KEDUDUKAN TAP MPR DALAM
TATA SUSUNAN HIERARKI PERUNDANG-UNDANGAN PASCA LAHIRNYA UU NO. NO.12 TAHUN 2011
TENTANG PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN
(TINJAUAN POLITIK HUKUM
DAN SOSIOLOGI)
A. Pendahuluan
a. Latar
Belakang
b. Rumusan
Masalah
c. Tujuan
Penulisan
d. Sitematika
Penulisan
B. Tinjauan
Teoritis tentang Norma Dalam Hukum Negara
a. Pengertian
Norma
b. Statika
dan dinamika system Norma
c. Dinamika
norma Hukum Vertikal dan Horizontal
d. Hierarki
Norma Hukum (Stufentheorie Kelsen)
C. TAP
MPR Dalam Tata Susunan Hierarki Dalam Tata Perundangundangan
a. Pengertian
Pembentukan Perundang-undangan
b. Asas-asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
c. Kedudukan
Tap MPR dalam Hierarki Peundang-undangan
D. Analisis
- Aspek Sosiologis Terhadap Kembalinya Kedudukan Tap Mpr Dalam Hierarki Perundang-Undangan
b. Kewenangan
MK dalam Menguji TAP MPR
E. Daftar
Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Apabila kita melihat dalam Pembukaan dan
Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, maka terlihat bahwa Negara Republik
Indonesia yang berdiri tanggal 17 Agustus 1945 adalah Negara yang berdasar atas
hukum (Rechsstaat) dalam arti Negara
pengurus (erzorgingsstaat). Hal ini
tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 aline ke-4 yang berbunyi sebagai berikut:
“….untuk membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan kedilan social…”
Dengan diembannya tugas Negara dalam
menyelenggarakan kesejahteraan umum tersebut, maka menjadi pentinglah arti
pembentukan peraturan-peraturan Negara kita, karena campur tangan Negara dalam
mengurusi kesejahteraan rakyat dalam bidang hukum, sosial, politik, ekonomi,
budaya, lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan yang diselenggarakan
dengan pembentukan peraturan-peraturan Negara tak mungkin lagi dihindari. Oleh
karena itu, terasa makin pentingnya fungsi pembentukan peraturan
perundang-undangan, yang secara lambat namun pasti mendoroong pada usaha
pengembangan ilmu perundang-undangan.
Pendapat T. Koopmans yang dikutip
oleh Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H, dalam bukun Ilmu
Perudang-undangan, menyebutkan :”Fungsi pembentukan peraturan
perundang-undangan itu semakin terasa diperlukan kehadirannya karena di dalam
Negara yang berdasar atas hukum modern (verzorgingsstaat),
tujuan utama pembentukan undang-undang bukan lagi menciptakan kodifikasi
bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam
masyarakat, melainkan menciptakan modifikasi atau perubahan dalam kehidupan
masyarakat.
Munculnya kembali TAP MPR dalam
hierarki perundang-undangan pasca lahirnya UU No.12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menimbulkan berbagai pertanyaan,
mengenai kedudukan kembali TAP MPR.
B. Rumusan
Masalah
Untuk membatasi kajian dalam penulisan
ini, maka penulis mematasi dalam ranah atau rung lingkup kajian dengan melihat
pada pokok permasalahan yaitu:
- Apa yang menjadi factor dari Aspek Sosiologis Terhadap Kembalinya Kedudukan Tap Mpr Dalam Hierarki Perundang-Undangan?
- Adakah Kewenangan MK dalam Menguji TAP MPR?
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan dalam hal ini di antaranya sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui aspek
Sosiologi dari munjulnya Kembali TAP MPR dalam hierarki Perundang-undangan;
2. Memberikan
pemahaman kembali fungsi TAP MPR dalam Sinstem Norma Hukum;
3. Memahami
kedudukan TAP MPR diantara peraturan Perundang-undangan yang lain.
D. Sistematika
Penulisan
Pertama,
Pendahuluan yang beriksikan Latar
Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Sitematika Penulisan.
Bab
Kedua, menyajikan Tinjauan Teoritis
tentang Norma Dalam Hukum Negara,Pengertian Norma, Statika dan dinamika system
Norma, Dinamika norma Hukum Vertikal dan Horizontal, Hierarki Norma Hukum (Stufentheorie Kelsen)
Bab
ketiga, TAP MPR Dalam Tata Susunan Hierarki
Dalam Tata Perundangundangan, Pengertian Pembentukan Perundang-undangan, Asas-asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Kedudukan Tap MPR dalam Hierarki
Perundang
Bab
keempat, Analisis, Aspek Sosiologis Terhadap
Kembalinya Kedudukan Tap Mpr Dalam Hierarki Perundang-Undangan, Kewenangan MK
dalam Menguji TAP MPR
Daftra
Pustaka
BAB
II
Tinjauan
Teoritis tentang Norma Dalam Hukum Negara
A.
Pengertian
Norma
Norma
adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi seseorang dalam hubungannya dengan
sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Istilah norma, yang bersal dari bahasa Latin, atau kaidah dalam bahsa Arab, dan
sering juga disebut dengan Pedoman,
Patokan, atau Aturan dalam bahasa Indonesia,mula-mula diartikan dengan
siku-siku, yaitu garis tegak lurus yang menjadi ukuran atau patokan untuk
membentuk suatu sudut atau garis yang dikehendaki.[1]
Dalam perkembangannya, norma itu diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan
bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat. Jadi,
inti suatu norma adalah segala ukuran yang harus dipatuhi.
Suatu
norma itu baru ada apabila terdapat
lebih dari satu orang, karena norma itu pada dasarnya mengatur tata cara
bertingkah laku seseorang terhadap orang lain, atau terhadap lingkungannya.
Setiap norma itu mengandung suruhan sruhan (penyuruhan-penyuruhan) yang di
dalam bahasa asingny sering disebut dengan das
Sollen (Ought to be / ought to do).[2]
B.
Statika
dan dinamika system Norma
Di
dalam bukunya yang berjudul General
Theory of Law and State, Hans Kelsen mengemukakan adanya dua system norma,
yaitu system norma yang static (nomostatics)
dan system norma yang dinamik (nomodynamics).
Statika
system norma (nomostatics) adalah
suatu system yang melihat pada “isi” suatu norma, di mana suatu norma umum
dapat ditarik menjadi norma-norma khusus, atau norma-norma khusus itu dapat
ditarik dari suatu norma yang umum. Penarikan norma-norma yang khusus dari
suatu norma umum, dalam arti norma umum itu dirinci menjadi norm-norma yang
khusus dari segi “isi”nya.’]’’
Sistem
norma yang dinamik (nomodynamics)
adalah suatu system norma yang melihat pada berlakunya suatu norma atau dari
cara pembentukannya dan penghapusannya.
Di
dalam bukunya “General Theory of Law and
State” Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis
dalam suatu susunan hierarkis, di mana norma yang bawah berlaku, bersumber, dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya “regressus”
ini berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar (Grundnorm) yang tidak dapat kita
telusuri lagi siapa pembentuknya atau dari mana asalnya.
Norma
dasar atau sering disebut Grunnorm, basic
norm, atau fundamentalnorm ini merupakan norma yang tertinggi yang
berlakunya tidak berdasar atau tidak bersumber pada norma yang lebih tinggi
lagi tetapi berlakunya secara presupposed,
yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat.
Dikatakan
bahwa norma dasar ini berlakunya tidak berdasar dan tidak bersumber pada norma
yang lebih tinggi lagi, karena apabila norma itu berlakuny masih berdasar dan
bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, maka itu bukan merupakan norma
yang tertinggi. (Gambar)
Dikatakan
pula oleh Hans Kelsen “mengatakan bahwa hukum termasuk dalam system norma yang
dinamik (nomodynamics) karena hukum
itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas
yang berwenang membentuknya, sehingga dalam hal ini tidak kita lihat dari segi isi
norma tersebut, tetapi dari segi berlakunya atau pebentukanya”.
Hukum itu adalah sah (valid) apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang
membentuknya dan berdasrkan norma yang lebih tinggi sehingga dalam hal ini
norma yang lebih rendah (inferior)
dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi (superior),
dan hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapislapis membentuk suatu hierarki.
C.
Dinamika
norma Hukum Vertikan dan Horizontal
Dinamika
suatu norma hukum dapat kita bedakan menjadi dua, yaitu dinamika norma hukum
yang vertical dan dinamika hukum yang horizontal.
Pertama, dinamika
norma hukum yang vertical adalah
“dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah, atau dari bawah ke atas: dalam
dinamika yang vertical ini suatu norma hukum itu berlaku, berdasar, bersumber
pada norma hukum di atasnya, norma hokum yang berada di atasnya berlaku,
berdasar, bersumber pada norma hokum yang di atasnya lagi, demikian seterusnya
sampai pada suatu norma hokum yang menjadi dasar semua norma hukum yang di
bawahnya.
Kedua, dinamika
norma hukum yang horizontal adalah “suatu norma hukum itu bergeraknya tidak ke
atas atau ke bawah, tetapi kesamping. Dinamika norma hukum yang horizontal ini tidak membentuk suatu
norma hukum yang baru, tetapi norma itu bergerak ke samping karena adanya suatu
analogi, yaitu penarikan suatu norma hukum untuk kejadian-kejadian lainnya yang
dianggap serupa.
D.
Norma
Hukum Dalam Negara
a.
Heirarki
norma hukum (Stufentheorie Kelsen)
Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans
Kelsen mengemukakan teoriya mengenai jenjang norma hokum (stufentheorie), di mana ia (Kelsen) berpendapat bahwa norma-norma
hokum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata
susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku,bersumber, dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada
suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan
fiktif, yaitu norma Dasar (Grundnorm).
Teori
jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang
bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu
mempunyai dua wajah (das Doppelte
Rechtsantlitz).
Menurut Adolf Merkl, suatu norma itu
ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah
ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga
suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (Rechtskracht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma
hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga apabila
norma hukum berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang
berada dibawahnya tercabut atau terhapus pula.
Bedasarkan teori Adolf Merkl
tersebut, dalam teori jenjang normanya Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa
suatu norma hukum itu selalu berdasar dan bersumber pada norma yang di atasnya,
tetapi ke bawah norma hukum itu menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah
daripadanya.
Dalam tata susunan/hierarki system
norma, norma yang tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya
norma-norma di bawahnya sehingga apabila norma Dasar itu berubah, maka akan
menjadi rusaklah system norma yang berada di bawahnya.
b.
Tata
Susunan Norma Hukum Negara
Hans Hawiasky, selah seorang murid dari
Hans Kelsen, mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam
kaitannya dengan suatu Negara. Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul Allgemeine Rechtslehre mengemukakan
bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen suatu norma hokum dari Negara mana pun
selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, di mana noram yang di bawah
berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar,
dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang
tertinggi yang disebut norma Dasar.
Tetapi Hans Nawiasky juga berpendapat
bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari
suatu Negara itu juga berkelmpok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan
norma-norma hukum dalam suatu Negara itu menjadi empat kelompok besar terdiri
atas :
Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara)
Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-undang “Formal”)
Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana &
aturan otonom)
Menurut
Hans Nawiasky, isi Staatfundamentalnorm ialah
norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar
suatu Negara (Staatsverfassung), termasuk
norma pengubahnya. Hakikat suatu Staatfundamentalnorm
ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang Dasar. Ia
ada terlebih sebelum adanya
konstitusi, atau undang-undang dasar. Konstitusi menurut Carl Schmitt merupakan
keputusan atau consensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan
politik (ein Gesammtenscheidung uber Art
und Form einer politischen Eintheit), yang disepakati oleh suatu bangsa.
BAB III
TAP
MPR DALAM TATA SUSUNAN HIERARKI
DALAM
TATA PERUNDANG-UNDANGAN
A. Pengertian
Pembentukan Perundang-undangan
Istilah
“perundang-undangan” (Legislation,
wetgeving, atau Gesatzgebung) mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu:[3]
1. Perundang-undangan
merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan Negara, baik
di tingkat Pusat, maupun di tingkat Daerah.
2. Perundang-undangan
adalah segala peraturan Negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan,
baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.
Dalam
Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Pembuatan Undang-undang,
menyenbutkan tentang pengertian Peraturan Perundang-undangan pada Bab I pasal 1
angka 2 yaitu “Peraturan
Perundang-undangan adalah peraturan terulis yang dibentuk oleh lembaga Negara
atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.”[4]
Sementara
itu Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Pembentukan
Perundang-undangan menyebutkan dalam Bab I angka 2 bahwa “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan”.[5]
Ketika
kita membicarakan menganai Peraturan Perundang-undangan, tentunya kita akan
melakukan terhadap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pembentukan
peraturan perundang-undangan dapat diartikan Proses pembuatan peraturan
perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik
penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.[6]
Di
dalam pengertian lain menyebutkan “Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang
mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan
atau penetapan, dan pengundangan[7].
B. Asas-asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Upaya
pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang diatur di dalam UU No.12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penetapan asas yang
perlu letakkan pada Perundang-udangan disebutkan pada Pasal 5, yaitu
Dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a.
kejelasan tujuan;
b.
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c.
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d.
dapat dilaksanakan;
e.
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.
kejelasan rumusan; dan
g.
keterbukaan.
Adapun
menganai apa yang dimaksud dari asas-asas yang tertuang di dalam Pasal 5,
adalah sebagai berikut
Pertama, Yang
dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai.
Kedua, Yang
dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat”
adalahbahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga
negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum
apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
Ketiga,
Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan”
adalah
bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar
Keempat, Yang
dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan
Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
sosiologis, maupun yuridis.
Kelima, Yang
dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap
Peraturan
Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat
dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Keenam, Yang
dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan
Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum
yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
Ketujuh, Yang
dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian,
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sementara
itu di dalam Peraturan-perundang-undang ditur pula mengenai materi muatan yang
tentunya harus mencerminkan suatu asas-asas seperti yang tertuang dipasal
sebelumnya. Adapun mengenai materi muatan tersebut yaitu diatur dalam UU No.12
tahun 2011 Pasal 6, yang menyebutkan sebagai berikut ;
(1) Materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a.
pengayoman;
b.
kemanusiaan;
c.
kebangsaan;
d.
kekeluargaan;
e.
kenusantaraan;
f.
bhinneka tunggal ika;
g.
keadilan;
h.
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i.
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Adapun apa yang deimaksud dari setiap
matermuatan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
Pertama,
Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan
ketentraman masyarakat.
Kedua, Yang dimaksud
dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi
manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
Ketiga, Yang
dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia
yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keempat, Yang
dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
setiap pengambilan keputusan.
Kelima, Yang
dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Keenam, Yang
dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Ketujuh, Yang
dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
Kedelapan,
Yang dimaksud dengan “asas kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender,
atau status sosial.
Kesembilan,Yang
dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan kepastian hukum.
Kesepuluh,Yang
dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan
bangsa dan negara.
Pada pasal 6 ayat (2) disebutkan
Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan
Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Yang
dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundangundangan yang bersangkutan”, antara lain:
a.
dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b.
dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan,
kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
C. Kedudukan
Tap MPR dalam Hierarki Perundang-undangan
Mengenai pembentukan peraturan
perundang-undangan, adalah merupan suatu nilai yang penting, yang diharapkan
setiap proses awal hingga selesainya suatu rancangan perundag-undngan dapat
dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat
secara umum, serta memiliki nilai “esensial
of law”.
Mengenai hierarki perundang-undang
telah diatur sebelumnya di dalam UU N0.10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yaitu terdapat pada pasal 7 ayat (1), yang
menyebutkan :
Jenis hierarki Peraturan
Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-undang
Dasar Negara Rpublik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan
Presiden;
e. Peraturan
Daerah.
Pada hierarki yang terdapat pada UU
No.10 tahun 2004 tersebut, terlihat bahwa tidak dikutsertakannya TAP MPR dalam
hierarki Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang ini pada dasarnya
dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara
pembentukan peraturan perundang-undangan, serta untuk memenuhi perintah Pasal 22
A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 6
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Setelah
munculnya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, dalam hierarki peraturan perundang-undangan tertuang pada
pasal 7 ayat (1), Jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pada
pasa7 ayat (2)nya menebutkan tentang kekuatan hokum dari tingkatan
peraturan-perundang-undangan tersebut “
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)”.
Adanya
perbedaan dalam tingkat hierarki perundang-undangan terlihat pada
dimaksukkannya kembali TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan, di mana pada
UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, TAP MPR
tidak termasuk di dalam tingkatan atau hierarki perundang-undangan.
Keberadaan
kembali TAP MPR di dalam hierarki perundang-undangan seperti yang tertuang pada
No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, pasal 7 ayat (1), tentunya menjadi hal yang penting,
Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan
Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.[8]
BAB IV
ANALISIS
A. ASPEK SOSIOLOGIS
TERHADAP KEMBALINYA KEDUDUKAN TAP MPR DALAM HIERARKI PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang tentang
Pembentukan Peraturan Perundangundangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus
berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hokum nasional. Sistem hukum
nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan
semua elemennya yang saling menunjang satu dengan
yang lain dalam angkamengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Undang-Undang ini
(UU No12 tahun 2011 tenntang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan penyempurnaan terhadap
kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu antara lain:
a.
materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan
atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;
b.
teknik penulisan rumusan banyak
yang tidak konsisten;
c.
terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau
kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan; dan
d.
penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan
sistematika.
Sebagai penyempurnaan
terhadap Undang-Undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan
dalam Undang-Undang ini, yaitu antara lain:
a.
penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu
jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak
hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
c.
pengaturan mekanisme pembahasan
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
d.
pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan
Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota;
e.
pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundangundangan,
peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan; dan
f.
penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I
Undang-Undang ini.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, atau
disingkat Ketetapan MPR atau TAP MPR, adalah bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking).Pada masa
sebelum Perubahan (Amandemen) UUD 1945, Ketetapan MPR merupakan Peraturan
Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di
atas Undang-Undang.
Pada masa awal reformasi, ketetapan MPR tidak lagi termasuk urutan hierarki
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Namun pada
tahun 2011, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Tap MPR kembali
menjadi Peraturan
Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945. Pimpinan MPR
sempat menyatakan bahwa kembali berlakunya Tap MPR pun tidak serta-merta
mengembalikan posisi MPR seperti kondisi sebelumnya, dikarenakan pada era
reformasi pembuatan Tap MPR baru tidak akan seperti masa yang sebelumnya,
mengingat peran pembuatan Undang-Undang (legislatif) pada era reformasi
diserahkan sepenuhnya kepada Presiden dan DPR. Perubahan UUD 1945 membawa
implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu
berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan sebagai
lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya (seperti Kepresidenan,
DPR, DPD, BPK, MA,
dan MK).
Dikeluarkannya atau tidak
dimasukkannya Tap MPR sebagai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
tersebut tidak banyak diperdebatkan, meskipun sangat esensial bagi tertip dan
kehidupan hukum di Indonesia.
Soal tata susunan (hierarki) norma hukum sangat berpengaruh pada kehidupan
hukum suatu negara, apalagi bagi negara yang menyatakan dirinya sebagai negara
hukum. Susunan norma hukum dari negara manapun juga –termasuk Indonesia—selalu
berlapis-lapis atau berjenjang. Sejak Indonesia
merdeka dan ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi, maka sekaligus terbentuk
pula sistem norma hukum negara Indonesia.
Dalam kaitannya dengan sistem norma hukum di Indonesia itu, maka Tap MPR
merupakan salah satu norma hukum yang secara hirakhis kedudukannya dibawah UUD
1945.
Meskipun secara hirakhir Tap MPR
berada dibawah UUD 1945, namun Tap MPR selain masih bersifat umum dan garis
besar dan belum dilekatkan oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Kemudian
baik UUD 1945 maupun Tap MPR dibuat atau ditetapkan oleh lembaga yang sama,
yakni MPR. Dalam hubungan ini keberadaan Tap MPR setingkat lebih rendah dari
UUD 1945 pada dasarnnya bisa dipahami dengan mengedepankan fungsi-fungsi yang
dimiliki MPR. Dalam konteksnya dengan sistem norma hukum Indonesia tersebut,
berdasarkan TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 dalam lampiran II-nya Tentang Tata Urutan
Peraturan Perundang-Undangan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebagai berikut;
UUD 1945 Ketetapan MPR Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden Peraturan Pelaksana
lainnya; seperti Peraturan Menteri, Instruksi Mentri dan lain-lainnya. Demikian
pula halnya setelah reformasi dan setelah UUD 1945, Tap MPR tetap ditempatkan
sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya dibawah
UUD 1945, walaupun ada perubahan atas jenis peraturan perundang-undangan. Hal
ini sebagaimana ddituangkan dalam TAP MPR No III/MPR/2000 yang menyebutkan tata
urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut; UUD 1945 Ketetapan MPR
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah
Peraturan Presiden Peraturan Daerah Dari kedua TAP MPR tersebut terlihat, bahwa
jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan TAP MPR tetap dipandang
sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang penting .
Tetapi entah kenapa, keberadaan Tap MPR
“dihilangkan” atau dikeluarkan dari jenis dan tata urutan peraturan
perundang-undangan di dalam UU No 10 Tahun 2004. Dalam hubungan ini, UU No 10
Tahun 2004 menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai
berikut; UUD 1945 UU/Peraturan Pemerinta Pengganti Undang-Undang Peraturan
Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Tidak jelas apa yang menjadi
pertimbangan dari pembentuk UU No 10 Tahun 2004 tidak memasukkan Tap MPR
sebagai salah jenis peraturan perundang-undangan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
Dari sisi yuridis tentu kebijakan dari pembentuk UU No 10 Tahun 2004 tentulah
suatu kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip norma hukum yang
berjenjang, artinya ketentuan UU No 10 Tahun 2004 itu bertentangan dengan Tap
MPR No III/MPR/2000 yang berkedudukan lebih tinggi dari UU No 10 Tahun 2004.
Tetapi yang pasti pembentukkan UU No 10 Tahun 2004 tersebut sepertinya
mengabaikan keberadaan Tap MPR No.III/MPR/2000, dimana dalam konsideran UU No
1o Tahun 2004 tidak disebut-sebut TAP MPR No III/MPR/2000 sebagai salah satu
dasar dari pembentukan UU No. 10 Tahun 2004. Tetapi anehnya dalam Penjelasannya
disebutkan bahwa pembentukan UU No 10 Tahun 2004 itu guna memenuhi perintah
ketentuan Pasal 6 tap MPR No III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Tertip Hukum.
Disisi lain, apa yang terjadi pada
pembentukkan UU No 10 Tahun 2004 yang mengeluarkan Tap MPR dari tata urutan
peraturan perundang-undangan sebagaimana telah ditetapkan dalam Tap
MPRNo.III/MPR/2000 jelas memperlihatkan adanya ketidak-konsistenan pembentuk UU
dalam membentuk suatu UU dengan memperhatikan ketentuan yang sudah ada, apalagi
berupa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dari
UU. Kekeliruan mengeluarkan Tap MPR dari jenis dan tata susunan peraturan perundang-undangan
sejak diundangkannya UU No 10 Tahun 2004 itu akhirnya disadari pembentuk UU.
Hal ini ditandai dengan di undangkannya UU No 12 Tahun 2011 yang diundangkan
tanggal 12 Agustus 2011 lalu yang memaksukannya kembali Tap MPR sebagai salah
satu jenis peraturan perundang-undangan. Meskipun UU No 12 Tahun 2011 dalam
pertimbangannya menyebutkan dalam konsideran adanya kekurangan pada UU No 10
Tahun 2004, namun sebenarnya lebih tepat kalau disebut adanya kekeliruan dalam
menyusun dan membentuk UU No 1o Tahun 2004, khususnya berkaitan dengan
dikeluarkannya Tap MPR sebagai salah satu jenis dan dari susunan peraturan
perundang-undangan. Dalam hubungan ini UU No 12 Tahun 2011 menyebutkan tata
urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: UUD 1945 Ketetapan MPR
UU/peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan
Presiden Peraturan daerah Propinsi Peraturan Daerah Kabupaten /Kota. Dalam UU No 12 Tahun 2011 tersebut
ditegaskan pula, bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai
dengan hierarkinya. Artinya ketentuan ini memulihkan kembali keberadaan Tap MPR
sebagai peraturan perundang-undangan yang kekuatan hukumnya lebih kuat dari UU.
Tetapi disisi lain, dengan dipecahnya kedudukan Peraturan Daerah yang tadinya
dalam Tap MPR No III/MPR/2000 hanya disebut Peraturan Daerah (Perda) saja tanpa
membedakannya Perda Propinsi dengan Perda Kabupaten/Kota.
Dengan dipercahnya Perda menjadi
Perda Propinsi dan dibawahnya Perda kabupaten Kota, maka tentu keberadaan Perda
Kabupaten/Kota lebih rendak kedudukannya dari Perda Propinsi dan sekaligus
mengandung makna Perda kabupaten/Kota tidak boleh bertentangan dengan Perda
Propinsi. Sebelumnnya dalam UU No 1o Tahun 2004 dan sejalan dengan Tap MPR No
III/MPR/2000 kedudukan Perda Propinsi maupun Perda Kabupaten Kota berda dalam
satu kotak dan tidak hirarkhis. Ini bahkan terlihat jelas dalam ketentuan Pasal
7 ayat (5) UU No.10 Tahun 2004. Akan tetapi dengan dipecahnya Perda menjadi
Perda Propinsi dan Perda kabupaten Kota,
scara hierarkhi, maka secara tidak lansung terkait dengan persoalan regulasi
dalam implementasi otonomi daerah.
Persoalan ini tentu menjadi masalah
sendiri dan akan kita bahas dalam kesempatan lain. Kembali ke soal l Tap MPR
yang sudah dimasukkan kembali ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan
dalam UU No 12 Tahun 2011. Suatu hal yang baru dalam UU No 12 Tahun 2011 adalah
adanya peraturan lain selain dari jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan yang sudah disebutkan. Peraturan lain tersebut yakni
mencakup peraturan yang ditetapkan MPR, DPR, MA, MK, BPK,
KY, BI, Menteri, Badan, Lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU , DPRD Pripvinsi, Gubernur,
DPRD Kabupaten Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Kedudukan dan kekuatan hukum dari peraturan yang dibentuk
lembaga-lembaga/instansi tersebut diakui keberadaaannya dan mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat sepanjang sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Memahami
UU No 12 Tahun 2011 sebagai pengganti UU No.10 tahun 2004, maka setidaknya
beberapa persoalan yang terjadi dalam teknis pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia dibawah UU No 10 Tahu 2004 -- khususnya
terhadap pengeluaran Tap MPR dari jenis dan susunan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia— dapat diatasi dan dikembalikan pada posisi
yang benar dan konsistensi terhadap tertip hukum kembali ditegakkan. Dan hal
ini sejalan dengan apa yang disebutkan dalam penjelasan UU No 12 Tahun 2011,
bahwa materi UU No.10Tahun 2004 banyak menimbulkan kerancuan dan multi tafsir
sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum.
Tetapi sekali lagi UU No 12 Tahun
2011 dalam menjelaskan dalam penjelasannya terdapat materi baru yang diatur,
dan materi baru itu disebutkan menambahkan Tap MPR sebagai salah satu jenis
Peraturan Perundang-Undangan dan hierarkhinya ditempatkan dibawah UUD. Dan hal
ini sebenarnya bukan materi baru, melainkan adanya kelalaian dan kealfaan dalam
membentuk dan menyusun UU No 10 Tahun 2004. Sebab sudah terang adanya dalam TAP
MPR No III/MPR/2000 sudah ditetapkan Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan yang kedudukannya setingkat dibawah UUD 1945. Jadi
dimasukannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan
perundang-undangan dalam UU No 12 Tahun 2011 sesungguhnya bukanlah penambahan
materi baru, melainkan memperbaiki kesalahan pembentuk UU dalam menyusun dan
membentuk UU sebelumnya yang digantikan UU No 12 tahun 2011.
B. Kewenangan MK dalam
Menguji TAP MPR
Dalam
praktek, dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang bias
disebut sebagai norm control mechanism. Ketiganya
sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan
keputusan hukum, yaitu: (i) keputusan normative yang berisi dan bersifat
pengaturan (regeling), (ii) keputusan
normative yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking), dan (iii) keputusan
normative yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis (belanda: vonnis).
Dalam
konsep pengujian undang-undang, khususnya berkaitan dengan pengujian oleh
kekuasaan kehakiman, perlu dibedakan pula antara istilah judicial review dan judicial
previe. Review berarti memandang, menilai, atau menguji kembali, yang
berasal dari kata re dan view. Sedangkan pre dan view atau preview adalah kegiatan memandangi
sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan objek yang dipandang itu.
Kedudukan
Makamah Konstitusi dalam hal pengujian Peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang dasar 1945, adalah sebagai the constitutionality of legislative law or
legislation.
Kemunculan
kedudukan TAP MPR yang berada dibawah Undang-undang Dasar 1945 pasca lahirnya
Undang-undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, apakan dapat
dikatakan adanya kewenangan MK untuk menguji TAP MPR seperti halnya kewenangan
MK menguji materiil Peratauran Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar
1945.
Hubungan
Verfassungsnorm UUD 1945 dengan Norma
Hukum Ketetapan MPR, apabila kita melihat teori jenjang norma hukum dari Hans
Nawiasky, kita melihat bahwa Negara Republik Indonesia kelompok norma dari staatsgrundgesetz itu terdiri dari Verfassungnorm UUD 1945 yang terdapat
dalam Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, serta hokum Dasar tidak tertulis
(Konvensi Ketatanegaraan).
Norma-norma
hukum yang ada dalam Aturan Dasar Negara atau Aturan Pokok Negara, yaitu dalam verfassungsnorm UUD 1945 dan dalam
Ketetapan MPR, merupakan norma-norma hukum yang masih berfifat umum dan garis
besar serta masih merupakan norma tunggal, jadi belum dilekati oleh sanksi
pidana maupun sanksi pemaksa, tetapi kedudukan verfassungsnorm UUD 1945 lebih tinggi dari pada Ketetapan MPR (TAP
MPR) walaupun keduanhya dibentuk oleh lembaga yang sama yaitu Majelis Permusyawaratan
Rakayat sebagai lembaga tinggi di Negara Republik Indonesia.
Jika
melihat kedudukan MK dalam menguji materil Peraturan Perundang-undangan di
bawah UUD 1945, tidak berarti menempatkan TAP MPR yang berada di bawah UUD
1945, yang dapat dilakukan pengujiannya oleh MK.
Menurut
hasil analisa saya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai mengapa
MK tidak dapat menguji TAP MPR, yaitu:
1. Kedudukan
TAP MPR di buat oleh lembaga tinggi yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2. Dalam
tata kelembagaan Negara pasca amandeman UUD 1945 sehingga memunculkan Mahkamah
Konstitusi, hanya dapat berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah
UUD 1945;
3. Dalam
hal kekuasaan MK tidak terdapat adanya kewenangan MK dapat melakukan uji
materiil terhadap TAP MPR;
Jadi
hingga saat ini kemunculan kedudukan TAP MPR dalam hierarki Peraturan
Perundang-undangan, dibawah UUD 1945, bukan berarti dapat dilakukan pengujian
materiilnya oleh MK, seperti halnya Perundang-undangan yang lain, di bawah UUD
1945.
[1] Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., “Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya” Kanisius, Yogyakarta, Hal:6
[2] Pendapat Hans Kellsen, dalam General
Theory of law and state, New York,
Russel & Russel, 1945, hal. 35, yang dikutip oleh Maria Farida Indrati
Soeprapto, S.H., M.H., “Ilmu
Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya” Kanisius, Yogyakarta, Hal:6
[3] Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H” Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan Perkembangannya” Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal.3.
[4] Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan
[5] Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan
Perundang-undangan
[6] Lihat UU No.10 tahun 2004 Pasal 1 angka 1
[7] Lihat UU No. 12 tahun 2011 pasal 1 angka 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar