau rung lingkup kajian dengan melihat pada pokok permasalahan yaitu:
    1. Apa yang menjadi factor dari Aspek Sosiologis Terhadap Kembalinya Kedudukan Tap Mpr Dalam Hierarki Perundang-Undangan?
    2. Adakah Kewenangan MK dalam Menguji TAP MPR?

C.     Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dalam hal ini di antaranya sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui aspek Sosiologi dari munjulnya Kembali TAP MPR dalam hierarki Perundang-undangan;
2.      Memberikan pemahaman kembali fungsi TAP MPR dalam Sinstem Norma Hukum;
3.      Memahami kedudukan TAP MPR diantara peraturan Perundang-undangan yang lain.
D.    Sistematika Penulisan
Pertama, Pendahuluan yang beriksikan Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Sitematika Penulisan.
Bab Kedua, menyajikan Tinjauan Teoritis tentang Norma Dalam Hukum Negara,Pengertian Norma, Statika dan dinamika system Norma, Dinamika norma Hukum Vertikal dan Horizontal, Hierarki Norma Hukum (Stufentheorie Kelsen)
Bab ketiga, TAP MPR Dalam Tata Susunan Hierarki Dalam Tata Perundangundangan, Pengertian Pembentukan Perundang-undangan, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Kedudukan Tap MPR dalam Hierarki Perundang
Bab keempat, Analisis, Aspek Sosiologis Terhadap Kembalinya Kedudukan Tap Mpr Dalam Hierarki Perundang-Undangan, Kewenangan MK dalam Menguji TAP MPR
Daftra Pustaka
BAB II
Tinjauan Teoritis tentang Norma Dalam Hukum Negara

A.    Pengertian Norma
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Istilah norma, yang bersal dari bahasa Latin, atau kaidah dalam bahsa Arab, dan sering juga disebut dengan Pedoman, Patokan, atau Aturan dalam bahasa Indonesia,mula-mula diartikan dengan siku-siku, yaitu garis tegak lurus yang menjadi ukuran atau patokan untuk membentuk suatu sudut atau garis yang dikehendaki.[1] Dalam perkembangannya, norma itu diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat. Jadi, inti suatu norma adalah segala ukuran yang harus dipatuhi.
      Suatu norma itu  baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma itu pada dasarnya mengatur tata cara bertingkah laku seseorang terhadap orang lain, atau terhadap lingkungannya. Setiap norma itu mengandung suruhan sruhan (penyuruhan-penyuruhan) yang di dalam bahasa asingny sering disebut dengan das Sollen (Ought to be / ought to do).[2]
     
B.     Statika dan dinamika system Norma
Di dalam bukunya yang berjudul General Theory of Law and State, Hans Kelsen mengemukakan adanya dua system norma, yaitu system norma yang static (nomostatics) dan system norma yang dinamik (nomodynamics).
Statika system norma (nomostatics) adalah suatu system yang melihat pada “isi” suatu norma, di mana suatu norma umum dapat ditarik menjadi norma-norma khusus, atau norma-norma khusus itu dapat ditarik dari suatu norma yang umum. Penarikan norma-norma yang khusus dari suatu norma umum, dalam arti norma umum itu dirinci menjadi norm-norma yang khusus dari segi “isi”nya.’]’’
Sistem norma yang dinamik (nomodynamics) adalah suatu system norma yang melihat pada berlakunya suatu norma atau dari cara pembentukannya dan penghapusannya.
Di dalam bukunya “General Theory of Law and State” Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarkis, di mana norma yang bawah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya “regressus” ini berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar (Grundnorm) yang tidak dapat kita telusuri lagi siapa pembentuknya atau dari mana asalnya.
Norma dasar atau sering disebut Grunnorm, basic norm, atau fundamentalnorm ini merupakan norma yang tertinggi yang berlakunya tidak berdasar atau tidak bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi tetapi berlakunya secara presupposed, yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat.
Dikatakan bahwa norma dasar ini berlakunya tidak berdasar dan tidak bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, karena apabila norma itu berlakuny masih berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, maka itu bukan merupakan norma yang tertinggi. (Gambar)
Dikatakan pula oleh Hans Kelsen “mengatakan bahwa hukum termasuk dalam system norma yang dinamik (nomodynamics) karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuknya, sehingga dalam hal ini tidak kita lihat dari segi isi norma tersebut, tetapi dari segi berlakunya atau pebentukanya”.
 Hukum itu adalah sah (valid) apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya dan berdasrkan norma yang lebih tinggi sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi (superior), dan hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapislapis membentuk suatu hierarki.

C.    Dinamika norma Hukum Vertikan dan Horizontal
Dinamika suatu norma hukum dapat kita bedakan menjadi dua, yaitu dinamika norma hukum yang vertical dan dinamika hukum yang horizontal.
Pertama, dinamika norma hukum  yang vertical adalah “dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah, atau dari bawah ke atas: dalam dinamika yang vertical ini suatu norma hukum itu berlaku, berdasar, bersumber pada norma hukum di atasnya, norma hokum yang berada di atasnya berlaku, berdasar, bersumber pada norma hokum yang di atasnya lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma hokum yang menjadi dasar semua norma hukum yang di bawahnya.
Kedua, dinamika norma hukum yang horizontal adalah “suatu norma hukum itu bergeraknya tidak ke atas atau ke bawah, tetapi kesamping. Dinamika norma hukum yang horizontal ini tidak membentuk suatu norma hukum yang baru, tetapi norma itu bergerak ke samping karena adanya suatu analogi, yaitu penarikan suatu norma hukum untuk kejadian-kejadian lainnya yang dianggap serupa.
   
D.    Norma Hukum Dalam Negara
a.      Heirarki norma hukum (Stufentheorie Kelsen)
Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teoriya mengenai jenjang norma hokum (stufentheorie), di mana ia (Kelsen) berpendapat bahwa norma-norma hokum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku,bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu norma Dasar (Grundnorm).
            Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz).
            Menurut Adolf Merkl, suatu norma itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (Rechtskracht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga apabila norma hukum berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada dibawahnya tercabut atau terhapus pula.
            Bedasarkan teori Adolf Merkl tersebut, dalam teori jenjang normanya Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu berdasar dan bersumber pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya.
            Dalam tata susunan/hierarki system norma, norma yang tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya sehingga apabila norma Dasar itu berubah, maka akan menjadi rusaklah system norma yang berada di bawahnya.

b.      Tata Susunan Norma Hukum Negara
Hans Hawiasky, selah seorang murid dari Hans Kelsen, mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu Negara. Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul Allgemeine Rechtslehre mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen suatu norma hokum dari Negara mana pun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, di mana noram yang di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi,  norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma Dasar.
Tetapi Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu Negara itu juga berkelmpok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu Negara itu menjadi empat kelompok besar terdiri atas :
            Kelompok I     : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
            Kelompok II   : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara)
            Kelompok III  : Formell Gesetz (Undang-undang “Formal”)
            Kelompok IV  : Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana & aturan otonom)
           
            Menurut Hans Nawiasky, isi Staatfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar suatu Negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahnya. Hakikat suatu Staatfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang Dasar. Ia ada terlebih sebelum          adanya konstitusi, atau undang-undang dasar. Konstitusi menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau consensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (ein Gesammtenscheidung uber Art und Form einer politischen Eintheit), yang disepakati oleh suatu bangsa.

BAB III
TAP MPR DALAM TATA SUSUNAN HIERARKI
DALAM TATA PERUNDANG-UNDANGAN

A.    Pengertian Pembentukan Perundang-undangan
Istilah “perundang-undangan” (Legislation, wetgeving, atau Gesatzgebung) mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu:[3]
1.      Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan Negara, baik di tingkat Pusat, maupun di tingkat Daerah.
2.      Perundang-undangan adalah segala peraturan Negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.
Dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Pembuatan Undang-undang, menyenbutkan tentang pengertian Peraturan Perundang-undangan pada Bab I pasal 1 angka 2 yaitu “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan terulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.[4]
Sementara itu Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Pembentukan Perundang-undangan menyebutkan dalam Bab I angka 2 bahwa “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”.[5]
Ketika kita membicarakan menganai Peraturan Perundang-undangan, tentunya kita akan melakukan terhadap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan dapat diartikan Proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.[6]
Di dalam pengertian lain menyebutkan “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan[7].

B.     Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Upaya pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang diatur di dalam UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penetapan asas yang perlu letakkan pada Perundang-udangan disebutkan pada Pasal 5, yaitu
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Adapun menganai apa yang dimaksud dari asas-asas yang tertuang di dalam Pasal 5, adalah sebagai berikut
Pertama, Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Kedua, Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” adalahbahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
            Ketiga, Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan”
adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar
Keempat, Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Kelima, Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Keenam, Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Ketujuh, Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sementara itu di dalam Peraturan-perundang-undang ditur pula mengenai materi muatan yang tentunya harus mencerminkan suatu asas-asas seperti yang tertuang dipasal sebelumnya. Adapun mengenai materi muatan tersebut yaitu diatur dalam UU No.12 tahun 2011 Pasal 6, yang menyebutkan sebagai berikut ;
(1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
      Adapun apa yang deimaksud dari setiap matermuatan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
      Pertama, Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
      Kedua,  Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
      Ketiga, Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
      Keempat, Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
      Kelima, Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
      Keenam, Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
      Ketujuh, Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
      Kedelapan, Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
      Kesembilan,Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
      Kesepuluh,Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
     Pada pasal 6 ayat (2) disebutkan Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan”, antara lain:
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

C.    Kedudukan Tap MPR dalam Hierarki Perundang-undangan
Mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, adalah merupan suatu nilai yang penting, yang diharapkan setiap proses awal hingga selesainya suatu rancangan perundag-undngan dapat dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat secara umum, serta memiliki nilai “esensial of law”.
Mengenai hierarki perundang-undang telah diatur sebelumnya di dalam UU N0.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu terdapat pada pasal 7 ayat (1), yang menyebutkan :
Jenis hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a.       Undang-undang Dasar Negara Rpublik Indonesia Tahun 1945;
b.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c.        Peraturan Pemerintah;
d.      Peraturan Presiden;
e.       Peraturan Daerah.
Pada hierarki yang terdapat pada UU No.10 tahun 2004 tersebut, terlihat bahwa tidak dikutsertakannya TAP MPR dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang ini pada dasarnya dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, serta untuk memenuhi perintah Pasal 22 A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Setelah munculnya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam hierarki peraturan perundang-undangan tertuang pada pasal 7 ayat (1),  Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pada pasa7 ayat (2)nya menebutkan tentang kekuatan hokum dari tingkatan peraturan-perundang-undangan tersebut “ Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
Adanya perbedaan dalam tingkat hierarki perundang-undangan terlihat pada dimaksukkannya kembali TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan, di mana pada UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, TAP MPR tidak termasuk di dalam tingkatan atau hierarki perundang-undangan.
Keberadaan kembali TAP MPR di dalam hierarki perundang-undangan seperti yang tertuang pada  No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pasal 7 ayat (1), tentunya menjadi hal yang penting,  Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.[8]

BAB IV
ANALISIS


A.      ASPEK SOSIOLOGIS TERHADAP KEMBALINYA KEDUDUKAN TAP MPR DALAM HIERARKI PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hokum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan
semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam angkamengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Undang-Undang ini (UU No12 tahun 2011 tenntang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan  merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu antara lain:
a.       materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;
b.       teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
c.       terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan; dan
d.      penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.
Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam Undang-Undang ini, yaitu antara lain:
a.       penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
c.        pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.      pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
e.       pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundangundangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
f.       penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang ini.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, atau disingkat Ketetapan MPR atau TAP MPR, adalah bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking).Pada masa sebelum Perubahan (Amandemen) UUD 1945, Ketetapan MPR merupakan Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang. Pada masa awal reformasi, ketetapan MPR tidak lagi termasuk urutan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Namun pada tahun 2011, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Tap MPR kembali menjadi Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945. Pimpinan MPR sempat menyatakan bahwa kembali berlakunya Tap MPR pun tidak serta-merta mengembalikan posisi MPR seperti kondisi sebelumnya, dikarenakan pada era reformasi pembuatan Tap MPR baru tidak akan seperti masa yang sebelumnya, mengingat peran pembuatan Undang-Undang (legislatif) pada era reformasi diserahkan sepenuhnya kepada Presiden dan DPR. Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya (seperti Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK).
Dikeluarkannya atau tidak dimasukkannya Tap MPR sebagai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut tidak banyak diperdebatkan, meskipun sangat esensial bagi tertip dan kehidupan hukum di Indonesia. Soal tata susunan (hierarki) norma hukum sangat berpengaruh pada kehidupan hukum suatu negara, apalagi bagi negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum. Susunan norma hukum dari negara manapun juga –termasuk Indonesia—selalu berlapis-lapis atau berjenjang. Sejak Indonesia merdeka dan ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi, maka sekaligus terbentuk pula sistem norma hukum negara Indonesia. Dalam kaitannya dengan sistem norma hukum di Indonesia itu, maka Tap MPR merupakan salah satu norma hukum yang secara hirakhis kedudukannya dibawah UUD 1945.
Meskipun secara hirakhir Tap MPR berada dibawah UUD 1945, namun Tap MPR selain masih bersifat umum dan garis besar dan belum dilekatkan oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Kemudian baik UUD 1945 maupun Tap MPR dibuat atau ditetapkan oleh lembaga yang sama, yakni MPR. Dalam hubungan ini keberadaan Tap MPR setingkat lebih rendah dari UUD 1945 pada dasarnnya bisa dipahami dengan mengedepankan fungsi-fungsi yang dimiliki MPR. Dalam konteksnya dengan sistem norma hukum Indonesia tersebut, berdasarkan TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 dalam lampiran II-nya Tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebagai berikut; UUD 1945 Ketetapan MPR Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden Peraturan Pelaksana lainnya; seperti Peraturan Menteri, Instruksi Mentri dan lain-lainnya. Demikian pula halnya setelah reformasi dan setelah UUD 1945, Tap MPR tetap ditempatkan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya dibawah UUD 1945, walaupun ada perubahan atas jenis peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana ddituangkan dalam TAP MPR No III/MPR/2000 yang menyebutkan tata urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut; UUD 1945 Ketetapan MPR Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Dari kedua TAP MPR tersebut terlihat, bahwa jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan TAP MPR tetap dipandang sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang penting .
 Tetapi entah kenapa, keberadaan Tap MPR “dihilangkan” atau dikeluarkan dari jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di dalam UU No 10 Tahun 2004. Dalam hubungan ini, UU No 10 Tahun 2004 menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut; UUD 1945 UU/Peraturan Pemerinta Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Tidak jelas apa yang menjadi pertimbangan dari pembentuk UU No 10 Tahun 2004 tidak memasukkan Tap MPR sebagai salah jenis peraturan perundang-undangan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Dari sisi yuridis tentu kebijakan dari pembentuk UU No 10 Tahun 2004 tentulah suatu kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip norma hukum yang berjenjang, artinya ketentuan UU No 10 Tahun 2004 itu bertentangan dengan Tap MPR No III/MPR/2000 yang berkedudukan lebih tinggi dari UU No 10 Tahun 2004. Tetapi yang pasti pembentukkan UU No 10 Tahun 2004 tersebut sepertinya mengabaikan keberadaan Tap MPR No.III/MPR/2000, dimana dalam konsideran UU No 1o Tahun 2004 tidak disebut-sebut TAP MPR No III/MPR/2000 sebagai salah satu dasar dari pembentukan UU No. 10 Tahun 2004. Tetapi anehnya dalam Penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan UU No 10 Tahun 2004 itu guna memenuhi perintah ketentuan Pasal 6 tap MPR No III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Tertip Hukum.
Disisi lain, apa yang terjadi pada pembentukkan UU No 10 Tahun 2004 yang mengeluarkan Tap MPR dari tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah ditetapkan dalam Tap MPRNo.III/MPR/2000 jelas memperlihatkan adanya ketidak-konsistenan pembentuk UU dalam membentuk suatu UU dengan memperhatikan ketentuan yang sudah ada, apalagi berupa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dari UU. Kekeliruan mengeluarkan Tap MPR dari jenis dan tata susunan peraturan perundang-undangan sejak diundangkannya UU No 10 Tahun 2004 itu akhirnya disadari pembentuk UU. Hal ini ditandai dengan di undangkannya UU No 12 Tahun 2011 yang diundangkan tanggal 12 Agustus 2011 lalu yang memaksukannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Meskipun UU No 12 Tahun 2011 dalam pertimbangannya menyebutkan dalam konsideran adanya kekurangan pada UU No 10 Tahun 2004, namun sebenarnya lebih tepat kalau disebut adanya kekeliruan dalam menyusun dan membentuk UU No 1o Tahun 2004, khususnya berkaitan dengan dikeluarkannya Tap MPR sebagai salah satu jenis dan dari susunan peraturan perundang-undangan. Dalam hubungan ini UU No 12 Tahun 2011 menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: UUD 1945 Ketetapan MPR UU/peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan daerah Propinsi Peraturan Daerah Kabupaten /Kota. Dalam UU No 12 Tahun 2011 tersebut ditegaskan pula, bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya. Artinya ketentuan ini memulihkan kembali keberadaan Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang kekuatan hukumnya lebih kuat dari UU. Tetapi disisi lain, dengan dipecahnya kedudukan Peraturan Daerah yang tadinya dalam Tap MPR No III/MPR/2000 hanya disebut Peraturan Daerah (Perda) saja tanpa membedakannya Perda Propinsi dengan Perda Kabupaten/Kota.
Dengan dipercahnya Perda menjadi Perda Propinsi dan dibawahnya Perda kabupaten Kota, maka tentu keberadaan Perda Kabupaten/Kota lebih rendak kedudukannya dari Perda Propinsi dan sekaligus mengandung makna Perda kabupaten/Kota tidak boleh bertentangan dengan Perda Propinsi. Sebelumnnya dalam UU No 1o Tahun 2004 dan sejalan dengan Tap MPR No III/MPR/2000 kedudukan Perda Propinsi maupun Perda Kabupaten Kota berda dalam satu kotak dan tidak hirarkhis. Ini bahkan terlihat jelas dalam ketentuan Pasal 7 ayat (5) UU No.10 Tahun 2004. Akan tetapi dengan dipecahnya Perda menjadi Perda Propinsi dan Perda kabupaten Kota, scara hierarkhi, maka secara tidak lansung terkait dengan persoalan regulasi dalam implementasi otonomi daerah.
Persoalan ini tentu menjadi masalah sendiri dan akan kita bahas dalam kesempatan lain. Kembali ke soal l Tap MPR yang sudah dimasukkan kembali ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan dalam UU No 12 Tahun 2011. Suatu hal yang baru dalam UU No 12 Tahun 2011 adalah adanya peraturan lain selain dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang sudah disebutkan. Peraturan lain tersebut yakni mencakup peraturan yang ditetapkan MPR, DPR, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, Badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU , DPRD Pripvinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Kedudukan dan kekuatan hukum dari peraturan yang dibentuk lembaga-lembaga/instansi tersebut diakui keberadaaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Memahami UU No 12 Tahun 2011 sebagai pengganti UU No.10 tahun 2004, maka setidaknya beberapa persoalan yang terjadi dalam teknis pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dibawah UU No 10 Tahu 2004 -- khususnya terhadap pengeluaran Tap MPR dari jenis dan susunan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia— dapat diatasi dan dikembalikan pada posisi yang benar dan konsistensi terhadap tertip hukum kembali ditegakkan. Dan hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan dalam penjelasan UU No 12 Tahun 2011, bahwa materi UU No.10Tahun 2004 banyak menimbulkan kerancuan dan multi tafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum.
Tetapi sekali lagi UU No 12 Tahun 2011 dalam menjelaskan dalam penjelasannya terdapat materi baru yang diatur, dan materi baru itu disebutkan menambahkan Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-Undangan dan hierarkhinya ditempatkan dibawah UUD. Dan hal ini sebenarnya bukan materi baru, melainkan adanya kelalaian dan kealfaan dalam membentuk dan menyusun UU No 10 Tahun 2004. Sebab sudah terang adanya dalam TAP MPR No III/MPR/2000 sudah ditetapkan Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya setingkat dibawah UUD 1945. Jadi dimasukannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan perundang-undangan dalam UU No 12 Tahun 2011 sesungguhnya bukanlah penambahan materi baru, melainkan memperbaiki kesalahan pembentuk UU dalam menyusun dan membentuk UU sebelumnya yang digantikan UU No 12 tahun 2011.
B.       Kewenangan MK dalam Menguji TAP MPR
       Dalam praktek, dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang bias disebut sebagai norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum, yaitu: (i) keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), (ii) keputusan normative yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking), dan (iii) keputusan normative yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis (belanda: vonnis).
       Dalam konsep pengujian undang-undang, khususnya berkaitan dengan pengujian oleh kekuasaan kehakiman, perlu dibedakan pula antara istilah judicial review dan judicial previe. Review berarti memandang, menilai, atau menguji kembali, yang berasal dari kata re dan view. Sedangkan pre dan view atau preview adalah kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan objek yang dipandang itu.
       Kedudukan Makamah Konstitusi dalam hal pengujian Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang dasar 1945, adalah sebagai the constitutionality of legislative law or legislation.
       Kemunculan kedudukan TAP MPR yang berada dibawah Undang-undang Dasar 1945 pasca lahirnya Undang-undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,  apakan dapat dikatakan adanya kewenangan MK untuk menguji TAP MPR seperti halnya kewenangan MK menguji materiil Peratauran Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar 1945.
       Hubungan Verfassungsnorm UUD 1945 dengan Norma Hukum Ketetapan MPR, apabila kita melihat teori jenjang norma hukum dari Hans Nawiasky, kita melihat bahwa Negara Republik Indonesia kelompok norma dari staatsgrundgesetz itu terdiri dari Verfassungnorm UUD 1945 yang terdapat dalam Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, serta hokum Dasar tidak tertulis (Konvensi Ketatanegaraan).
       Norma-norma hukum yang ada dalam Aturan Dasar Negara atau Aturan Pokok Negara, yaitu dalam verfassungsnorm UUD 1945 dan dalam Ketetapan MPR, merupakan norma-norma hukum yang masih berfifat umum dan garis besar serta masih merupakan norma tunggal, jadi belum dilekati oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa, tetapi kedudukan verfassungsnorm UUD 1945 lebih tinggi dari pada Ketetapan MPR (TAP MPR) walaupun keduanhya dibentuk oleh lembaga yang sama yaitu Majelis Permusyawaratan Rakayat sebagai lembaga tinggi di Negara Republik Indonesia.
       Jika melihat kedudukan MK dalam menguji materil Peraturan Perundang-undangan di bawah UUD 1945, tidak berarti menempatkan TAP MPR yang berada di bawah UUD 1945, yang dapat dilakukan pengujiannya oleh MK.
       Menurut hasil analisa saya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai mengapa MK tidak dapat menguji TAP MPR, yaitu:
1.      Kedudukan TAP MPR di buat oleh lembaga tinggi yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2.      Dalam tata kelembagaan Negara pasca amandeman UUD 1945 sehingga memunculkan Mahkamah Konstitusi, hanya dapat berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah UUD 1945;
3.      Dalam hal kekuasaan MK tidak terdapat adanya kewenangan MK dapat melakukan uji materiil terhadap TAP MPR;
       Jadi hingga saat ini kemunculan kedudukan TAP MPR dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan, dibawah UUD 1945, bukan berarti dapat dilakukan pengujian materiilnya oleh MK, seperti halnya Perundang-undangan yang lain, di bawah UUD 1945.          


[1] Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., “Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya” Kanisius, Yogyakarta, Hal:6
[2] Pendapat Hans Kellsen, dalam General Theory of law and state, New York, Russel & Russel, 1945, hal. 35, yang dikutip oleh Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., “Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya” Kanisius, Yogyakarta, Hal:6

[3] Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H” Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan Perkembangannya” Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal.3.
[4] Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan
[5] Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan
[6] Lihat UU No.10 tahun 2004 Pasal 1 angka 1
[7] Lihat UU No. 12 tahun 2011 pasal 1 angka 1
[8]Lihat penjelasan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar